Surat Cintaku
Aku tersenyum simpul menatap surat cinta yang dikirimkan
oleh kekasihku. Kapten Bhirawa, demikian aku menyebutnya. Ah, itu hanyalah
panggilan sayangku untuk Kang Pardi. Rasanya nama Kapten Bhirawa lebih tepat
menggambarkan sosoknya yang tegas dan lantang. Ia juga romantis. Tak pernah ia telat mengirimiku surat tiap bulannya. Membuat hati ini selalu tak sabar menanti Pak Pos menyambangi rumahku di awal bulan.
Masih ingat pertama kali aku bertemu dengannya di perempatan
kota Surabaya. Dia, aih… senyumnya begitu menawan, membuatku tak bisa
mengalihkan pandanganku saat menatap matanya. Dia, aih… tak ku sangka ia
mengajakku berkenalan, meremas jariku yang dingin saking terpesona. Dia, aih… rasanya kenangan itu tak terlupakan.
Aku mendekap lebih erat surat cinta dari Kapten Bhirawa. Surat terakhir yang ku terima sejak satu bulan yang lalu. Tidak. Satu tahun yang lalu. Tidak. Surat itu ku terima dua tahun yang lalu. Sudah lama sekali Kapten-ku tak mengirimiku surat. Aku merindukannya. Aku sungguh merindukannya. Kini mataku sudah berair. Menatap nista surat yang ada dalam dekapanku.
“Mungkinkah Kapten
Bhirawa sudah menemukan wanita yang lebih baik dariku?”
“Mengapa Kapten Bhirawa tak lagi mengirimkan kabar lewat
surat-suratnya?”
“Dimanakah Kapten Bhirawa beradaaaa? Apakah dia tak
merindukankuuuu?”
Aku teriak sekeras-kerasnya. Aku tak memedulikan keadaan
sekitarku. Toh, sepertinya mereka tak mendengarkanku. Tak peduli padaku. Tak mengerti
betapa rindunya aku pada Kapten Bhirawaku.
“Aku sungguh merindukannyaaaa. Dimanakah dia sekaraanggg?”
teriakku sekali lagi.
Ku tatap lebih dalam surat yang masih erat ku genggam. Ku pandangi.
Ku baca sekali lagi isi surat itu dan aku tersenyum melihat tulisan tangan dari
Sang Kapten. “Aku percaya kau pasti akan datang menjemputku, Kapten. Ya, aku
percaya. Aku tak peduli jika orang lain berkata kau tak akan mengirimiku surat lagi. Mereka tak
mengerti benar hubungan kita. Bukan begitu Kapten? Aku selalu menunggumu.”
***
“Ada apa? Katemi berulah lagi.” Tanya perempuan berbaju
putih pada temannya.
“Ya. Lihatlah dia. Sejak kekasihnya meninggal dua tahun yang
lalu, beginilah ia sekarang. Kertas yang tadi ku buang di tempat sampah
dipungutnya dan dianggapnya sebagai surat cinta dari kekasihnya.”
“Sungguh malang nasibnya.”
Kasiian banget Kateminya >.<
ReplyDeleteWaakksss.. ternyata Katemi stres gegara ditinggal meninggal kekasihnya, kasihan juga sih :(
ReplyDeleteAiihh..merindukannya teramat dalam ya..
ReplyDeleteSalam buat Kang PArdi
sukses ngontesnyaa