Merindu Ramadhan Di Rumah
Tak terasa sudah tiga tahun aku di kota ini. Kota yang
begitu keras. Kota yang kejam melebihi kejamnya ibu tiri. Apalagi kalau bukan kota Jakarta. Ya, aku di
Jakarta saat ini.
Tanpa terasa pula Ramadhan kali ini merupakan Ramadhan
keempat yang ku lalui di kota orang. Meski dalam keempat Ramadhan tersebut, aku hanya
berpuasa selama tiga hari hingga seminggu. Selebihnya, aku menghabiskan Ramadhanku di kampung halaman, bersama bapak ibuk tercinta.
Akan tetapi, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, separuh
dari Ramadhan tahun ini harus ku habiskan disini, di kota tempatku menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi.
Sebenarnya apa sih yang membedakan puasa di kota orang
dengan puasa di rumah bersama kedua orang tua?
Banyak. Ada banyak hal yang berbeda dan yang paling terasa adalah saat
sahur tiba. Biasanya jika aku di rumah, tiap waktu sahur tiba ibuk selalu
membangunkan ku dengan cara missed call handphone ku, berharap nada panggilan
handphone yang berisik mampu membangunkanku. Ibu pun menyalakan lampu yang
lebih terang di ruang keluarga. Tak lupa ibu menyalakan televisi. Ibu menyetel
suasana seperti itu agar kami,
anak-anaknya, segera bangun dan sadar harus sahur.
Jika aku masih belum bangun
juga, ibu memanggilku dengan tangannya yang terampil menyiapkan makanan sahur.
"Mbak Mia, sahuuur. Tangi.. Tangi.. Wis jam 4. Arep
sahur pora?"
Mbak Mia, sahur. Bangun.. Bangun.. Sudah jam 4. Mau sahur atau tidak?
Dan jika aku masih bandel tak mau bangun, ibu mendatangi
kamarku, menggerak-gerakkan kaki dan badanku. "sahuuuuur"
Ahh, aku merindukan dibangunkan ibu seperti itu.
Selanjutnya saat aku sudah bangun, aku menuju dapur
mengambil sepiring nasi yang sudah disediakan ibuk di meja makan. Sesudahnya, aku pun duduk manis di ruang keluarga sambil
menonton televisi, menyusul ibu dan adikku yang sudah menyangga piring
masing-masing.
Berbeda dengan di rumah, sungguh merana waktu sahur di
kota perantauan. Sebagai anak kosan, tiap pukul 03.00 pagi alarmku berbunyi membangunkanku. Karena masih mengantuk
maka aku tak akan beranjak dari kasurku yang empuk sebelum waktu menunjukkan pukul 03.20 WIB.
Selanjutnya, aku mengganti pakaian tidurku dengan baju lengan panjang. Tak lupa jilbab berwarna ungu menghiasi wajah ku. Aku dan teman sekamarku pergi ke warung di dekat kosan. Dengan sesekali kami menguap, kami sampai di warung.
Suasana sahur di Jakarta, khususnya dimana aku berada saat ini, cukup ramai. Banyak warung yang buka dan menjual menu sahur yang berbeda. Aku pun bisa bertemu dengan teman-teman yang juga ngekos di kompleks yang sama denganku.
Akan tetapi, mengingat betapa nikmatnya sahur di rumah, buatku rindu. Belum lagi menu sahur ala warung yang cukup membosankan dibanding makanan rumahan.
Selanjutnya, aku mengganti pakaian tidurku dengan baju lengan panjang. Tak lupa jilbab berwarna ungu menghiasi wajah ku. Aku dan teman sekamarku pergi ke warung di dekat kosan. Dengan sesekali kami menguap, kami sampai di warung.
Suasana sahur di Jakarta, khususnya dimana aku berada saat ini, cukup ramai. Banyak warung yang buka dan menjual menu sahur yang berbeda. Aku pun bisa bertemu dengan teman-teman yang juga ngekos di kompleks yang sama denganku.
Akan tetapi, mengingat betapa nikmatnya sahur di rumah, buatku rindu. Belum lagi menu sahur ala warung yang cukup membosankan dibanding makanan rumahan.
Itu jika keadaan normal. Mengingat saat ini langit Jakarta
sering berubah-ubah, maka tantangannya pun semakin luar biasa.
Sabtu lalu, pukul 03.00 alarmku berbunyi seperti biasa.
Namun, sungguh tak biasa dengan cuaca di luar sana. Petir menyambar dan hujan
turun dengan derasnya. Aku seakan tertarik untuk merapatkan selimutku. Tidur
pun semakin nyenyak. Hingga pukul 03.20 pun aku dan teman sekamarku tak ada
yang beranjak dari kasur kami masing-masing.
Akan tetapi, aku dan teman sekamarku tiba-tiba terbangun.
Bukan karena alarm yang berbunyi lagi. Bukan pula karena hujan yang sudah reda,
melainkan suara yang kami dengar dari mushola terdekat.
“Sauuurrr woiiiii…. Sauurrrr…. Woiiiii… sauuuurr woiiiiii”
“Itu orang bangunin sahur kayak neriakin maling.” Kata Intan
(teman sekamarku) sembari bangkit dari kasurnya.
“Iya. Hujan sih, biar pada bangun kali.” Kataku menambahi.
Langit diluar masih mendung. Rintik hujan pun masih
terdengar. Akhirnya aku dan Intan memutuskan untuk membuat mie instan saja.
Berbekal mini magic com, dua mangkuk mie pun tersaji untuk kami berdua. Ditambah
dua gelas Energ*n, perut ini sudah kenyang.
mini magic com |
Itulah salah satu pembeda puasa di rumah dengan puasa di perantauan. Selanjutnya ketika sore menjelang maghrib, biasanya di rumah aku membantu
ibuk menyiapkan makanan untuk berbuka. Jam 15.00 WIB aku dan ibuk sudah mulai
di dapur. Aku membantu ibuk memotong
chao/cincau, memotong kolang-kaling, dan memotong ubi untuk dibuat kolak yang lezat. Di lain hari aku membantu membuat
bola-bola kecil dari tepung beras untuk dibuat jenang candhil.
Selepas asharbiasanya terdengar suara anak-anak yang tadarus di mushola dekat rumahku. Sengaja mereka disediakan microphone untuk memperbesar volume suara agar ayat-ayat suci Al Quran yang mereka baca dapat didengar oleh warga sekitar. Anak-anak tersebut mengaji secara bergantian. Terkadang geli ketika sesekali terdengar suara anak-anak yang sedang bercanda ketika menunggu gilirannya tiba. Suara mereka terdengar riuh dari microphone yang sedang digunakan teman yang mendapat giliran.
Selepas asharbiasanya terdengar suara anak-anak yang tadarus di mushola dekat rumahku. Sengaja mereka disediakan microphone untuk memperbesar volume suara agar ayat-ayat suci Al Quran yang mereka baca dapat didengar oleh warga sekitar. Anak-anak tersebut mengaji secara bergantian. Terkadang geli ketika sesekali terdengar suara anak-anak yang sedang bercanda ketika menunggu gilirannya tiba. Suara mereka terdengar riuh dari microphone yang sedang digunakan teman yang mendapat giliran.
Aku masih sibuk membantu ibuk. Menggoreng tempe, rolade, geblek,
atau gorengan-gorengan yang lain. Ya. Aku lebih handal menggoreng daripada
memasak sayur.
Jika takjil dan makanan yang dihidangkan tak banyak, serta
waktu memulai masak lebih awal, maka sekitar pukul 17.00 WIB semua makanan
sudah tersaji di meja makan. Secara bergantian kami mandi. Setelahnya kami
menunggu adzan maghrib dengan menonton televisi di ruang keluarga. Kemudian,
beberapa menit sebelum adzan kami sudah siap di meja makan dengan masing-masing
satu piring kolak yang sudah disiapkan adik.
Ahh, mengingatnya membuat ku merindu dan ingin segera pulang
ke rumah.
Sementara itu, aku di Jakarta, masih bersama teman sekamar
yang setia. Tiap sore hari menjelang maghrib kami hanya tidur-tiduran di kosan.
Sesekali mengecek status facebook dan postingan di blog, apakah ada yang
memberi komentar atau tidak. Selain itu, aku mengerjakan revisi Tugas Akhir yang sejujurnya
aku sudah lelah menghadapinya.
Setelah waktu menunjukkan pukul 17.30 WIB, barulah aku dan Intan
berganti pakaian, siap-siap membeli makan untuk berbuka puasa. Suasana sore hari
menjelang waktu berbuka begitu ramai. Banyak pedagang dadakan yang menjajakan
dagangannya. Kebanyakan memberikan menu yang sama; kolak, buras, gorengan, es
buah, mie goreng, pecel sayur. Dan lagi-lagi harus aku katakan aku bosen dengan
menu yang seperti ini. Ditambah harganya yang juga lumayan naik. Es cendol yang
biasanya Rp 3.000,- menjadi Rp 4.000,-. Gorengan yang biasanya Rp 500,- per buah naik
menjadi Rp 2.000,-/3 buah.
Dan sore ini, aku ingin menikmati kolak bukan buatan ibuk. Akhirnya aku beli di ibu-ibu yang jualan di pinggir jalan. Tanpa bertanya
harga, aku langsung membelinya.
“Berapa Bu?”
“Rp 4000,-.”
Aku bayar kolak yang ku beli dan seketika aku langsung SMS
ibuk;
Kolak segelas 4000 -,-
Nang omah gratis, entuk tanduk meneh. Sabar dlm menjlnkan
wajib
Di rumah gratis, boleh nambah lagi. Sabar dalam menjalankan yang wajib.
Ahh, hati ini benar-benar merindu menghabiskan Ramadhan di rumah bersama ibuk bapak. Namun, di luar itu semua, harusnya aku selalu bersyukur. Meski jauh dari orang tua, aku masih diberi rezeki untuk menikmati Ramadhan-Nya. Aku masih bisa santap sahur. Aku masih bisa berbuka dengan makanan yang layak. Alhamdulillah. Terima kasih ya Alloh. Tapi, aku tak bisa pungkiri bahwa aku begitu rindu berpuasa dalam hangatnya keluarga.
Ahh, hati ini benar-benar merindu menghabiskan Ramadhan di rumah bersama ibuk bapak. Namun, di luar itu semua, harusnya aku selalu bersyukur. Meski jauh dari orang tua, aku masih diberi rezeki untuk menikmati Ramadhan-Nya. Aku masih bisa santap sahur. Aku masih bisa berbuka dengan makanan yang layak. Alhamdulillah. Terima kasih ya Alloh. Tapi, aku tak bisa pungkiri bahwa aku begitu rindu berpuasa dalam hangatnya keluarga.
Aku sadar, suatu saat nanti, saat aku menemukan siapa pemilik tulang rusuk ini, aku akan kehilangan banyak waktu untuk menghabiskan Ramadhan bersama bapak ibuk. Namun, sebelum saat itu tiba, ingin rasanya diri ini menghabiskan hari-hari bersama mereka, menikmati saat dibangunkan di waktu sahur dan menikmati saat membantu ibuk memasak di dapur. Dan jika saat itu telah tiba, maka biarlah hati ini selalu merindu menikmati indahnya Ramadhan bersama kedua orang tua.
jadi inget, dulu Mama juga keukeh mau bawin saya magic com :D Lebay deh :D Tapi emang ramadhan di rantau itu gak enak, hari pertama aja saya udah nangis >.<
ReplyDeletePaling enak memang sahur di rumah sendiri. Suasananya begitu nikmat sekali.
ReplyDeleteJalanin aja, nanti kangennya akan terobati saat lebaran. Habis lebaran kan ada puasa sunnah di bulan syawal tuh. Minta di bangunin ibu aja untuk sahur hehehe
ReplyDeletesemua ada masanya nantinya..
ReplyDeletemet shaum ya mb.. !