Pomahan-ku
Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.
Berbicara mengenai rumah adalah sesuatu yang sangat
menyenangkan, khususnya bagi aku yang hampir tiga tahun meninggalkan kampung
halaman dimana rumahku (rumah kedua orang tuaku) berada.
Rumahku terletak di Desa Kebonsari. Tak perlu tahu nama
jalan karena memang tak ada nama-khusus-untuk-jalan seperti di kota-kota besar.
Jangankan nama jalan, nomer rumahku pun aku tak tahu. Demikianlah kehidupan di
desa. Penuh kedamaian.
Rumahku (menurut orang yang tinggal di Jakarta) lumayan
besar dan aku senang tinggal di dalamnya, bersama kedua orang tua dan kedua
saudara perempuan. Aku pun senang ketika aku berada di sekitar rumah. Di
sebelah kanan rumahku ada rumah pamanku yang tinggal sendirian. Di depan rumah
paman tumbuhlah pohon jambu air yang sungguh lezat buahnya jika di-brongsong1.
Sayangnya pohon jambu itu kini tak produktif lagi. Pohon itu
terkena serangan ulat dan pamanku terpaksa memotong ranting dan dahannya. Tak
ada lagi jambu lezat yang bisa ku nikmati.
Di depan, di samping kiri, dan di belakang rumahku terdapat
kebun keluarga yang cukup luas. Orang di desaku sering menyebutnya pomahan2.
Dulu di pomahan keluarga ku ada banyak pohon buah-buahan
yang bisa ku temukan. Ada pohon rambutan dengan buahnya yang asam di dekat
pohon jambu air pamanku. Tapi harus dipotong karena rumahku direnovasi.
Selanjutnya ada pohon rambutan aceh yang buahnya manis di sebelah kiri rumah.
Ada pula pohon mangga yang baru sekali berbuah seumur hidupnya. Buahnya sungguh
tiada duanya. Ada pula jambu benik yang rumpun buahnya. Aku biasa memanjat
pohonnya sambil menikmati kesegaran buahnya yang selalu ada tanpa mengenal
musim.
Jambu benik muda |
Sungguh sedihnya aku ketika kini ketiga pohon tadi sudah
tiada. Hal ini dikarenakan bapakku berkeinginan membuat kolam ikan mujair dan
pohon-pohon itu terpaksa dipotong. Selain itu, bapakku memotong pohon jeruk
bali yang rimbun dengan buahnya yang besar-besar. Akan tetapi, karena kami
tidak bisa menikmati kenikmatan buah jeruk itu (entah karena salah waktu panen atau
karena memang rasanya yang aneh) akhirnya ditebanglah pohon jeruk yang malang
itu. Demikian pula nasib sawo kecik yang tumbuh tak jauh dari pohon jeruk.
Bukan karena dia tak produktif atau rasa buahnya yang tidak manis, pohon itu
terpaksa ditumbangkan karena keluargaku tak terlalu menyukai buah sawo. Mau
dijual pun hasilnya juga tak seberapa. Lantas pohon apa yang tersisa di
sekitaran rumahku?
Mari kita mulai dari depan rumahku.
Pelataran rumahku terlihat lebih padang ketika tanaman bunga
sepatu yang tinggi menjulang dibabat habis. Demikian pula dengan pohon sukun
tak berdosa yang menyisakan akarnya. Kini yang terlihat adalah ketela-pohon
jawa yang akan kurus sayu tak bertenaga saat musim kemarau tiba. Terlihat pula rumpun
pisang dimana sang induk dalam kesehariaanya memberi nutrisi bagi para calon
buah sambil memperhatikan pertumbuhan sang tunas. Mereka terlihat rukun. Damai.
Akan dijumpai pula beberapa pohon kelapa yang berdiri kokoh
dan membiarkan angin menerpa tiap helai daunnya. Sesekali sang angin berhembus
terlalu kencang sehingga sering terdengar suara bluluk3 berjatuhan.
Beralih ke samping
kiri rumah. Terlihat dua kolam ikan mujair disana. Sesekali terlihat ikan
mujair dewasa menampakkan wajahnya di permukaan air yang tenang. Di dekat kolam
ada pohon coklat yang ditemani pohon jeruk kecil. Jeruk yang sekali dua kali
berbuah dan dijadikan air jeruk hangat yang nikmat. Ada pula pohon-ketela karet
yang sampai kapan pun tak akan menghasilkan ketela. Pohon ini hanya
dimanfaatkan daunnya sebagai teman nasi yang sangat ku suka.
Dan masih di sebelah kiri rumah, beberapa pohon mahoni membentuk barisan. Ketika musim kemarau tiba, daunnya berguguran, membuatku merasakan suasana musim gugur seperti di negara empat musim. Dan itu artinya aku harus setiap saat menyapu halaman jika tak ingin melihat daun mahoni yang berserakan. Di balik pohon mahoni ada pohon pete yang malu-malu menampakkan diri.
Daun ketela-pohon jawa (batang daunnya merah) |
Daun ketela-pohon karet (batang daunnya putih) |
Dan masih di sebelah kiri rumah, beberapa pohon mahoni membentuk barisan. Ketika musim kemarau tiba, daunnya berguguran, membuatku merasakan suasana musim gugur seperti di negara empat musim. Dan itu artinya aku harus setiap saat menyapu halaman jika tak ingin melihat daun mahoni yang berserakan. Di balik pohon mahoni ada pohon pete yang malu-malu menampakkan diri.
Berpindah ke belakang rumah. Disanalah pohon manggis tengah
tumbuh dan berkembang. Memakan buah manggis yang belum sempurna matang rasanya
luar biasa. Ada pohon pepaya yang merelakan buahnya dimakan kalong. Ada pula
pohon rambutan kelengkeng yang enggan sekali tuk berbuah. Belakang rumah juga
dipenuhi dengan ketela-pohon jawa yang tak pernah diambil ketelanya. Lagi-lagi
hanya menyisakan batangnya yang kurus saat kemarau tiba. Demikianlah sekitar
rumahku. Sungguh membuatku merindukan suasana rumah yang damai.
#8MIngguNgeblog
1brongsong: membungkus buah dengan plastik agar buah tidak dimakan serangga sehingga akan menghasilkan buah yang berkualitas
2pomahan: pekarangan rumah/kebun di sekeliling rumah
3bluluk: buah kelapa yang masih kecil
1brongsong: membungkus buah dengan plastik agar buah tidak dimakan serangga sehingga akan menghasilkan buah yang berkualitas
2pomahan: pekarangan rumah/kebun di sekeliling rumah
No comments:
Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^