#CeritaMelahirkan | Part 6 : Terima Kasih BBLR
Tanggal 26 Maret 2019, bayiku diperbolehkan pulang setelah 3 hari 3 malam dirawat di ruang perina. Itu adalah waktu minimum bagi bayi dengan diagnosa BBLR (bukan karena prematur). Sedih sih, harusnya lahiran hari ini, besoknya udah bisa pulang, ini harus nunggu berhari-hari, rawat pisah lagi. Kadang mikir kenapa sih nggak rawat gabung aja, biar menyusuinya lebih efektif, berat badannya bisa dikejar.
Akan tetapi "Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru sehingga dapat mengakibatkan pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan,bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya (Prawirohardjo, 2006)."
Akan tetapi "Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru sehingga dapat mengakibatkan pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan,bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya (Prawirohardjo, 2006)."
Kata perawat, bayi dengan BBLR rentan dehidrasi. Itu sebabnya bayiku ditaruh di box yang ada penghangatnya (bukan inkubator) untuk menjaga kestabilan suhu tubuhnya. Aku pun diajari KMC atau Kangaroo Mother Care saat dokter mengatakan bayiku boleh pulang. Aku ditawari untuk membeli gendongan KMC seharga Rp 70.000,- selanjutnya diedukasi manfaat dan cara pakainya. Harapannya, nanti di rumah bisa dipraktekkan sendiri.
Kangaroo Mother Care (KMC) atau Perawatan Metode Kanguru (PMK) merupakan perawatan untuk bayi berat lahir rendah atau lahiran prematur dengan melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu atau skin-to-skin contact, dimana ibu menggunakan suhu tubuhnya untuk menghangatkan bayi.
Posisi kanguru adalah menempatkan bayi pada posisi tegak di dada ibunya, di antara kedua payudara ibu, tanpa busana. Bayi dibiarkan telanjang hanya mengenakan popok, kaus kaki dan topi sehingga terjadi kontak kulit bayi dan kulit ibu seluas mungkin.
Sumber : www.idai.or.id
KMC ini dilakukan minimal 1 jam, tak harus dengan ibu, bisa ayah atau siapa saja. Bedanya kalau dengan ibu, bayi bisa sekaligus minum asi, jika dengan orang lain hanya menghangatkan saja.
Saat mencoba KMC ini, pengalaman baru sih buatku. Tapi panas dan gerah, apalagi di ruang perina yang memang diatur hangat (AC hanya di ruang perawat). Selesai 1 jam, aku beres-beres, urus administrasi, nunggu dijemput. Pulang deh, yeay! Terakhir ditimbang BB bayi di angka 2.3kg. Aku sempat khawatir jika dokter tak mengijinkan pulang karena berat badannya turun. Tapi ternyata itu wajar karena bayi kehilangan sebagian cairan setelah dilahirkan.
Alhamdulillah lega rasanya. Drama yang sesungguhnya akan segera dimulai.
Ku pikir-pikir, punya bayi dengan BBLR itu tak harus membuatku sedih berkepanjangan karena ada beberapa hal yang, menurutku, sebaiknya aku berterima kasih pada BBLR.
1. Masuk ke Ruang Perinatologi
Aku tak pernah tau apa yang terjadi di balik ruangan itu dan ternyata isinya para bayi yang berjuang bersama ibu (dan ayahnya). Ada banyak kasus yang dari mereka aku diingatkan untuk terus bersyukur. Bayiku sehat, hanya kurang beberapa gram saja untuk mencapai berat badan normal. Sementara mereka, perjuangannya lebih-lebih. Ada yang lahir prematur dengan BB kurang dari 2 kg dan harus di ruang perina berhari-hari hingga 1,5 bulan lebih. Ada yang bayinya sehat tapi ibunya sedang berjuang di ICU karena perdarahan. Ada yang kasusnya sepertiku, tapi dia lahiran SC. Apalah aku dibandingkan dengan perjuangan mereka.
2. No stretch mark dan Tak Perlu Diet
Biasanya setelah melahirkan ada tanda cinta berupa "petir" di perut ibu karena ada peregangan otot saat hamil. Tapi itu tak berlaku buatku. Mengandung bayi BBLR tak membuat perutku terlihat begitu besar seperti ibu hamil pada umumnya. Setelah lahirpun tubuhku kembali sedia kali, jadi tak perlu pusing-pusing untuk diet sehat.
3. Sesuai Kondisi Orang Tua
Allah itu Maha Adil. Allah memberiku bayi BBLR karena menyesuaikan kondisiku dan juga suami. Aku bukan orang yang fisiknya kuat, cenderung klemar-klemer, bahkan punya jurus "menghilangkan tulang" (wkwkwk). Suami juga, tubuhnya ceking, bahkan BBnya lebih rendah daripada aku. Kalau bayiku terlahir dengan BB 3,5 kg misalnya, mungkin aku bakal kewalahan.
4. Terbiasa Pumping
Masuknya bayi ke ruang perina memaksaku untuk punya ASI perah. Aku pompa terus, hingga tanpa ku sadari sudah melakukan power pumping. Awal-awal memang hasilnya tak seberapa (dan tentunya penuh perjuangan). Tapi di hari ke-2 (tanggal 25 malam) sekali pompa aku bisa dapat 50ml. Lumayan banget sih, dan yakin sekali setelah ini pasti ASI akan berlimpah karena sering dipompa.
Demikianlah caraku untuk berpikiran positif dan menerima keadaan. Kalau nantinya ada orang yang berkomentar "ih, bayinya kecil." setidaknya aku punya beberapa alasan untuk tetap bersyukur.
KMC ini dilakukan minimal 1 jam, tak harus dengan ibu, bisa ayah atau siapa saja. Bedanya kalau dengan ibu, bayi bisa sekaligus minum asi, jika dengan orang lain hanya menghangatkan saja.
Saat mencoba KMC ini, pengalaman baru sih buatku. Tapi panas dan gerah, apalagi di ruang perina yang memang diatur hangat (AC hanya di ruang perawat). Selesai 1 jam, aku beres-beres, urus administrasi, nunggu dijemput. Pulang deh, yeay! Terakhir ditimbang BB bayi di angka 2.3kg. Aku sempat khawatir jika dokter tak mengijinkan pulang karena berat badannya turun. Tapi ternyata itu wajar karena bayi kehilangan sebagian cairan setelah dilahirkan.
Alhamdulillah lega rasanya. Drama yang sesungguhnya akan segera dimulai.
Ku pikir-pikir, punya bayi dengan BBLR itu tak harus membuatku sedih berkepanjangan karena ada beberapa hal yang, menurutku, sebaiknya aku berterima kasih pada BBLR.
1. Masuk ke Ruang Perinatologi
Aku tak pernah tau apa yang terjadi di balik ruangan itu dan ternyata isinya para bayi yang berjuang bersama ibu (dan ayahnya). Ada banyak kasus yang dari mereka aku diingatkan untuk terus bersyukur. Bayiku sehat, hanya kurang beberapa gram saja untuk mencapai berat badan normal. Sementara mereka, perjuangannya lebih-lebih. Ada yang lahir prematur dengan BB kurang dari 2 kg dan harus di ruang perina berhari-hari hingga 1,5 bulan lebih. Ada yang bayinya sehat tapi ibunya sedang berjuang di ICU karena perdarahan. Ada yang kasusnya sepertiku, tapi dia lahiran SC. Apalah aku dibandingkan dengan perjuangan mereka.
2. No stretch mark dan Tak Perlu Diet
Biasanya setelah melahirkan ada tanda cinta berupa "petir" di perut ibu karena ada peregangan otot saat hamil. Tapi itu tak berlaku buatku. Mengandung bayi BBLR tak membuat perutku terlihat begitu besar seperti ibu hamil pada umumnya. Setelah lahirpun tubuhku kembali sedia kali, jadi tak perlu pusing-pusing untuk diet sehat.
3. Sesuai Kondisi Orang Tua
Allah itu Maha Adil. Allah memberiku bayi BBLR karena menyesuaikan kondisiku dan juga suami. Aku bukan orang yang fisiknya kuat, cenderung klemar-klemer, bahkan punya jurus "menghilangkan tulang" (wkwkwk). Suami juga, tubuhnya ceking, bahkan BBnya lebih rendah daripada aku. Kalau bayiku terlahir dengan BB 3,5 kg misalnya, mungkin aku bakal kewalahan.
4. Terbiasa Pumping
Masuknya bayi ke ruang perina memaksaku untuk punya ASI perah. Aku pompa terus, hingga tanpa ku sadari sudah melakukan power pumping. Awal-awal memang hasilnya tak seberapa (dan tentunya penuh perjuangan). Tapi di hari ke-2 (tanggal 25 malam) sekali pompa aku bisa dapat 50ml. Lumayan banget sih, dan yakin sekali setelah ini pasti ASI akan berlimpah karena sering dipompa.
Demikianlah caraku untuk berpikiran positif dan menerima keadaan. Kalau nantinya ada orang yang berkomentar "ih, bayinya kecil." setidaknya aku punya beberapa alasan untuk tetap bersyukur.
No comments:
Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^