Guruku, Pahlawanku
Telah gugur Pahlawanku, Tunai sudah janji bhakti..Gugur satu tumbuh sribu, Tanah air jaya sakti ..
Sepertinya lagu itu begitu tepat
dinyanyikan hari ini, 10 November. Hari yang diperingati sebagai Hari Pahlawan
ini dipersembahkan bagi para pahlawan bangsa, bagi mereka yang memperjuangkan
kemerdekaan Negara Indonesia. Itu dulu saat para penjajah mengancam negeri ini,
merampas kebahagiaan serta kebebasan Negara. Namun, saat ini, pahlawan bukan
lagi mereka yang berperang melawan penjajah. Kini, pahlawan memiliki arti yang
luas. Seorang ayah yang bekerja keras demi menafkahi istri dan anaknya bisa
dikatakan pahlawan. Seorang ibu yang siang malam melayani suaminya, membimbing
anak-anaknya menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa, juga bisa disebut
sebagai pahlawan.
Akan tetapi, dari sekian pahlawan
yang ada di sekitar kita, ada satu pahlawan yang patut kita acungi jempol.
Siapakah mereka? Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Siapa lagi kalau
bukan guru-guru kita.
Bapak Ibu guruku, kalian pahlawanku. Kalian tak hanya mengajariku membaca dan menulis. Namun, kalian ajari aku bagaimana seharusnya aku. Kalian mengajarkan tentang kehidupan, mendidikku agar menjadi pribadi yang baik, menjadi warga Negara yang membawa perbaikan bagi bangsa Indonesia.
Aku sungguh beruntung, teramat
beruntung. Aku dilahirkan di keluarga pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa.
Kakekku, ayahku, dan ibuku. Aku sungguh takzim mendengar cerita-cerita hebat
mereka dalam memberantas kebodohan, terutama cerita ibuku.
Ibuku adalah guru sekolah dasar
yang ditempatkan di SD Gunungagung. Sekolah terpencil di pucuk gunung yang terletak
di Kabupaten Kulonprogo. Sekolah itu merupakan sekolah kedua setelah pengangkatan
ibuku menjadi PNS dua puluh tahunan silam. Di Sekolah Dasar itulah ibuku
berjuang, membawa murid-muridnya lari jauh dari jurang kebodohan.
Sekolah itu sungguh
memprihatinkan. Dulu, sebelum kendaraan menjamur seperti sekarang, sekolah itu
sangat sulit untuk dijangkau. Para murid dan guru harus berjalan kaki, melewati
bebatuan yang terjal, hingga bermandikan peluh dan keringat. Tanpa semangat
yang tinggi, ilmu dari sang pahlawan
tidak bisa mengalir kepada para murid. Begitu pula dengan ibuku. Semangat untuk
mengajar selalu membara.
Seiring berkembangnya jaman,
kendaraan sudah mulai merambah ke pedesaan. Ibuku sekarang sudah mempunyai
motor sendiri. Dan beruntungnya, jalan menuju tempatnya bekerja pun sudah
diperbaiki. Walaupun, kalau musim penghujan tiba, jalan itu sungguh
menyeramkan. Licin dan becek seperti lumpur di persawahan. Jika tidak
berhati-hati, maka bisa-bisa maut yang menghampiri. Namun, apapun musimnya,
ibuku tetap setia.
Pernah suatu ketika, seorang guru
lain menawari ibuku untuk mutasi, pindah ke sekolah dasar yang lebih dekat. Ibuku
tak perlu lagi khawatir kala musim penghujan tiba. Ibuku tak perlu kelelahan
mengajar di atas sana. Namun, entah
mengapa ibuku menolaknya. Hatinya terbambat di sekolah terpencil itu. Bertahun-tahun
ibuku mengajar disana, mendapati muridnya yang bersekolah tanpa sepatu, muridnya
dengan seragam kumalnya, dan muridnya yang begitu bandel. Ibuku tak tega meninggalkan itu semua. Belum lagi perasaan
tidak tenang, apakah guru baru di sekolah itu akan benar-benar mengajar atau tidak.
Ibuku lulusan SGO (Sekolah Guru
Olahraga), setara dengan SMA. Maka, bukan hal yang aneh jika ibuku diangkat
sebagai guru olahraga. Ya, ibuku seorang guru olahraga. Akan tetapi, cerita
ibuku membuatku begitu mengaguminya. Ibuku tak hanya seorang guru olahraga.
Beliau guru yang hebat. Beliau mengisi kelas yang kosong. Sekolah Dasar tempat ibuku mengajar hanya mempunyai lima guru
tetap. Usianya pun sudah berbilang tua. Guru-guru disana berumur lima puluh
tahunan ke atas. Mereka lah yang dari awal berada di sekolah itu. Tak ada guru
baru? Ada, guru bantu atau honorer. Tapi,
itu tak bertahan lama. Tak ada setahun mereka pindah, mencari tempat yang lebih baik. Kebanyakan mereka tidak betah. Sulit
dijangkau, jauh dari keramaian. Guru negeri yang lain? Entahlah. Mereka sama
saja, menginginkan mutasi sesegera mungkin. Bahkan berharap tidak ditugaskan di
sekolah itu.
Dari cerita ibuku, aku banyak
berpikir, mengapa sekarang ini susah sekali mencari guru-guru yang tulus dari dalam
hatinya untuk mengajar? Mengabdikan diri untuk kecerdasan bangsa. Saat ini,
guru hanya sekedar profesi. Hanya segelintir orang yang mau mengajar. Mengapa mereka tak bisa seperti ibuku? Tak bisa
seperti guru-guru sekolah terpencil itu? Guru-guru yang bahkan rela mengajar
tanpa mendapat upah. Guru-guru yang kebahagiannya berasal dari kecerdasan
muridnya, bukan dari gaji yang didapatkan.
Bapak Ibu guru, kalian begitu
berjasa dalam pembangunan Negara ini. Pendidikan adalah nomor satu. Tanpa
pendidikan, Negara ini akan hancur. Kalian adalah bagian dari penentu masa
depan bangsa ini. Kalian pendidik generasi penerus bangsa ini. Melalui kalian
lah ilmu-ilmu itu mengalir, membangun negeri ini menjadi lebih baik.
Hari Pahlawan. Bukan hanya hari bagi sang pelawan penjajah.
Namun juga hari bagi sang pelawan kebodohan.Selamat Hari Pahlawan. Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Guruku Pahlawanku. ^^
bagus tulisannya, barokah Allah tuk pengabdian Ibumu, moga para guru-guru muda bisa mencontoh tauladan beliau.
ReplyDelete