Cerita Gigi Bungsu (6) : Operasi Odontektomi

Tuesday, July 30, 2019
Sabtu, 27 Juli, aku kembali ke Poli Gigi dan Bedah Mulut sesuai surat kontrol yang diberikan dokter. Disana, aku menunggu cukup lama karena hari itu banyak tindakan operasi yang dilakukan di Poli. Penasaran, aku pun bertanya, "Kok operasi bisa dilakukan di Poli, tanpa harus rawat inap dan bius total?" Kata dokter, gigi yang sudah erupsi (muncul di permukaan, baik keseluruhan maupun sebagian) bisa dilakukan pencabutan tanpa perlu bius total. Tapi kalau gigi yang embedded (tertanam dalam tulang dan tidak memungkinkan untuk tumbuh keluar) dokter tak berani melakukan tindakan rawat jalan. Aku juga bertanya "Kenapa sih ada orang yang nggak punya masalah sama sekali dengan gigi bungsu? Bahkan sudah usia >30 tahun, tapi tak ada tanda-tanda gigi itu muncul?" "Karena bisa saja memang tidak ada benihnya." Begitu kata dokter.

Dengan setia aku menunggu, akhirnya Surat Pengantar Rawat Inap ku selesai dibuat. Dag dig dug sekali rasanya.

Setelah mendapatkan surat itu, aku pun pulang.

Minggu, 28 Juli, seperti biasa bangun siang malas-malasan. Kebetulan si bayi juga suportif sekali, nggak ngajak bangun pagi. Hari itu dia juga kebanyakan tidur, tau aja ibunya sibuk mempersiapkan ini dan itu, termasuk ASI perah untuknya selama ku tinggal 3 hari.  Hiks.

Pukul 16.30 WIB, aku diantar suami ke rumah sakit. Niat hati ingin langsung naik kelas ke kelas I, ternyata penuh. Seharusnya begitu mendapat surat pengantar rawat inap, aku pesan kamar saja. Tapi tak apa, aku masuk sesuai kelasku, kelas II.

Sesampainya di ruangan, aku tanda tangan berkas dan juga diambil darah untuk diperiksa di laboratorium. Selanjutnya aku diantar ke bangsal. Ada dua bed disana dan dua-duanya masih kosong. Heu. Begitu bed disiapkan, aku udah nggak diapa-apain, ditinggalkan perawat semalaman.

Malam itu aku masih dapat jatah makan malam. Rada hambar sih, tapi lumayan untuk mengisi perut. Takut masih kelaparan (karena karbohidratnya berupa bubur) aku minta suami beli roti di kantin.

Pukul 21.00 WIB, suami pamit pulang. Dia lebih memilih tidur bersama anakku daripada menemaniku, tapi ya nggak apa-apa sih, kasihan juga Akung Uti yang jagain si bayik.

Pukul 00.15 WIB, perawat datang ke ruanganku. Dia sedikit kaget melihatku seorang diri, tanpa ada yang menunggu. Kedatangannya membawakan sabun untukku mandi besok pagi. Tak lupa aku diingatkan untuk mulai berpuasa. Begitu perawat keluar, aku minum, takut nggak kuat puasanya, hahaha. Aku lanjut tidur.

Pukul 05.00 WIB, dini hari di 29 Juli, aku kirim pesan WA ke suami, gimana kabar si kecil, bisa tidur nyenyak atau tidak. Sedikit rewel katanya. Belum sempat cerita banyak, suami mengabari kalau mesin antrian pendaftaran error, dan dia minta aku memperbaikinya, nanti dipandu olehnya. He? Kan ceritanya aku lagi jadi pasien, masak disuruh benerin error sih? Eh tapi kalau suami harus datang sepagi ini, kasihan juga. Biasanya sih emang gitu, tapi kan ini ada aku, palingan juga cuma restart komputer.

Tak lama kemudian, pintu terbuka, perawat semalam.
"Udah mandi Mbak?"
"Yaudah tensi dulu ya?"
"Njenengan tidur sendirian semalam?" basa basi si perawat.
"Iya, kenapa?"
"Berani banget."
"Mas, saya nanti ke Pendaftaran depan ya, sebentar aja, mau restart komputer, mesin antriannya error."

Si perawat bingung, kemungkinan dia tidak tahu kalau aku karyawan disini. "Tapi jangan lama-lama ya Mbak. Habis itu mandi, terus diinfus. Ini tensinya 100/70"

Aku bergegas menuju Pendaftaran. Set set set, selesai. Aku kembali ke ruangan dan langsung mandi. Pukul 05.45 WIB, aku sudah siap. Perawat baru datang jam 06.10 WIB untuk memasang infus.

"Duh, tangannya kecil sekali sih Mbak. Padahal jarum infus untuk operasi besar lho. Takutnya kalau ada perdarahan kan. Yaudah coba yang kiri aja ya."
"Eh, Bu. Jangan coba-coba dong Bu, harus yakin."
"Saya pengennya juga gitu Mbak, sekali pasang." jawab si ibu perawat.

Alhamdulillah lancar sekali tusuk.

Pukul 08.00 kurang, masuklah dokter anestesi (sepertinya masih residen). Aku ditanya-tanya; ada riwayat alergi obat tidak, punya penyakit asma atau penyakit kronis lainnya, pernah asam lambung, dan sebagainya.

Di kesempatan itu, aku tanyakan status ku sebagai ibu menyusui. Apakah obat bius akan berpengaruh pada ASI ku? Harus jarak berapa lama aku bisa menyusui kembali? Dokter hanya menjawab, "nanti akan diedukasi lagi di ruang anestesi". Oke, baiklah.

Sekitar pukul 09.45 WIB, perawat datang ke ruangan, mengabarkan bahwa namaku sudah dipanggil di Instalasi Bedah Sentral (IBS). Bersama satu orang perawat dan suami, aku diantar ke IBS. Ternyata gitu ya rasanya naik bed yang didorong. Pengen rasanya duduk aja biar kayak Jasmine lagi terbang di atas karpet. Hahaha.

Sesampainya di IBS, aku ganti baju operasi. Semua pakaian dilepas, kecuali pakaian dalam. Di ruang ganti itu, ada satu pasien lagi perempuan yang juga akan operasi, tapi dari poli THT. Tapi ya nggak bisa ngobrol, karena aku langsung disuruh baring di bed yang ada di lorong.

Aku ditemui dokter anestesi yang tadi pagi ke ruangan. Dia menjelaskan ruang IBS ini untuk operasi bedah minor, seperti mata, gigi, THT, dan paru. Sementara ruang operasi sebelah, untuk operasi besar seperti obgin (bersalin) dan bedah. Sebagai karyawan sini, aku baru tahu lho. Dan ini pertama kalinya juga aku masuk ruang IBS ini.

Selain dokter tadi, aku juga ditanyai oleh perawat, "Gigi yang dicabut berapa Mbak?"
"Lima Pak."
"Nggak nambah satu lagi, biar gratis."
"Enggak, Pak. Haha."

Rupanya si bapak perawat sedang memecah ketegangan.

Tak ada 30 menit menunggu, aku disuruh masuk ruang operasi. WOW, kayak di tipi-tipi, ada lampu lingkaran yang besar itu. Menurutku ruangannya nggak begitu dingin, tak seperti cerita orang yang melahirkan secara sesar. Mungkin emang beda kali ya, kan kalau SC nggak bius total.

Perawat masuk memasang alat yang dijepitkan di ujung telunjuk. Aku diukur tensi. Dan juga, melepaskan kalung yang ku pakai. Ku lihat dokter anestesi masuk ruangan, mengkonfirmasi ulang bahwa aku sedang menyusui. Beliau berpesan agar aku jangan menyusui dulu sampai sore ini, takut bayinya ikut tidur (karena efek obat). Ku lihat dokter bedah mulut sudah masuk ruangan, sementara itu perawat mulai menyuntikkan obat anestesi melalui infus. Tidak ada perkenalan para dokter dan petugas, tak ada doa bersama, karena aku langsung PET, nggak sadar apa-apa.

Aku baru berasa ketika tubuhku dipindah ke bed dan kemudian didorong. Aku mendengar suara suamiku dan juga perawat yang tadi pagi mengantarku ke IBS. Dalam hatiku, "Oh, udah selesai ya? Kok cepet? Kok nggak ada rasanya?"

Begitu sampai ruangan, aku mulai membuka mata, berusaha sadar sepenuhnya. Ada suami di samping ku. Aku mencoba ngobrol meski dengan suara tak jelas. Aku belum merasakan sakit karena masih ada efek obat bius. Perawat memberikan selembar instruksi pasca operasi dan menganjurkan untuk tidak minum dulu karena dikhawatirkan bisa muntah kerena efek obat.

Rasanya hauuuss banget. Akhirnya minta suami belikan air dingin di kantin. Sementara itu, suami makan jatah makan siangku. Bentuknya nasi padat, euy. Emang diperuntukkan untuk penunggu pasien sih.

Minum air dingin, rasanya NYES! Meski rasanya masih kesusahan untuk menyedot minuman. Pipi kanan dan kiri masih kebas. Lihat suami makan, rasanya pengen makan juga. Lapeeeerr banget. Tapi gimana..

Begitu efek bius habis, RASANYA EHMM.. Kepala cenat cenut, gigi rasanya nyeri, dan mulai bengkak. Sementara itu tenggorokan ku terasa gatal macam ada dahaknya. Ku coba bawa tidur, tapi susah. Ku cuma bisa ha he ha he, nggrayemi sebelum tidur. Sesekali terbatuk karena gatal banget tenggorokannya. Bagian yang bengkak, ku kompres pakai air dingin, lumayan membantu sih, tapi nggak lama. Aku mencoba tidur kembali.

Sekitar pukul 16.00 perawat datang obat. Setelah disuntikkan lewat infus, rasa sakitnya berangsur-angsur membaik. Es teh yang dibeli suamiku terasa nikmat, menyegarkan. Alhamdulillah.

Tak lama, perawat datang lagi ke ruanganku, ingin memindahkanku ke ruang kelas I. Aku jadi naik kelas karena malam ini aku ditemani ibu dan adikku. Kasihan kalau mereka tidur di bangku. Pukul 17.00 sekian, mereka sudah datang.

Malam ini aku dapat jatah makan malam, tak lagi untuk penunggu pasien. Menunya bubur sumsum, tapi masih saja ditambahi lauk tahu, bola daging, dan sayur soup.  Ada juga jeruk dan air mineral. Rasanya enak sekali, mungkin karena aku kelaparan kali ya, jadi napsu makan meningkat. Bubur aku sruput-sruput. Sayur aku kunyah pakai gigi seri. Jeruk aku hisap-hisap. Aku belum berani membuka mulut lebar-lebar. Pipi masih bengkak dan sisa jahitan terlihat sangat menyeramkan.

Abis isya suami pulang. Malam itu ada yang nggak beres dengan tubuhku. Sekitar pukul 20.30 WIB kaki dan tanganku terasa kesemutan, gremet gremet menuju kebas. Padahal suhu ruangan nggak dingin.  Sekitar pukul 22.00 akhirnya panggil perawat katanya nggak apa-apa, cukup diminyakin aja, sambil diobservasi. Berhubung nggak bawa minyak, akhirnya nggak diapa-apain, untungnya masih bisa lanjut tidur.

Pukul 00.15 WIB, 30 Juli, perawat menyuntikkan antibiotik. Aku lanjut tidur dan bangun waktu subuh. Pukul 06.00 aku kembali disuntikkan obat dan ganti infus. Belum boleh dilepas karena nanti jam 08.00 disuntik antibiotik lagi.

Pukul 09.30 WIB, dokter visite. Singkat sekali rasanya. Aku mau bertanya juga bingung, hanya bisa mengeluh bengkak. Kata dokter, itu tandanya udah mau sembuh. Minggu depan kontrol ke poli untuk lepas jahitan. Selebihnya ikuti petunjuk paska operasi sekitar satu mingguan dan obat dilanjutkan dengan oral. Selesai. Dokter pamit.

Pukul 13.00 WIB, aku sudah gerah, pengen lepas infus. Akhirnya diperbolehkan, bahkan sekalian dibekali obat untuk pulang dan juga resume medis untuk kontrol minggu depan. Lega rasanya sudah tak pakai infus. Aku langsung mandi dan bersiap-siap pulang. Pukul 14.00 sekian, aku meninggalkan rumah sakit dan siap menemui anakku yang terpisah selama 46 jam.

No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.