Dua Sisi bersama Guru Biologi
Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam.
Dua sisi. Sebuah tema yang unik untuk dibicarakan. Memaksa
ku untuk mengenang perjalanan hidup yang sudah 21 tahun ku jalani, mencari potongan-potongan
kisah yang merujuk pada kata ‘Dua Sisi’.
Mengenang masa lalu memang indah. Membuatku tersenyum-senyum
sendiri saat mengingatnya. Aku ingat saat aku dipuji seorang guru karena
jawabanku yang memuaskan dan ingat saat aku dimarahi seorang guru karena
pertanyaan yang ku ajukan. Menariknya, walau berbeda masa, kedua guru tersebut sama-sama
guru Biologi. Dan potongan kisah inilah yang akan ku angkat untuk cerita ‘Dua
Sisi’ ku, saat dipuji dan saat dimarahi.
Suatu hari di tahun 2004 (atau 2005, aku lupa), saat aku
masih duduk di bangku kelas VII atau setara dengan kelas 1 SMP. Adalah Bapak
Tugiyanto atau yang biasa disapa Pak Tugi, seorang guru Biologi di SMP N 27
Purworejo kala itu. Apa kabar Pak? Lama tak jumpa. Saat itu, Pak Tugi tengah
mengajar Biologi di kelas VII B, kelasku. Aku lupa Pak Tugi menjelaskan apa waktu
itu. Namun, seingatku kami tengah membahas tentang simbiosis parasitisme, salah
satunya benalu. Siapa yang tak tahu benalu? Tumbuhan parasit yang sangat
merugikan tanaman inangnya.
“Anak-anak, sebutkan jenis-jenis benalu!” perintah Pak Tugi.
“Tali putri.” Jawab teman-teman sekelasku.
“Ya, benar. Tali putri berwarna kuning ya? Biasanya tanaman
yang ditumbuhi tali putri akan cepat mati karena dia menyerap makanan dari
tanaman inangnya. Ada lagi?”
“Tanaman benalu yang tumbuh di pohon, Pak!”
“Iya, benar. Selain tali putri, ada juga tanaman benalu yang
menempel di batang pohon. Kalian tahu tidak, mengapa tanaman yang ditempeli
tali putri lebih cepat mati dibandingkan tanaman yang ditempeli tumbuhan benalu,
yang masih bisa bertahan beberapa tahun?”
Hening. Tak ada suara. Tak ada yang tahu jawabannya.
“Ada yang tahu?” Tanya Pak Tugi sekali lagi.
Masih tak ada suara yang terdengar. Sepertinya Pak Tugi
mulai geram dengan keadaan kelas yang sunyi. Ia pun memanggil buku absensi,
melihat nama yang tertera disana, memanggilnya dan menyuruhnya menjawab.
“Danar. Apa jawabannya? Kenapa tanaman yang ditempeli tanaman
benalu bisa bertahan lama dibandingkan jika ditempeli tali putri?”
Danar pun menjelaskan dengan jawaban seadanya. Sementara
itu, aku dan temanku yang lain hanya tertunduk diam, menahan nafas, berharap
namanya tidak disebut oleh Pak Tugi.
“Jawaban kamu masih salah. Yang lainnya?”
Tak ada yang berani menjawab. Beliau kemudian memanggil satu
nama lagi. Aku dan teman-teman masih tertunduk lemas.
“Rohmiatun?”
‘Bukan namaku.’ Itulah yang ada di pikiran kami, selain
temanku yang bernama Rohmiatun tentu saja.
“Nggg…” kata Rohmiatun, bingung menjawab apa.
“Nggak tahu??” Tanya Pak Tugi kesal. “Zaitun?”
Namaku disebut. Aku harus jawab apa? Tolong, bantu aku
jawab. Tiba-tiba mulutku mengucap sepatah dua patah kata, “karena tanaman
benalu punya daun hijau, Pak!” jawabku singkat.
“Ya. Benar.”
Seketika aku merasa senang. Walaupun pujian itu tidak terlontar, namun dengan aku menjawab benar pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh teman-temanku, rasanya luar biasa. Seketika rasa percaya diriku meningkat drastis.
“Jawaban Zaitun benar ya. Tanaman benalu punya daun hijau
sehingga dia bisa melakukan fotosintesis. Dia menyerap air dari tanaman
inangnya untuk melakukan proses fotosintesis selanjutnya menggunakan hasil
fotosintesis itu untuk tumbuh dan berkembang. Sementara itu, tali putri seratus
persen mengambil makanan dari tanaman inang karena dia tidak bisa melakukan
proses fotosintesis. Itulah sebabnya mengapa tanaman yang ditempeli tali putri cepat mati.”
Itulah sepenggal kisahku saat aku masih kelas VII di mata
pelajaran Biologi yang diajarkan Pak Tugi. Rasanya puas sekali bisa menjawab
pertanyaan yang dilontarkannya.
Akan tetapi, berbeda halnya pada tahun 2007 (atau 2008) saat
aku kelas X atau setara dengan kelas 1 SMA. Adalah Ibu Vitarini atau yang biasa
disapa Bu Vita, seorang guru Biologi di SMA N 7 Purworejo kala itu. Apa kabar
Bu? Lama tak jumpa. Saat itu kami sedang praktikum di Lab Biologi. Seingatku,
kami sedang membahas jenis-jenis hewan, dan saat itu aku sedang menganalisa
anatomi cumi-cumi. Aku tidak terlalu ingat kejadiannya, yang jelas aku bertanya
pada Bu Vita, “Bu, kok ini gini gini gini?”
Dengan nada tegas Bu Vita berkata padaku, “Kamu sudah baca
text book nya belum? Di buku ada. Makanya sebelum praktek itu, baca dulu
bukunya. Kalau bertanya, pastikan di buku tidak ada jawabannya!”
Seketika aku terdiam. Demikianlah Bu Vita memperlakukan
murid-muridnya. Beliau cerdas dan tegas. Dan walaupun aku merasa ‘sakit’ saat Bu Vita
berkata demikian saat aku bertanya, aku rasa beliau benar dan aku yang salah.
Seharusnya aku bertanya dulu pada buku, kemudian baru bertanya pada guru. Meski
tak ingat benar kejadiaannya, namun kata-kata Bu Vita selalu ku ingat.
Demikian kisah Dua Sisi ku bersama kedua guru Biologiku. Di
satu sisi aku terlihat sebagai anak yang pandai karena bisa menjawab pertanyaan
sang guru, namun di sisi lain aku terlihat sebagai anak yang malas dan bodoh karena
banyak bertanya, dimana pertanyaan itu seharusnya tak perlu dilontarkan.
Terima kasih Pak Tugiyanto dan Bu Vitarini. Terima kasih
atas ilmu-ilmu yang kalian tularkan padaku dan pada kami semua, murid-muridmu.
Kalian tak terlupakan ^^
:)... Tulisannya mengingatkan saya saat SMA. Dua sisi ttg mapel Biologi. Kelas 1 n 2 pernah dapat nilai 10 di raport. Nah kelas 3 dg guru yg brbeda malah dapat nilai 6. Hehehe. Jomplang banget yah....
ReplyDeletewah...jadi inget pas SMP mbak..ditegor guru ksrena banyak nanya pas praktek di lab gara gara ga baca matrrinya dulu.... maluuuuu banget rasanya....
ReplyDeletemasih mending mba cmn dmarahin lah aku pernah d usir lho, gr2 protes metode mengajar guruku yg mnrtku pinter utk dirinya sendiri, hehehehe ;-) prnh juga dmarahin sm guru kesenian gara2 ibu guru kesenianx ngajar dibaca aj trus bukux, g djelasin sm sekali aku yah dmarahi habis2an gara2 memukul2 meja mengikuti cara membacax yg mendayu2 dan tahu g mba aku skrg jg menjadi tenaga pengajar, dan dr mereka aku belajar tekhnik2 mengajar sebenarx, yg baik aku ambil yg tdk bagus dak aku terapkan ;-)
ReplyDelete@KATALIS HATI: wahh... kok bisa gitu ya? padahal di kelas 1 n 2 bisa dapet 10.. keren banget ituu
ReplyDelete@ndoro ayu: iya mbak, beneerr... maluuu rasanya.. >.<
@aty_bidam: hehe.. gimana rasanya jadi pengajar Bu? apakah murid2nya sama kayak ibu dulu.. hehe.. bagaimana pun cara mengajar seorang tenaga pengajar, mereka pasti punya niat yang sama, yaitu berbagi ilmu untuk para muridnya ^^
Kata2 guru efeknya memang beda ya, beda bila yang mengatakannya itu teman kita :)
ReplyDeleteoooh biologi, kau menyenangkan sekaligus menyebalkan :D
ReplyDeletetergantung gurunya juga, kalau asyik ngajarnya maka betah nymak pelajaran biologi. Pun sebaliknya
Saran saja, Neng, kasih spasi antar paragraf dong ^^
Xixixixi... Guru biologiku aneh2 dulu hobbinya ngasi test kecil tiap minggu. Aih jadi terkenang masa sekolah dulu
ReplyDeleteiyya.. guru2 kita memang punya 'sesuatu' yang bisa membuat kita mengingat mereka..
ReplyDelete@Arga Litha: makasih sarannya Mbak :)
Memang, rasanya luar biasa ya, bisa menjawab pertanyaan yang siswa lain tak bisa menjawabnya. serasa cerdas luar biasa, pernah mengalami hal serupa. Hehehe...
ReplyDeleteKalau saya lebih parah, ketika SMK saya termasuk siswa cerdas, selalu rangking 3 besar, tapi ketika ujian test tertulis kompetensi malah nggak lulus karena nilai cuma 6, sekian padahal nilai minimal 7. walaupun nilai praktek kompetensi 9 koma sekian, tetap tidak lulus. Jadi saya dijadikan contoh oleh guru-guru ke adik-adik kelas "Itu kakak kelas kalian, selalu rangking, nilai praktek 9 tapi tidak lulus ujian tertulis, makanya kalian harus bla...bla..bla..." hahahaha... saya tertawa miris :-)
@aisyah0107 : hwaaaaaa... tapi kebanyakan emang gitu Mbak. aku pas kuliah ini juga ngalamin, lumayan jago di praktek, tapi pas ditanyaiin teorinya bingung.. hehe
ReplyDeletewaw! menyenangkan ya belajar biologi :)
ReplyDelete