#CeritaMelahirkan | Part 4 : Ruang Perinatologi

Sunday, March 24, 2019

Minggu, 24 Maret 2019, untuk pertama kalinya aku berada di ruang perinatologi (perina) / peristi. Ruangan ini khusus untuk perawatan bayi baru lahir (sebelum rawat gabung dengan si ibu) dan bayi dengan diagnosa tertentu. Yang diperbolehkan masuk ke ruangan ini hanyalah orang tua bayi.

Aku masuk ke ruangan, menemui bayiku. Ku lihat dia tidur dengan tenang di box, tempat tidurnya. Ada rasa haru disana, yang selama 9 bulan ini ada di perut dibawa kemana-mana, sekarang ada di hadapan mata.

Ku lihat identitas yang tertera di box;
Berat : 2420gr
Diagnosa : BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

Sedih. Kekurangan berat badan 80gram membuat segalanya menjadi 'terlihat' lebih berat. Seharusnya kemarin aku bisa IMD, seharusnya hari ini bayiku yang diantar ke ruanganku, bukan aku yang mengunjunginya.

Kunjungan pertama, aku bersama suami, dia mendorongku di atas kursi roda. Jarak ruang perawatanku dengan ruang perina cukup jauh. Rasanya aku masih belum kuat untuk berjalan kaki jarak jauh.

Begitu melihat bayi mungilku, ingin rasanya ku segera menggendongnya, tapi bingung, takut. Selama ini aku selalu menolak menggendong bayi yang umurnya < 1 bulan. Tapi ini bayiku, tak mungkin hanya ku lihat saja. Aku pun meminta bantuan perawat untuk mengajariku. Benar atau salah, nyaman atau tidak, mau tak mau aku harus bisa menggendongnya. Aku juga belajar menyusuinya. Bersyukur sekali ASI sudah keluar di hari pertama.

Aku usahakan mengunjungi bayiku tiap 3 jam sekali untuk menyusuinya. Tantangan terbesarku bukanlah jarak ruangan kami, melainkan jam tidur bayi. Tiap kali aku datang, si bayi dalam kondisi tidur. Dipaksa bangun, dia tetap terlelap. Kadang aku beruntung ketika aku datang, bayi sedang menangis. Saat seperti itu aku bagaikan pahlawan kesiangan, sodorin nenen, bayi langsung tenang seketika.

Keberuntungan lain saat mengunjungi si bayi yaitu ketika bayi pipis dan pup yang masih berwarna hitam dan lengket atau biasa disebut mekonium. Sebenarnya bisa saja meminta bantuan perawat, tapi aku ingin belajar. Awalnya jijik, tapi balik lagi "Ini anakku. Siapa lagi kalau bukan aku yang bertanggung jawab membersihkannya?"

Keberadaan bayi di ruang perina ini membuatku agak canggung ketika ada tamu yang datang. Jika kebetulan aku sedang di ruang perina, para pengunjung hanya bisa melihatku dan bayiku dari balik jendela. Jika aku di ruang perawatan, mereka hanya bisa bertemu denganku yang kondisinya sudah segar bugar, tak tampak seperti orang yang baru saja melahirkan. Dua hari bolak-balik dari ruang perawatan ke ruang perina memaksaku pulih lebih cepat, mengabaikan rasa sakit bekas jahitan.

No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.