#CeritaMelahirkan | Part 1 : Ketuban Pecah Dini (KPD)

Saturday, March 23, 2019
23 Maret 2019, pukul 01.25 WIB, aku merasa sesuatu keluar dari jalan lahir. Aku yakin itu bukan keputihan karena tak biasanya keluar di saat aku terlelap, apalagi jumlahnya lumayan banyak. Aku yakin pula itu bukan urine karena sejauh ini aku masih bisa mengendalikan ginjalku, kapan harus BAK. Kalaupun ngompol, nggak akan sebanyak itu. "Jangan-jangan ketuban pecah dini (KPD). DEG!

Aku mencoba tetap tenang, mengingat apa saja yang sudah ku pelajari mengenai KPD. Satu yang pasti, jangan panik. Dua, perbanyak minum agar tidak kehabisan air ketuban. Tiga, batasi ruang gerak.

Aku tak langsung membangunkan suami, takutnya dia panik dan aku ikut terbawa. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidur kembali, menyiapkan tenaga untuk melahirkan. Sesekali air keluar membasahi celana. Tapi selama itu, aku terus minum agar tubuh tetap terhidrasi.

Banyak minum membuatku ingin berkemih dan saat beranjak dari kasur, aliran air dari bawah semakin deras. Ku tahan hingga kamar mandi dan byaaaarrrrr sampai kamar mandi basahlah celanaku. Lendir bercampur sedikit bercak darah keluar disertai urine yang mengalir. Duh, gimana ini. Kejadian serupa terjadi beberapa kali, selalu keluar air disusul urine.

Hingga adzan subuh menggema, aku membangunkan suami, bilang padanya kalau aku mengompol, selanjutnya menjelaskan keadaanku.

Aku masih berusaha untuk tetap tenang, di hadapan suami dan juga mertua. Pokoknya aku tak ingin mereka panik. Lagipula kontraksi yang ku rasakan masih belum teratur. Aku masih bisa menahan sakitnya.

Aku sarapan dulu, makan bubur kacang ijo pemberian tetangga kemarin, mandi air hangat, masuk-masukin baju ke dalam tas. Pukul 07.00 WIB, aku dan suami berangkat pakai motor menuju IGD rumah sakit, tanpa bawa perlengkapan, hanya sekedar periksa.

Setelah melakukan registrasi, aku dibawa ke ruangan yang biasa digunakan untuk menangani wanita hamil di IGD. Ada dua bilik di ruangan tersebut. Satu bilik sudah terisi oleh pasien dengan kasus yang sama denganku, KPD dari jam 9 malam.

Tindakan yang dilakukan di IGD antara lain Vaginal Toucher (VT) / Pemeriksaan Dalam yakni mengecek sudah seberapa siap mulut rahim mengeluarkan bayi (sudah bukaan berapa?). Pada kasusku, aku baru bukaan 1 dan perawat memastikan air yang keluar memanglah air ketuban. Detak jantung janin juga dicek, masih di angka normal.

Dengan kondisiku seperti itu, aku dirujuk rawat inap, tak diperbolehkan pulang. Aku diinfus dan diambil darah untuk pemeriksaan laboratorium. Suami mengurus administrasi. Selanjutnya aku dibawa ke Ruang Bersalin pakai kursi roda. Sepanjang ingatanku, baru kali ini aku didorong pakai kursi roda 😝

Btw, aku di rumah sakit tempat ku bekerja. Kenapa memilih disini padahal ada rumah sakit yang lokasinya lebih dekat dari rumah? Karena setiap hari aku kesini. Aku mengenali areanya dan itu membuatku lebih rileks. Melahirkan itu butuh hormon oksitosin (hormon cinta/bahagia). Hormon itu tidak bisa keluar jika dalam keadaan tertekan, misal karena merasa asing dengan tempat untuk melahirkan. Itu yang nantinya membuat persalinan macet, bukaan tidak nambah, dan berakhir pada meja operasi.

Sejujurnya aku belum siap menghadapi persalinanku ini. Mental dan fisikku belum begitu siap, perlengkapan yang harus dibawa ke rumah sakit pun belum aku siapkan sama sekali, dan KPD ini memaksaku harus siap segalanya.

Akan tetapi, selalu ada hikmah di setiap cerita. Di balik KPD di usia kandungan 38w atau masih di 37w7d (hitungan HPHT) hikmah yang ku peroleh antara lain :

1. Aku tak merasakan galaunya lewat HPL. Galau ditanya orang "kok gak lahir-lahir", galau dapat intervensi dari nakes yang memberikan duedate lahiran dengan alasan pengapuran plasenta, ketuban kurang, dan sebagainya.

2. Menghemat biaya pemeriksaan kehamilan. Di pemeriksaan terakhir aku sudah diwanti-wanti bahwa aku sudah melebihi batas yang dicover BPJS. Meskipun kata dokter 'Tunggu sampai hari H', tapi kalau belum ada tanda-tanda lahir hingga HPL tiba, pasti kepikiran, dan pasti segera mengagendakan untuk pemeriksaan kehamilan, meskipun biaya ditanggung sendiri.

Baca: Week 37 : Jatah USG dari BPJS Habis

3. Cuti berasa lebih lama. Jatah cuti yang bisa ku ambil yaitu 1,5 bulan sebelum HPL dan 1,5 bulan setelah HPL. Karena lahiran maju 2 minggu dari HPL, maka aku punya waktu 2 bulan penuh bersama bayiku sebelum nantinya kembali bekerja.

No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.