Rembulan Tenggelam Di Wajahmu
Diar terbaring dengan muka bersimbah darah. Bukan hanya muka, tapi sekujur tubuh. Tubuh itu remuk tak-bersisa. Muka lebam, tangan patah, kaki patah. Juga bengkak oleh bekas gebukan, injakan, dan entahlah. Sisa rusuh sepanjang siang tadi di toilet terminal.
Aku terdiam lama. Perlahan air
mata mengalir membasahi pipi. Panas. Sesak. Ku atur nafasku, mencoba tak
mengeluarkan suara yang bisa memecah heningnya malam. Aku tetap terdiam, meski
air mata ini tak terbendung tuk mengalir. Malam ini aku menangis.
Novel pengingat :') |
Aku mengingatmu, sempurna
mengingatmu. Sepotong paragraf itu benar-benar mengingatkanku padamu. Novel itu
menjadi pengingatku akan dirimu.
Aku mengingatmu. Aku ingat betapa
ingatnya dirimu saat menangis membaca satu dari puluhan paragraf di novel itu.
Dan kini aku menangis di paragraf yang sama denganmu. Bukan hanya karena larut
dalam ceritanya, namun aku juga larut dengan ceritaku, cerita saat bersamamu.
Rembulan Tenggelam Di Wajahmu.
Itulah judul novel itu. Sebuah novel karya Tere Liye yang menjadi novel
favoritku. Dan kini, setelah aku membacanya kembali, novel itu tak hanya apik ceritanya, namun juga menjadi
bagian dari ceritaku. Cerita saat aku pernah menjadi bagian kecil dalam
hidupmu.
Melalui novel itu, aku
mengingatmu. Ingat bagaimana kita berpisah, ingat bagaimana kita harus memulai
kehidupan tanpa kebersamaan. Kebersamaan yang terjalin belum lama itu harus terpisah.
Kita tak bisa bersama-sama lagi. Akulah orang yang mengantarmu dalam perpisahan
ini. Aku bersama dia. Dia yang menjadi sebab
mengapa kita berpisah.
Senyumku mengembang walau air
mata tak kuasa ku tahan. Aku menangis dalam tawaku. Melambaikan tangan simbol perpisahan
walau sejatinya kita tidak berpisah. Di saat itulah dia meyakinkanku. Dia yang menjadi
sebab perpisahan ini menjelaskan
dengan baik hubungan sebab-akibat itu, seperti yang ingin disampaikan Tere Liye
dalam novelnya.
Hubungan sebab-akibat?
Ya. Itulah
yang menjadi inti dari novel berjudul Rembulan Tenggelam Di Wajahmu itu. Suatu
hubungan yang rumit walau sebenarnya sederhana. Hubungan yang sederhana, namun
rumit. Susah menjelaskannya dan tidak mudah untuk sebuah pemahaman.
Ketika tak ada yang sia-sia di
dunia ini. Apa yang menjadi keputusan kita, tepat atau tidak tepat, salah atau
benar, semuanya membawa kebaikan. Jika tidak membawa kebaikan untuk kita, maka
kebaikan itu diperuntukkan untuk orang lain, untuk orang lainnya lagi, bahkan
untuk orang yang tidak kita kenal sama sekali. Kita tak pernah tahu
potongan-potongan kisah kehidupan kita yang menjadi bagian dari kisah orang
lain. Tidak ada yang sia-sia karena apa yang kita lakukan menjadi sebab bagi orang lain, dan orang lain
tersebut menjadi sebab bagi yang
lain, dan demikian seterusnya. Itulah hubungan sebab akibat kehidupan dan itu
pulalah yang dia jelaskan padaku. Hubungan sebab-akibat dimana dia sedang
memainkan perannya sebagai sebab dalam
kisah perpisahanku denganmu.
Aku memang tak tahu, tak pernah
tahu, atau belum saatnya aku tahu mengapa perpisahan kita harus terjadi. Namun,
seperti apa yang dia jelaskan berkali-kali padaku, aku yakin, hubungan
sebab-akibat itu, aku yakin bahwa ada kebaikan dari perpisahan kita. Mungkin
saja, jika kau tak berpisah denganku, kau tak akan pernah merasakan kebahagiaan
yang kini kau rasakan. Mungkin, jika kau tetap bersamaku, kau akan selamanya
terjebak dalam kisah menyedihkanmu, membuatmu menangis tiap saat dan
mengharuskanku mendengarkan kisah sedih yang berulang-ulang itu. Kini kau
bahagia, sama bahagianya dengan dia yang saat ini bersamaku.
Malam ini aku menangis, mengenang
saat kita bersama dan saat berpisah. Tidak. Aku tidak hanya mengenang itu. Ada
banyak potongan kisah hidup yang kini mengisi penuh memoriku. Walau aku tak
tahu pada siapa dan bagaimana potongan kisahku yang lain, aku mencoba berpikir
positif. Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan ini ku coba jawab sendiri
dengan sebuah pemahaman yang berbeda. Aku yakin pasti ada sebuah penjelasan tentang
itu semua, namun jawabanku atas setiap pertanyaan-pertanyaan itu cukup
membuatku untuk tidak mengatakan betapa tidak adilnya hidup ini.
Mengapa aku terlahir seperti ini?
Mengapa aku dibesarkan di
keluarga ini?
Mengapa saat ini aku disini?
Potongan kisah masa lalu dan masa
sekarang muncul bergantian. Tidak. Mereka berlalu-lalang tak karuan. Orang tuaku
muncul pertama. Wajah tenang ayahku dan wajah lelah ibuku. Ibuku yang menangis
di akhir sholatnya, ibuku yang meminta di gelapnya sepertiga malam dan aku yang
terkadang membuatnya terluka. Seperti tak menghargai doa-doa ibu yang terpilin
atas namaku, aku mempergunakan waktu, peluang, dan kesempatan dengan semauku.
Selalu saja mempertanyakan, mengapa aku disini, menjalani hari-hari yang ku
rasa ‘kurang cocok’ denganku, tanpa pernah memikirkan aku disini menjadi sebab untuk siapa dan siapa yang menjadi
sebab untukku, dan sebab-sebab yang lain.
Air mataku mengalir semakin
deras, menambah sesak malam ini. Di gelapnya langit malam, di dinginnya udara
malam, aku buncah dengan segala perasaan.
Kamu? Tentu saja bayanganmu hadir.
Begitu juga dia. Teringat, saat pertama kali aku bertemu dengannya di gedung
yang kini tak asing bagi kita. Saat pertama kali mengenalmu dalam perjalanan
melewati kota yang tak lagi baru untuk kita. Saat bagaimana dia mengantarkan pertemuanku
denganmu. Saat aku menghabiskan separuh waktuku bersamanya dan separuh waktuku
untuk tinggal seatap bersamamu. Ada kalanya aku merasa ‘bermasalah’ denganmu dan
ada kalanya aku memiliki ‘masalah’ dengannya. Hingga saat itu, saat dimana dia
menjadi sebab atas perpisahan kita,
saat aku mulai menjalani kisah-kisah bersamanya dan kau menjalani kisah dengan
dia yang lain.
Aku tak tahu detail cerita
selanjutnya tentangmu. Ku harap kau bahagia dengan cerita sebab-akibatmu dengan
orang lain. Ku harap kau temukan potongan kisah yang indah tentangmu. Dan untuk
dia yang saat ini bersamaku, ku harap aku bisa menjadi bagian dari potongan
kisah indahnya. Ku harap dia bisa bahagia bersamaku.
Aku merindukanmu. Aku tak ingin
kehilangan dia. Kalian pelengkap kisah indahku.
Terima kasih,
Untukmu, orang yang mengenalkanku
pada ‘dunia’.
Untuknya, orang yang mengajariku
bagaimana bersikap di ‘dunia’.
Jakarta, 07 November 2012
adakah aku disana? :O
ReplyDelete-__-
ReplyDeleteamazing :)
ReplyDelete