Drama Menyapih Part 4 : Alasan

Wednesday, April 28, 2021

"Disinilah tempat aku memulai dan disini pula aku akan mengakhirinya!", salah satu alasan yang pada akhirnya aku nekat untuk mengakhiri proses mengasihi ini.


Masih inget banget gimana perjuanganku dua tahun yang lalu, disini, di kamar ini. Daster rembes kena ASI, hasil pompa warna pink, gumoh dan muntah, dan segala memori sebulan pertama setelah melahirkan.


Aku sadar diri, aku nggak bisa menyapih dengan cinta, yang mana menunggu anaknya berhenti sendiri. Kenapa? Karena aku nggak bisa kayak orang-orang yang betah menyusui 30 menit, 1 jam, bahkan 3 jam. Aku lemah soal itu. Aku sadar bahwa metode ini nggak bisa ku lanjutkan. Proses ini pasti akan tetap ada "tangisan". Bagaimana pun, putus dari hal yang membuatnya nyaman selama 2 tahun, pastilah sangat berat, dan menangis adalah hal yang wajar.


Ku pikir, daripada menangis di rumah mertua, lebih baik menangis di rumah orang tua. Di rumah orang tua, ketika anakku nangis, maka akan dibiarkan saja, memahami bahwa ini adalah proses yang harus dilalui. Sementara di rumah mertua, saking sayangnya mereka ke cucu, nggak tahan dengar tangisan, mereka akan ambil anakku untuk ditenangkan. Itulah yang aku takutkan. Aku nggak mau hal itu terjadi.


Menyusui adalah ikatan antara ibu dan anak. Ketika ingin menyudahinya, maka pastikan keduanya menyepakatinya. Biarlah dua-duanya menangis, hingga keikhlasan itu akan tercapai, dengan catatan si Ibu jangan kalah dengan tangisan anak, harus tetap konsisten untuk tidak memberikan ASI. Nah, kalau proses itu ada intervensi, kayak ada yang gantung gitu nggak sih. Takutnya, anak jadi benci ibunya dan lebih memilih kakek neneknya.


Jadi ya, menangis bersama adalah solusinya. Yang membuatku makin mantap dengan cara ini adalah adanya metode cry it out pada teknik pelatihan tidur (sleeping training), yakni membiarkan anak menangis hingga akhirnya ia tertidur. Artinya, menangis adalah sesuatu yang wajar. Tapi jangan lupa berikan alasan kenapa dia harus berhenti. Mungkin memang tidak membohongi dengan plester, pahitan, dan sebagainya, tapi kalau dipaksa berhenti tanpa tahu kenapa, bisa jadi ia merasa terluka.


Sudah sebulan dari malam itu, tapi kalau ingat prosesnya, masih saja ingin menangis, bagaimana ia meronta, meminta, dan menangis. Tak mudah, tapi bisa terlewati.



No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.