Penerimaan; Perjuangan Terberat dalam Pernikahan

Tuesday, August 07, 2018
Setiap tanya pasangan yang baru saja menikah, pasti yang diceritain yang enak-enak saja, yang membuat si pendengar ingin segera menikah juga. Padahal dibalik cerita indah setelah menikah, ada perjuangan yang harus dilalui oleh masing-masing pasangan suami istri.

Apakah itu?

Sebelum menikah kita pasti tahu karakter pasangan kita, kalaupun ada kekurangan yang saat ini belum terlihat, kita yakin mampu mentolerirnya. Niatnya sih seperti itu. Begitu menikah, kelihatan semua luar dalam pasangan kita, baik buruknya, kebiasaan sehari-hari, dan mungkin bisa meruntuhkan ekspektasi yang sudah dibayangkan sebelumnya. Tak perlu hal yang besar deh, cukup hal-hal kecil yang sebenarnya sepele.

Ketika pasangan kita ternyata;
- saat tidur mengorok/mulutnya menganga/suka mengigau
- menaruh handuk basah di atas kasur
- jarang mandi sore
- barang-barang tidak diatur rapi

atau disisi lain, memiliki pasangan yang terlalu positif, yang otomatis 'memaksa' kita untuk mengikuti aturan yang dibuatnya;
- cara menyimpan baju harus begini begitu
- mewajibkan mandi pagi dan sore walaupun hari libur
- anti males-malesan

Ada banyak perbedaan di antara suami dan istri, dan semua itu baru ketahuan setelah menikah dan tinggal bersama. Hal tersebut berlaku juga untuk perbedaan makanan, misal si dia terbiasa makan tiga kali dengan menu yang berbeda, sementara kita cukup masak sekali untuk sehari. Dia makan harus ada sambal dan doyan pedas, sementara kita nggak suka menu pedas. Daaaann lain sebagainya.

Dulu sebelum menikah, tahu hal-hal seperti itu kayak yang 'yaelah, gitu doang. Nggak masalah! Bisa diatur!' Setelah menikah, rasanya kok cukup melelahkan ya, menyamakan ritme kehidupan dengan pasangan, benar-benar butuh perjuangan. Kuncinya satu : menerima.

Iya, terima aja dia seperti itu. Toh, mengubah orang lain bukan perkara yang mudah kan? Kalau masih bisa dikomunikasikan, cari jalan tengah agar sama-sama nyaman. Kalau tidak bisa, yaudah terima saja. Ingat kembali apa yang dulu menjadi alasan untuk menikah. Lagipula yang berjuang bukan hanya kita sendiri, tapi pasangan juga. Yakinlah dia juga merasakan hal yang sama. Si dia juga sedang belajar dan menerima, 'oh ternyata pasanganku orangnya seperti ini, kebiasaannya seperti itu'.

Proses penerimaan ini cukup berat sih menurutku. Ada banyak hal yang menguras emosi bahkan sampai banjir air mata. Itu sebabnya mengapa kematangan emosi dibutuhkan, harus bisa saling mengalah dan menurunkan ego masing-masing.

Dan sepertinya aku tahu kenapa orang jarang menceritakan hal-hal semacam ini ke orang lain. Selain karena privasi, komentar/masukan/saran dari orang lain berpotensi memperkeruh suasana ke pasangan.

Misal ada yang curhat ke teman, "Suami ku tuh kalau bangun siang banget. Susah dibangunin."
Komentar teman, "Ihh, males banget sih. Kalau aku ogah punya suami yang sukanya males-malesan gitu."

Sedikit banyak komentar orang lain itu jadi pikiran dan mempengaruhi tingkah laku ke pasangan, mungkin jadi lebih sering uring-uringan karena suami masih belum bisa bangun pagi. Si suami juga merasa istrinya kok jadi mudah marah. Jadi memang sebaiknya tidak ada pihak ketiga saat proses penerimaan ini, bahkan orang tua sendiri. Biarlah satu sama lain saling memahami, mengerti, hingga bisa menerima.

Jika lelah, maka istirahatlah. Jangan berhenti berproses. Tetap semangat dan bertahanlah! Tantangan ke depan makin banyak, kuatkan pondasi, hadapi berdua.

1 comment:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.