#CeritaMelahirkan | Part 2 : Perjuangan di Kamar Bersalin
Aku dibawa ke kamar bersalin. Di satu ruangan besar ada 4 bilik untuk
bersalin. Aku menempati bilik no. 2, sebelah kananku kosong dan sebelah
kiriku adalah pasien yang bersebelahan bilik saat di IGD. Di bilik no 4
aku tak tahu apakah ada pasiennya atau tidak. Kami ditanya apakah sudah
sarapan atau belum, kalau belum kami diminta untuk sarapan terlebih
dahulu.
Dari yang ku pelajari selama hamil, proses persalinan itu
membutuhkan tenaga. Jadi sebisa mungkin makan, agar punya tenaga
khususnya saat mengejan. Aku pun meminta suami untuk membelikan sarapan,
padahal di rumah tadi sudah makan bubur kacang ijo, haha, saking
takutnya kurang tenaga.
Saat sarapan aku ditemani dua rekan kerja yang
menjengukku. Ruang kerja kami dengan ruang bersalin ini persis
bersebelahan. Mereka hanya menyebrang taman untuk menemuiku, memberi
semangat untukku menghadapi persalinan, sembari curhat dan bercanda. Ya,
aku masih bisa ketawa-ketawa sambil menikmati sarapan yang tak habis
karena kekenyangan. Mereka pun pamit undur diri, melanjutkan pekerjaan.
Tak lama, ibuku datang, membawa perlengkapan yang ku minta; kain jarik,
baju berkancing, pembalut, celana dalam. Rencananya minggu ini aku dan
suami pulang ke rumah orang tuaku mengambil itu semua. Tak tahunya aku
di kondisi sekarang ini dan terpaksa ibuku yang harus mengemasinya
untukku.
Melihat kondisiku, ibuku bertanya "kok kelihatannya
tenang - tenang aja?" Lha harusnya gimana 😅 Kontraksi masih belum
teratur, tiap pindah posisi selalu keluar cairan dari jalan lahir.
Ibuku
menemaniku, suami juga. Kadang bersamaan, kadang ganti-gantian. Aku
terus dipantau oleh bidan dan perawat yang berjaga, dicek tekanan darah
dan juga detak jantung janin (djj). Ada alat khusus yang mengukur djj
dan mencetak pergerakannya. Alat itu bekerja selama kurang lebih
20 menit. Alhamdulillah, janinku masih aman, belum melemah.
Entah
jam berapa, kembali dilakukan VT oleh bidan. Inginku menolak, tapi kata
bidan itu prosedur yang harus dilakukan, observasi setelah 8 jam KPD.
Pemeriksaan dalam yang dilakukan di IGD kurang efektif karena belum ada 8
jam dari KPD. Begitu dicek, ternyata bukaanku tak bertambah, bahkan
cenderung jauh dan bisa dikatakan belum ada pembukaan. Kontraksi yang
sedari tadi ku rasakan belum cukup kuat untuk mengantarkan bayiku ke
jalan lahir.
Entah jam berapa (lagi -- aku sengaja tak memperhatikan jam), mertuaku datang, membawakan tas perlengkapan baju bayi dan juga bajuku. Ngobrol dengan ibuku, tahu-tahu
adzan dzuhur berkumandang. Selepas dzuhur ibuku menghampiriku, pamit
pulang, biar suami dan ibu mertua (Bumer) saja yang menemaniku. Toh hanya
satu orang yang diperbolehkan menunggui di kamar bersalin. Baiklah, tak
masalah. Lagian kasihan kalau harus menunggu tak jelas di luar ruangan.
Makan siangku datang. Kali ini sudah dapat jatah dari rumah
sakit. Bumer menyuapiku. Tangan kanan yang diinfus membuatku tak leluasa
untuk makan. Ku nikmati makanan sambil sesekali meringis saat gelombang
cinta datang. Ku hentikan makanku saat aku merasa mual.
Waktu
terus berlalu. Rasa sakit mulai datang secara teratur dan lebih kuat.
Sering kali suami dan bumer mengingatkanku untuk terus istighfar, berdoa
minta kemudahan. Tapi karena tak bisa atur nafas, semua buyar. Aku
kesakitan, meski tanpa teriak-teriak, hanya menggeliat seperti cacing
kepanasan. Tetiba aku ingin muntah. Dengan sigap Bumer memanggil perawat
jaga yang kemudian memberikanku plastik.
Hoek. Aku muntah. Makan
siangku keluar semua. Aku meminta suami membelikan teh hangat. Setelah
meminumnya, aku memuntahkannya kembali. Total aku muntah tiga kali.
Kondisi ini persis saat aku menstruasi. Ketika perut sakit dan lambung
berisi makanan, maka aku akan muntah sejadi-jadinya, bahkan cairan
kuning dalam lambung juga akan keluar. Bedanya, saat menstruasi rasa
sakit akan mereda jika ku bawa tidur. Kalau sekarang, sakitnya nggak
akan hilang sebelum bayi lahir. Jadi mau tak mau aku harus menikmatinya.
Mungkin sekitar pukul 14.00 WIB, suami menyuruhku sholat. Dia
mengambil segayung air dan membantuku wudhu di tempat tidur. Dia mengusap wajah, tangan,
dan kakiku. Selanjutnya dengan celana dan rok yang basah kena air
ketuban, rambut yang mungkin sedikit keluar dari jilbab, serta keterbatasan daya dan kekuatan (aku tak bisa duduk, bahkan berbaring pun
tak bisa diam karena menahan sakit), aku sholat sebisaku. Sah atau
tidak, diterima atau tidak, Allahu a'lam.
Saat jam visite tiba,
dokter hanya memberi pesan "induksi pelan-pelan ya." Menolak? Buat apa.
Bukaan masih jauh dari angka 10, sementara air ketuban terus keluar
setiap saat. Sekitar pukul 15.30 WIB (menurut suami) aku memulai
induksi; akan diberikan obat pacu tiap 4 jam sekali selama 4 kali.
Aku
minum obat yang pertama, lewat mulut. Apa rasanya? Kontraksi menjadi
lebih kuat dan lebih sakit. Kata orang, sakitnya melebihi kontraksi
alami. Memang benar, tapi menurutku, menjadi lebih sakit ya karena
bayi semakin turun ke jalan lahir.
Beberapa saat setelah minum
obat, aku kesakitan, dicek ternyata masih bukaan 4. Harus cukup sabar
lagi untuk mencapai bukaan 10. Di tengah sisa-sisa kesadaranku melawan
rasa sakit, aku minta maaf ke Bumer dan suami. Voila, setelah minta maaf
aku merasa bayiku makin turun.
Turun.
Turun.
Serasa ingin buang air besar, tapi ku tahan untuk mengejan karena jika bukaan belum lengkap, justru akan membuat bengkak jalan lahir.
Ku tunggu beberapa saat, aku sudah tak kuat lagi, rasanya ingin mengejan. Suami pun segera memanggil dokter. Begitu dipanggil, dokter bidan memakai apron dan bersiap membantu.
Serasa ingin buang air besar, tapi ku tahan untuk mengejan karena jika bukaan belum lengkap, justru akan membuat bengkak jalan lahir.
Ku tunggu beberapa saat, aku sudah tak kuat lagi, rasanya ingin mengejan. Suami pun segera memanggil dokter. Begitu dipanggil, dokter bidan memakai apron dan bersiap membantu.
"Wah sudah crowning ini." kata dokter.
Rambut
si bayi sudah kelihatan di jalan lahir. Tanpa ada panduan khusus cara
mengejan yang benar, aku langsung diposisikan. Kaki diangkat, tangan
memegang paha. Aku mengejan beberapa kali tapi bayi belum juga keluar.
Aku gagal atur nafas. Episiotomi tak dapat dihindarkan. Rasanya nggak
sakit karena dorongan bayi lebih kuat dibanding rasa sakit saat perinium
digunting.
"Ayo Bu, nekat Bu. Kalau enggak, ntar bayinya nggak bisa nangis pas lahir." kata Dokter.
Ku
coba atur nafas lagi dan dengan dibantu bidan yang mendorong perutku,
akhirnya terdengarlah tangisan pertama anakku. Aku dan suami saling
tatap penuh haru.
"Dadanya dibuka Bu, persiapan IMD." teriak bidan sambil mengurus bayiku.
Aku
sudah mempersiapkan diri. Dada terbuka lebar siap menyambut bayiku. Namun, terdengar teriakan lagi dari luar bilik,
"Nggak jadi Bu. Berat dedeknya 2400gram. Kurang dari 2,5kg nggak bisa
IMD."
Yah, sedih hati mamak ðŸ˜
Suami melihat si buah hati, sementara aku ditinggal bersama dokter yang bersiap menjahit jalan lahirku.
Pertama,
dibersihkan dulu perutku, apakah ada jaringan yang tertinggal atau
tidak. Selanjutnya urine yang berada di ginjal dikeluarkan. Rasanya
plong banget! Perut kempes tak ada beban. Setelah semua bersih, proses
menyakitkan itu dimulai.
Aku diberi obat bius agar proses
menjahit tidak berasa. Dan benar saja, saat jarum menusuk kulit, tidak
berasa. Menit demi menit berlalu, proses ini tak kunjung usai. Dokter
mulai kelelahan, aku mulai menggigil kedinginan.
Rasanya lelah
sekali. Entah kenapa dokter selalu saja menemukan bagian yang robek.
Hingga efek bius habis, proses ini belum juga selesai. Aku harus menahan
rasa sakit saat jarum menusuk kulit, belum lagi rasa pegel karena harus
ngangkang dalam waktu cukup lama. Satu jam lebih akhirnya selesai juga.
Yang ku rasakan setelahnya adalah LAPAR. Beruntungnya makan malam
datang di waktu yang tepat. Aku kembali disuapi ibu mertua. Tapi, meski
lapar aku kehilangan selera karena rasa yang masih nano-nano. Aku
memilih berbaring sambil menunggu dipindahkan ke ruang perawatan.
Sebelum
dipindah ruang, aku diminta untuk ganti pembalut. Dibantu suami, aku
dituntun menuju kamar mandi. Aku cukup kliyengan saat berjalan dan
nyaris ambruk. Eh ternyata kamar mandinya sedang dipakai. Kembali ke
bilik, duduk sebentar mengumpulkan nyawa sembari menunggu kamar mandi
kosong.
Aku kembali ke kamar mandi, lagi-lagi dibantu suami.
Begitu sampai, aku merasa lemas, gelap, dan bruuukkkkk, aku tak sadarkan
diri. Sedikit sadar aku mendengar suami teriak panik "Dokter,
tolooongg!" Perawat atau bidan datang menghampiri dengan membawa kursi.
Aku yang diam duduk di pojokan kemudian dibantu duduk di kursi.
Kesadaranku mulai pulih, badanku tak selemas tadi. Selesai ganti, aku
kembali ke bilik. Tak lama kemudian aku diantar menuju ruang perawatan
dengan kursi roda. Aku baru bisa menemui bayiku besok pagi, di ruang perinatologi, ruang perawatan khusus bayi.
No comments:
Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^