#CeritaMelahirkan | Part 5 : Perjuangan ASI Selama di Rumah Sakit

Tuesday, March 26, 2019
Bayiku berada di Ruang Perinatologi dari tanggal 23 - 26 Maret 2019. Aku lupa detail kejadian per tanggal. Tapi akan ku coba menceritakan apa saja yang terjadi selama itu.

Tanggal 23 Maret, setelah gagal IMD (Inisiasi Menyusui Dini), bayiku dibawa ke ruang perina. Aku belum diperbolehkan menemui bayiku, mengingat kondisiku yang butuh perawatan (istirahat) pasca persalinan.

Tanggal 24 Maret, entah di kunjungan ke berapa, kalau tak salah sore setelah mandi, ku lihat bayiku sedang diganti bedongnya oleh perawat. Dia terlihat tenang tanpa tangisan. Ku lihat di bagian atas box bayi, ada segelas susu berwarna putih.
"Tadi dikasih susu formula, Bu?" tanyaku pada perawat yang mengurusnya.
"Iya, soalnya tadi nangis."
"Banyak nggak?"
"Ya segitu." Pandangannya mengarah ke gelas kaca yang masih terisi lebih dari setengah.

Aku tak tahu itu gelas ke berapa. Kalau itu gelas pertama, maka kemungkinan bayiku hanya minum beberapa sendok. Kalau itu gelas kedua, berarti banyak sudah susu formula (sufor) yang masuk ke perutnya.

Ku gendong bayiku, sambil ku bisikkan kata maaf padanya. "Maaf, Ibu datang terlambat Nak. Kalau saja Ibu datang lebih cepat, Ibu pasti bisa memberikanmu ASI." Mataku berkaca-kaca. Inginku menangis, tapi ku tahan.

Melihat raut wajah kecewaku, perawat tadi berkata, "Kalau nggak mau dikasih sufor, Ibu perah ASI nya, nanti kami berikan ASI perahnya ke Si Kecil." Aku langsung kirim pesan WhatsApp ke suami (yang kebetulan lagi di rumah) untuk membawakan pompa asi yang kemarin belum sempat dicuci steril.

Meski sadar betul bahwa sufor bukanlah racun dan membahayakan, tapi sejujurnya aku cukup kecewa dengan pemberian susu formula ke bayiku.
1. Bayi bisa bertahan hingga 72 jam atau 3 hari tanpa makan/minum.
2. Pemberian sufor tanpa konfirmasi/persetujuan keluarga bayi.

Baca-baca pengalaman orang lain, mereka harus menandatangani form persetujuan sebelum memberikan sufor, maka ku pikir hal yang sama berlaku juga di rumah sakit ini. Ternyata tidak 😣 Mungkin karena bayiku di ruang perinatologi yang mana semua pasiennya adalah bayi, maka ketika ada satu bayi nangis, sebisa mungkin mereka segera menenangkannya (termasuk pemberian sufor saat bayi lapar) agar bayi lain tak ikut menangis juga. Bisa bayangkan kalau 20 bayi menangis dalam satu waktu. Iya kalau para ibu sedang stand by menunggu bayinya, kalau enggak? Kasihan perawat yang jaga. Meski demikian, saat pengisian form pengaduan/saran aku tetap menuliskan tentang pemberian sufor ini. Berharap bisa jadi bahan pertimbangan agar tak ada ibu-ibu lain yang juga merasa kecewa.

Malam hari suami membawakan pompa asi yang sudah ku beli jauh-jauh hari. Dia sudah cuci steril pompa tersebut mengikuti buku panduan yang ada. Luv 💓

Awalnya aku coba marmet (memerah asi pakai tangan), tetes demi tetes ku kumpulkan. Pegel bin lelah, akhirnya ku lanjut pakai pompa. Hasilnya? Jangan ditanya. Baru lahiran, berharap dapat berapa ml sih? Yang penting cukup membuat bayi tenang selama menunggu jam menyusui berikutnya tiba. Jam 8an malam ku tinggalkan asi perahku.

hasil marmet pertama kali
hasil pompa pertama kali

















Tanggal 25 Maret, sekitar pukul 00.00 WIB, aku dibangunkan perawat. Bayiku menangis dan aku diminta ke ruang perinatologi. Perawat menyarankan agar aku ditemani suami. Tetapi aku tak tega membangunkannya. Seharian dia bolak balik kesana kemari mengurus banyak hal. Akhirnya aku menuju ruang perina sendirian. Jam 12 malam lewati lorong panjang, sempat kebayang ada suster ngesot 😅 tapi segera ku tepis banyangan itu.

Buru-buru aku menemui bayiku yang menangis. Ku gendong dia dan segera ku susui. Begitu kenyang, aku kebingungan, sampai besok pagi kalau dia nangis gimana? Aku tak punya stok asi perah. Pompa asi ku tinggal di ruangan.

Aku kembali ke ruang perawatan. Ku coba untuk memompa asi, tapi sungguh sangatlah seret. Aku merasa lelah luar biasa hingga akhirnya aku menangis, sesenggukan di sebelah suami yang masih tidur. Dia terbangun dan kaget melihat ku menangis. Ku katakan padanya kalau aku capek, harus bolak balik saat jam menyusu, harus pompa asi agar bayiku tak lagi diberikan sufor, dan semua itu membuatku lelah. Suami hanya bisa berkata agar aku jangan memaksakan diri.

Nggak! Bukan kalimat itu yang ingin ku dengar. Aku butuh support darinya. Aku menangis bukan untuk menyerah tapi agar bisa semangat kembali. Drama berakhir, kami lanjut tidur.

Sekitar pukul 04.30 WIB, aku kembali ke ruang perina. (Seingatku) kali ini aku bawa asi perah yang baru ku pompa. Begitu sampai di ruang perina, aku tak diperbolehkan masuk. Kata perawat jaga, datang nanti saja setelah bayi dimandikan sekitar pukul 06.30 WIB. Aku pun menitipkan asi perah yang ku bawa dan kemudian kembali ke ruangan.

Pukul 06.30 WIB aku sudah ada di ruang perina lagi, bersamaan dengan satu ibu yang juga ingin mengunjungi bayinya. Ternyata pintu masih ditutup. Kami sedikit sabar menunggu. Tak lama kemudian kami diperbolehkan masuk. Hwaa ketemu bayi mungilku lagi.

Ku lihat asip tadi pagi masih utuh. Artinya si bayi belum minum dari pagi tadi. Aku segera menyusuinya. Setelah itu, aku kembali memompa asi. Aku tak tahu jika saat aku meninggalkan ruangan itu, ternyata bayiku nangis. Setidaknya dengan meninggalkan asi perah, aku lebih tenang.

Dari sekian banyak ibu-ibu yang ada di ruangan itu, mungkin aku yang paling aneh dan keras kepala. Ibu-ibu lain memerah asi di ruangan mereka masing-masing. Sementara aku, sambil menunggu bayi bangun, di ruang perina aku selalu menyempatkan diri untuk pompa, padahal nggak ada isinya. Benar-benar ngumpulin tetes demi tetes dan rasanya puegeeel banget. Tapi ya bodo amat lah, setidaknya aku pernah berjuang memberi anakku asi, makanan terbaik untuknya. Selesai pompa, aku kembali ke ruangan untuk sarapan.

Siang, saat visit dokter, si bayi baru boleh pulang besok. Sementara aku sudah diperbolehkan pulang hari ini. Sebenarnya boleh saja aku nambah hari, ikut bayi, tapi setelah diskusi dengan keluarga, aku pulang saja hari ini. Aku mikirnya malam kemarin aku hanya bisa sekali ke ruang perina. Itu artinya aku cukup menyiapkan asi perah untuk 1 - 2 kali minum. Esok harinya berangkat pagi, jam 06.30 WIB sudah harus disini. Ok, deal! Dengan rencana seperti itu, aku meminta keringanan agar diperbolehkan keluar ruangan jam 20.00 WIB. Boleh!

Sore hari, aku sudah menitipkan 2 kantong asi yang bisa diberikan nanti malam saat aku sudah pulang.

Sehabis maghrib aku ke ruang perina. Ku lihat 1 kantong asi sudah dihidangkan, meski belum habis diminum. Melihat kedatanganku, perawat sedikit kaget.
"Kirain dah pulang, Bu. Asi nya sudah saya buka satu, tapi Adek susah minum pake sendok."
"Saya nanti kesini sekali lagi sebelum pulang."

Aku susui bayiku, setelahnya aku keluar ruangan, menunggu sesi terakhir sebelum aku harus meninggalkan bayiku semalaman.

Sebelum pukul 20.00 WIB, aku kembali ke ruang perina. Aku lupa bayiku masih tidur atau mau menyusu, yang jelas aku kembali memompa asi. Stok di kulkas tinggal 1 kantong, aku harus menambahkannya. Bermenit-menit mompa, aku berhasil mendapat 1 kantong tambahan.

Aku pamit dengan perawat jaga sambil menyerahkan 1 kantong asi tambahan.
"Total jadi ada 2 kantong ya, Bu. Tapi kayaknya masih kurang deh, Bu. Apalagi Adek nyusunya kuat ya. Rumahnya dimana? Kalau bisa nanti di rumah mompa, terus suaminya antar kesini."
"Jauh, Bu. Kalau nanti asi nya kurang, sambung sufor nggak apa-apa deh Bu." kataku pasrah.

Aku sengaja pulang lebih larut agar bisa menyiapkan asi perah disini. Aku tak tega menyuruh suami bolak balik rumah-rumah sakit hanya untuk mengantar asi yang takseberapa. Dari kemarin dia udah bolak-balik memenuhi kebutuhanku dan si bayi.

Aku kembali ke ruang perawatan, berkemas dan pulang. Rupanya aku masih dapat jatah makan malam, alhamdulillah. Selesai makan, packing, aku bersama suami menuju perawat jaga untuk melepas gelang pasien.

"Mau lanjut di Ruang Tunggu atau di PDE (kantor/ruang kerja kami)?" tanya perawat.
"Nggak, kami pulang." Suami yang menjawab.

Mendengar pertanyaan perawat tadi, aku mulai goyah dan baru kepikiran "oiya ya, kenapa nggak nunggu di kantor aja." Aku jadi merasa jahat kenapa meninggalkan bayiku sendirian di rumah sakit. Tapi apa boleh buat, bapak mertua sudah menjemputku. Aku pulang, meninggalkan rumah sakit. Aku berdoa agar Alloh senantiasa menjaganya.

Sesampainya di rumah, hal pertama yang ku lakukan cuci steril pompa. Malam itu aku berhasil 2 kali pompa dengan hasil yang lumayan.

Tanggal 26 Maret, aku yang biasanya jam 06.00 belum beranjak dari kasur, kini sudah mandi dan rapi. Bangunkan suami untuk segera siap-siap juga. Meski sudah diupayakan berangkat gasik, tetap saja 06.30 baru berangkat dari rumah, pakai motor. Apa kabar jahitan di bawah sana? Urus nanti saja.

Begitu sampai rumah sakit, aku langsung menuju ruang perina. Ku lihat bayiku sedang tidur. Di box nya ada asi yang terhidang, belum habis. 'Loh? asi semalam masih ada.'

Hari itu aku banyak menghabiskan waktu di ruang perina, menemani si bayi. Aku tak lagi ngoyo mompa karena kapan bayi ingin minum, aku siap. Aku tinggal menunggu dokter visit untuk mendapat persetujuan pulang dan keluar dari rumah sakit.

No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.