Ngebolang ke Subang
Aku masih ingat, seusai liburan ke Bandung Oktober lalu, aku dan teman-temanku merencanakan liburan selanjutnya. Setelah menimbang dan memilih, akhirnya pilihan kami jatuh pada kota Belitung dan tanggal yang dipilih pun tanggal 29-31 Maret 2014.
Perkiraan biaya pulang-pergi dan segala tetek-bengek nya sekitar Rp. 2jt. Bagiku, biaya bukanlah menjadi penghalang utama (saat ini). Mumpung masih muda dan masih ada kesempatan. Yang menjadi kendala adalah ijin orang tua.
Awalnya, aku ragu untuk bergabung di liburan beda pulau itu. Pasalnya, long weekend lebih ku utamakan untuk pulang kampung dibanding berlibur bersama teman-teman. Sayangnya, di H-90, rupanya tiket yang bisa membawaku pulang ke rumah tak kudapatkan. Aku kalah cepat. Akhirnya, ku putuskan untuk ikut berlibur ke Belitung.
Aku meminta ijin Bapak Ibuk. Beruntungnya aku karena mereka mengijinkanku. Bahkan mereka pun mau menambahi uang jajanku selama disana. Senangnyaa...
Akan tetapi, karena ada sesuatu hal yang tak bisa dijelaskan, liburan ke Belitung DIBATALKAN. Aku kecewa. Tentu.
Apakah akhirnya aku pulang kampung? Tidak. Berhubung aku mengantongi tiket pulang tanggal 17 April, aku tak memaksakan diri pulang kampung menggunakan bus yang bisa memakan waktu 17-18 jam. Aku berniat ikut Tafakur Alam yang diadakan oleh rohis kampusku dulu.
Namun, karena teman-teman seangkatanku tidak ada yang ikut, akhirnya aku batalkan pula niatku untuk ikut Tafakur Alam di Bogor.
Long weekend, 29-31 Maret 2014.
Aku memutuskan untuk mengunjungi saudaraku yang tinggal di Subang. Sebenarnya rencana ini sudah lama. Namun, selalu tertunda karena setiap kali long weekend aku lebih memilih pulang.
Saudaraku bernama Bulek Sofingah. Ia adalah anak keempat di keluarga Bapakku. Suaminya bernama Paklek Unang dan mempunyai 3 orang anak bernama Adi, Ida, Ayu.
Terakhir aku bertemu mereka di pernikahan kakakku Desember 2012 lalu. Dan terakhir aku mengunjungi Subang? Entahlah. Ku rasa aku baru sekali kesana. Itupun saat aku masih balita.
Hingga hari itu tiba.. 29 Maret 2014.
Setelah sebelumnya aku SMS Dek Ida menanyakan bus yang bisa ku tumpangi, aku tiba di terminal Bekasi pukul 11.00 WIB. Itu pertama kalinya aku di terminal Bekasi dan aku sendirian. Yah, aku ngebolang ke Subang sendirian.
Dek Ida bilang, aku harus naik bus Andawuri via Wado Sumedang. Aku lihat plang-plang berwarna hijau. Kucari tulisan Wado Sumedang.
Ahaaa... aku menemukannya. Namun, yang ku lihat hanyalah bus mini Bintang Sanepa. Aku ragu untuk mendekatinya. Pertama, karena namanya bukan Andawuri. Kedua, berdasarkan pengalaman ngebolangku ke Serang dan Bogor, biasanya bus antar kota itu besar dan ber-AC. Namun, bus Bintang Sanepa itu kecil. 'Kakaknya elf' kalau kataku.
Akhirnya, aku melipir sebentar. Barang kali aku menemukan bus Andawuri. Phuh. Lelah takku dapatkan. Cuaca begitu panas. Akhirnya, aku dekati kernet bus Bintang Sanepa.
"Pak, lewat Kasomalang Subang nggak pak?"
"Iya Neng. Mau turun dimana?"
"Pasar Kasomalang Pak."
"Pasar Kasomalang Pak."
"Oh ya, bisa."
Aku naik minibus tersebut. Setelah sempat ngobrol dengan tukang minuman, ku rasa aku tak salah bus. Bus menuju Subang-Sumedang memang mungil dikarenakan kondisi jalannya yang kecil. Baiklah, aku menunggu bus berjalan.
***
Cuaca begitu terik dan minibus Bintang Sanepa begitu sesak. Sampingku ibu-ibu dengan memangku anaknya. Aku lebih banyak tidur. Perjalanan ini setidaknya memakan waktu 4 jam. Sesekali aku terbangun. Bus sesekali berhenti. Jalanan rusak dan hari itu lumayan padat.
Cuaca begitu terik dan minibus Bintang Sanepa begitu sesak. Sampingku ibu-ibu dengan memangku anaknya. Aku lebih banyak tidur. Perjalanan ini setidaknya memakan waktu 4 jam. Sesekali aku terbangun. Bus sesekali berhenti. Jalanan rusak dan hari itu lumayan padat.
Aku cukup beruntung disamping ibu-ibu yang duduk di sebelahku. Ia turun di Cisalak, daerah setelah Kasomalang. Tentu saja aku tak tahu. Berkatnya, aku diberi tahu 'itu lho di depan udah Pasar Kasomalang. Kamu siap-siap aja.'
Setelah melewati kebun teh, tibalah aku di pasar Kasomalang. Aku dijemput oleh suaminya Dek Ida naik motor. Weeeerrrrrrr... tak ada 10 menit, aku sudah di rumah lek Ngah. Ku dapati Lek Ngah dan Dek Ayu yang sedang menonton TV. Sementara itu, suaminya Dek Ida sudah pulang ke rumahnya.
Lelah. Perjalanan ini memakan waktu 5 jam. Aku ditawari sebotol teh dingin. Sedaaapp..
***
Maghrib datang. Dek Ida datang bersama anaknya. Namanya Naufal alias Opal. Opal terlihat malu-malu di depanku. Mungkin dalam benaknya, "Dia siapa? Kok aku belum pernah lihat.?"
Kemudian datang lagi, Dek Adi dan istrinya, bersama anaknya pula. Anaknya bernama Raisy atau mereka lebih senang memanggilnya Eneng.
Aku suka dengan kehadiran anak kecil. Setidaknya mengurangi rasa kikuk ketika bertemu dengan saudara yang sudah lama tak bertemu.
Akan tetapi, aku tetap saja merasa kikuk. Mereka bercengkrama dengan bahasa Sunda. Waduh. Aku tak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.
Bahkan ketika mengajak bermain Opal dan Eneng, aku justru kesulitan berkomunikasi karena mereka masih belum kenal bahasa Indonesia.
Ketika mereka riang bercerita, aku hanya bisa tersenyum mengiyakan. Aku tak tahu mereka membutuhkan jawaban atau tidak.
Hahaha... tetiba aku berpikir. "Ohh... begini ya rasanya ketika orang berbicara dengan bahasa daerah, dan kita yang mendengarkan tak mengerti sama sekali yang mereka bicarakan."
Beberapa waktu yang lalu aku sempat tersenyum geli gegara seorang teman tak mengerti kata "ngapusi".
Dan akhirnya, aku lebih banyak mendengarkan percakapan mereka. Ini nih, beberapa kata yang sempet nyantol di kepala.
Setelah melewati kebun teh, tibalah aku di pasar Kasomalang. Aku dijemput oleh suaminya Dek Ida naik motor. Weeeerrrrrrr... tak ada 10 menit, aku sudah di rumah lek Ngah. Ku dapati Lek Ngah dan Dek Ayu yang sedang menonton TV. Sementara itu, suaminya Dek Ida sudah pulang ke rumahnya.
Lelah. Perjalanan ini memakan waktu 5 jam. Aku ditawari sebotol teh dingin. Sedaaapp..
***
Maghrib datang. Dek Ida datang bersama anaknya. Namanya Naufal alias Opal. Opal terlihat malu-malu di depanku. Mungkin dalam benaknya, "Dia siapa? Kok aku belum pernah lihat.?"
Kemudian datang lagi, Dek Adi dan istrinya, bersama anaknya pula. Anaknya bernama Raisy atau mereka lebih senang memanggilnya Eneng.
Aku suka dengan kehadiran anak kecil. Setidaknya mengurangi rasa kikuk ketika bertemu dengan saudara yang sudah lama tak bertemu.
Akan tetapi, aku tetap saja merasa kikuk. Mereka bercengkrama dengan bahasa Sunda. Waduh. Aku tak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.
Bahkan ketika mengajak bermain Opal dan Eneng, aku justru kesulitan berkomunikasi karena mereka masih belum kenal bahasa Indonesia.
Ketika mereka riang bercerita, aku hanya bisa tersenyum mengiyakan. Aku tak tahu mereka membutuhkan jawaban atau tidak.
Hahaha... tetiba aku berpikir. "Ohh... begini ya rasanya ketika orang berbicara dengan bahasa daerah, dan kita yang mendengarkan tak mengerti sama sekali yang mereka bicarakan."
Beberapa waktu yang lalu aku sempat tersenyum geli gegara seorang teman tak mengerti kata "ngapusi".
Dan akhirnya, aku lebih banyak mendengarkan percakapan mereka. Ini nih, beberapa kata yang sempet nyantol di kepala.
tidak ada : teu aya
semut : sireum
nyamuk : reungit
nyamuk : reungit
sudah : atos
kolam : balong
Iya, Mbak Mia, mumpung masih muda.
ReplyDeleteuwaaaa kalau aku terkendala ijin dan akomodasinya. hihihi.. tetapi banyak jalan menuju roma yak~ :D
ReplyDeletewah mbak mia bisa ngebolang sendirian, udah ke luar jawa lagi~
kereeen... (y)
Cerita ngebolang selalu seru untuk disimak, hehe ^^
ReplyDelete