Alasan Mengapa Ingin Menjadi Ibu Pekerja
Kemarin, menjelang pukul 12.00 WIB, I-phone kantor berbunyi.
...
Telpon (T): "Programmernya pada ke Magelang ya?"
Aku (A): "Iya, kenapa?"
T : "Dokter paru kan sedang sakit. Kayaknya besok beliau masih belum datang. Kalau yang pendaftaran online ditutup dulu gimana?"
A : "Ya, bisa aja. Tapi yang udah terlanjur daftar gimana?"
T : "Duh...gak ada programmernya sih ya?!"
A : "(Saya ini programmer juga lho!) Sama aja, maksudnya gini, pendaftaran untuk pemeriksaan besok kan sudah dimulai dari pukul 00.00 WIB, sekarang sudah jam 12.00. Itu artinya kita hanya akan menghentikan pendaftaraan dari jam 12.00 - 14.00 WIB. Nah, pasien yang sudah mendaftar dari 00.00 - 12.00 ini gimana?"
...
Dari percakapan singkat tadi, aku sebenarnya agak merasa sedikit diremehkan. Aku memang tak bertanggung jawab penuh atas pendaftaran online. Tapi ketika terjadi apa-apa, kemungkinan aku bisa membantu, setidaknya memberi tahu si programmer pembuat dan melakukan apa yang diinstruksikan untuk memecahkan permasalahan.
Biasanya, kalau aku sama sekali tak menguasai apa yang ditanyakan pengguna sistem, aku bilang tidak tahu dan harus ku tanyakan dulu ke yang berkepentingan. Tapi untuk kasus tadi, sebelum aku berkata "tidak tahu", si penanya sudah menyerah dan memilih mencari yang lain. Kan KZL.
Haha. Mungkin saja aku yang terlalu baper :p
Akan tetapi, hal semacam itu sudah sering sih. Mungkin karena penampilanku yang memang tidak meyakinkan. Aku tak banyak bicara. Aku tak suka show off apa yang bisa ku lakukan. Makanya dulu aku ditegur atasanku, harusnya aku mencoba menunjukkan kemampuanku pada orang lain. Jangan diem-diem bae.
Itu sebabnya aku sering diremehkan orang lain, apalagi saat wawancara kerja. Dulu, setelah lulus D3 aku cari pekerjaan, aku selalu gagal di wawancara user. Psikotest kayak apa bentuknya, hampir semua lewat. Interview psikolog masih aman lah. Tapi, saat ketemu user, mereka tak melihatku sebagai orang yang mumpuni, yang layak mereka pekerjakan.
Baca: Mari Mencari Rejeki-Nya
Baca: Mari Mencari Rejeki-Nya
Meski demikian, aku tak menyerah menyari pekerjaan dan bertahan sebagai pekerja. Bahkan nanti setelah menikah dan punya anak pun rasanya masih tetap ingin bekerja (pengennya sih jadi PNS Daerah). Aku tak berbakat berwirausaha maupun self employed. Aku orang yang tak kreatif dan tak termotivasi. Kalau tak ada orang lain yang menggerakkan dan tak ada target pengerjaan, rasanya males. Contohnya aja jahit. Selesai kursus menjahit, aku sempat berhenti karena capek urusan pekerjaan, pulangnya sore terus. Sekarang, setelah kerjaan kembali normal, aku males. Padahal ya ada kain yang bisa ku jahit-jahit. Tapi ya itu tadi, karena tak ada target, makanya tak ku kerjakan.
Jadi, meski sering diremehkan, aku tetap ingin bekerja. Meski orang yang mengakui kemampuanku hanya mereka yang satu bagian denganku, setidaknya hasil kerjaku bisa dirasakan oleh banyak orang, ada yang merasa terbantu meski aku tak berdiri di garda depan. Itu saja sudah membuatku bahagia.
Keinginan untuk bekerja itu mungkin bisa hadir karena faktor lingkungan. Ibuku bekerja, kakak perempuanku bekerja, teman-temanku juga bekerja. Aku pun memutuskan untuk terus bekerja.
Gimana nanti kalau punya anak? Siapa yang ngurus? Gimana pendidikannya?
Aku anak dari seorang ibu pekerja. Aku rasa, aku tetap terurus dan pendidikanku baik-baik saja. Tak masalah. Aku pun bahagia.
Saat ibu bekerja, aku dititipkan ke rumah tetangga yang masih saudara. Semakin beranjak besar, aku berani pulang ke rumah meski di rumah tak ada orang. Jika sudah kelaparan atau pagi ibu tidak sempat menyiapkan makanan, aku makan nasi dengan garam atau kecap saja. Aku tak sedih, tak lantas makan sambil menangis.
Satu-satunya yang membuatku sedih dari seorang ibu bekerja (bapak sudah pasti bekerja ya) adalah saat pembagian raport di akhir semester, ternyata bukan orang tuaku yang mengambilnya. Kalaupun mereka, datangnya pasti paling siang, saat sekolah sudah mau bubar. Haha. Sampai aku SMA pun masih sering demikian. Rasanya, udah semangat belajar, berusaha dapat peringkat terbaik, eh mereka tak bisa mengambil hasilnya. Seingatku hanya kesedihan itu yang ku rasa.
Ketika kelak aku juga menjadi ibu bekerja, tentunya aku akan meneladani ibuku sendiri. Dari ibu, aku belajar tentang bagaimana menjalankan banyak peran di waktu yang bersamaan; menjadi seorang istri yang melayani suami, seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, dan seorang pekerja yang menjalankan tugas di instansi tempat dia bekerja. Berbekal pengalaman saat menjadi anak dari ibu pekerja, semoga saja bisa membuatku menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku kelak, meski harus ditinggal kerja.
Kedengarannya terlalu idealis ya. Padahal aku nulis begini, bisa jadi besok setelah menikah dan punya anak ternyata aku berubah pikiran untuk lebih fokus mengurus anak. Nobody knows. Tapi, untuk saat ini, seperti itulah keinginanku, being working mom.
Akan tetapi, baik jadi working mom atau stay at home mom, tuangkanlah segenap cinta atas apa yang kita kerjakan. Tak perlu menghakimi seorang ibu harus bagaimana, seperti apa, karena pada dasarnya "Setiap Mama adalah Mama Jagoan".
"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway #MAMAJAGOAN di www.mamajagoan.com"
"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway #MAMAJAGOAN di www.mamajagoan.com"
MasyaAllah, makasih banyak yaa udah ikutan GA nya,
ReplyDeletewhatever you choose next, do your best!
yuppss..
Deletemakasih mbak :)
Pengalaman yang sangat membantu tuk dijadikan inspirasi kak..makasih kak sharingnya.
ReplyDelete