Ulang Tahun Termanis
Di keluargaku, ritual ulang tahun bukanlah suatu keharusan.
Tak ada kue tart, tak ada lilin, bahkan tak dengar ucapan "Selamat Ulang
Tahun" jika salah satu anggota keluarga berulang tahun. Walau demikian,
ulang tahun tiap tahunnya tidak pernah akan sepi karena teman-teman di sekitar
yang selalu merayakannya. Aku masih ingat, saat aku masih berseragam merah putih (lupa
kelas berapa), aku membeli roti sisir beberapa potong dengan uang jajanku
dengan niatan merayakan ulang tahunku. Dan tentu saja kedua orang tuaku tidak
tahu akan hal ini. Sepulang sekolah aku mengajak beberapa temanku ke rumah untuk
menikmati ‘roti ulang tahun’-ku. Rumahku saat itu tidak ada orang. Bapak dan
ibu belum pulang kerja. Alhasil, aku dan teman-temanku bisa merayakan ulang
tahunku dan menikmati roti sisir bersama-sama. Namun, sebelum roti itu habis,
ternyata ibuku sudah pulang dan mendapati kami makan roti seadanya.
“Ada acara apa ini?” Tanya ibuku.
“Mia ulang tahun, Bu.” Kata temanku.
“Oalah, iya ya ulang tahun? Kenapa ngga bilang, tahu gini
kan ibu beliin roti.”
Roti sisir |
Ya. Itu sepenggal kisah perayaan
ulang tahun sembunyi-sembunyi dan amat sederhana. Di ulang tahun selanjutnya,
tak pernah ada roti/kue di ulang tahunku. Biasanya aku dan teman-temanku hanya
bertukar kado. Aku memberi kado di ulang tahun mereka. Dan mereka memberi kado
di ulang tahunku. Begitu seterusnya hingga ulang tahunku yang ke-20, ulang
tahun yang benar-benar memberi kesan tersendiri bagi diriku, saat dimana aku
menjadi orang paling mengenaskan karena ‘dikerjain habis-habisan’.
Ulang tahunku jatuh pada tanggal
6 April dan pada saat itu bertepatan dengan hari Jumat dan libur nasional.
6 April pagi. Ketika ku buka
mata, sebatang lilin di atas sepotong roti tawar isi coklat sudah bertengger di
atas meja kecil. Ia ditemani sebuah boneka monyet dengan segenggam cinta
ditangannya. You have a spot in my heart.
Demikianlah tulisan yang dipersembahkan si monyet dalam cinta yang ada
di genggamannya. Kejutan kecil itu datang dari Intan, teman sekamarku yang masih
terlelap di ranjang atas (kami berdua nge-kos dengan tempat tidur atas dan
bawah).
Monyet pemberian Intan bernama 'Coa' |
Aku panggil namanya. “Intaaaann…”
Tak ada jawaban. Entah dia masih tidur atau pura-pura tertidur (kami tipe orang
yang gengsi mengucapkan ‘selamat ulang tahun’ jika salah satu dari kami ada
yang berulang tahun). Hingga akhirnya ia terbangun, dan aku mengucapkan Terima
Kasih.
Bertepatan dengan hari ulang
tahunku, Rohis di kampusku sedang mengadakan acara Tafakur Alam di Cisarua
selama tiga hari. Setelah pagi buta mendapat
kejutan dari Intan, aku langsung bergegas bersiap-siap berangkat ke kampus.
Demikian pula dengan Intan. Kami beserta rombongan harus berangkat pagi untuk
menghindari kemacetan.
Sebelum pergi ke kampus, Intan
menemui dua teman laki-lakinya yang kebetulan juga temanku karena kami memang
satu kelas. Amir dan Arief. Amir ingin meminjam motor Intan selama Intan
mengikuti Tafakur Alam. Aku pun ikut menemui mereka. Ada perasaan terharu saat
mereka mengucapkan ‘selamat ulang tahun’. Pasalnya, tiga hari sebelumnya, Arief
marah besar padaku gara-gara aku mendorong bangkunya hingga ia hampir terjatuh.
Aku udah minta maaf, dia masih marah. Aku udah baik-baik-in dia, dia masih
marah. Dan akhirnya pagi itu, semua baik-baik saja.
Sesampainya aku di kampus dan
bertemu rombongan akhwat (sebutan untuk muslimah) dan ikhwan (sebutan untuk
muslim) yang mengikuti Tafakur Alam, tak ada ucapan selamat ulang tahun yang ku
dengar. Yang ku dapati hanyalah keluhan dari Fitroh, salah satu adik kelasku,
yang ‘mengaku’ agak sedikit tidak enak badan.
Perjalanan pun dimulai.
Perjalanan menuju ke Cisarua di pagi hari yang cerah. Semua diperlancar oleh-Nya. Akhirnya
kami tiba di villa Ar-Rahman dengan selamat. Kami pun langsung menuju kamar
kami masing-masing. Villa untuk akhwat dan villa untuk ikhwan terpisah. Namun,
hanya berjarak sekitar 10 meter. Pembukaan Tafakur Alam segera dibuka. Beberapa
sambutan terdengar dari Ketua Pelaksana, Ketua Rohis, dan Pembina Rohis. Tak
lupa terdengar gema takbir. Allohu Akbar. Acara pun dilanjutkan dengan sholat
Jumat bagi ikhwan.
Acara demi acara terlewati sudah
hingga malam menjelang. Malam pertama di Cisarua. Sekitar pukul 21.00 WIB
materi dengan sukses dibawakan pembicara. Kami, para akhwat kembali ke villa akhwat karena acara malam ini sudah selesai.
Salah satu villa di area villa Ar-Rahman |
Sebagian besar dari kami belum
tidur dan waktu kami pergunakan untuk saling bersenda gurau dan berbagi cerita.
Namun, tiba-tiba Fitroh pingsan. Aku pun panik. Apalagi posisiku saat itu
sebagai Ketua Keputrian, yang boleh dibilang memiliki sedikit tanggung jawab atas peserta yang mengikuti Tafakur Alam.
Aku benar-benar panik saat itu.
Aku tak menyangka Fitroh akan pingsan. Sebelum materi dimulai, dia memang
mengeluh jika kepalanya sakit. Aku pun menganjurkan untuk minum obat, namun
rasanya ia tak meng-iya-kan saranku.
Selanjutnya aku pun meminta
bantuan teman-teman akhwat untuk membantuku membopong Fitroh ke dalam kamar.
Seluruh akhwat di villa ikut panik. Aku kemudian beranjak ke villa ikhwan untuk
meminta kotak obat.
Sekembalinya aku ke villa akhwat,
aku langsung memberikan minyak angin ke dekat hidung Fitroh agar ia terbangun.
Beberapa saat kemudian, ia sadarkan diri. Namun, tiba-tiba ia menggigil
kedinginan. Aku pun langsung melepas kaos kakiku dan ku pakaikan ke kaki
Fitroh.
“Gimana ni Mi?” “Gimana ni Mi?” “Gimana
ni Mi?”
Beberapa kali kalimat itu ku
dengar. Mereka seakan menunggu ‘langkah apa yang akan segera ku ambil’. Sementara
itu, Fitroh tetap kedinginan. Aku pun kembali beranjak ke villa ikhwan untuk
minta air hangat.
“Mi, itu si Fitroh mau di-gimana-in?”
Tanya Kak Nurul, salah satu kakak kelasku.
“Bentar, Mbak. Ini aku mau minta
air hangat.” Kataku.
“Weh, yang ikhwan jangan dikasih
tahu kalau Fitroh pingsan. Nanti mereka jadi ikut khawatir.”
“Lah, tadi aku minta kotak obat
dan udah bilang kalau Fitroh pingsan.” Kataku sambil berlalu menuju villa
ikhwan.
Aku pun mengambil segelas air
hangat di villa ikhwan. Beberapa ikhwan menanyakan kabar Fitroh. Aku hanya bisa
mengatakan dia sudah sadarkan diri. Namun, merasa kedinginan. Seorang ikhwan yang
bertugas sebagai sie kesehatan pun menyatakan siap dihubungi jika keadaan
Fitroh semakin parah.
Aku kembali ke villa akhwat. Ku dapati
keadaan Fitroh semakin parah. Ia memegang lehernya. Ia mengaku sesak nafas dan
tenggorokannya sangat sakit untuk menelan sesuatu. Ia alergi dingin.
“Kamu bawa obat pribadi?” tanyaku
pada Fitroh.
“Nggak, Mbak.” Kata Fitroh sambil
mengerang kesakitan.
“Mbak, dia udah pusing sejak tadi
sore.” Kata Rizqi, salah satu teman Fitroh.
“Udah tau pusing, kenapa tadi disuruh ikut materi.”
“Tau, parah nih. Kalau udah sakit kayak gini, mau gimana. Dia juga ga
bawa obat pribadi lagi. Gimana tuh! Masa mau dikasih obat warung. Ntar kalau
tambah parah gimana?”
“Gimana ni Mi.”
Ku dengarkan orang-orang di
sekitarku justru memojokkanku, bukan membantuku. Tiba-tiba Fitroh dengan
sedikit berteriak berkata, “Udah, jangan pada ribut. Jangan salahin mbak Mia
terus.”
“Mbak, aku pengen pulang.” Kata Fitroh
dengan terus memegangi tenggorokannya
yang sakit.
“Bentar ya, aku cari bantuan
dulu. Nanti kamu ke klinik aja.”
“Mana ada klinik buka jam segini?”
Ku dengar salah satu celetukan
itu. Namun, tak ku hiraukan. Aku kembali ke villa ikhwan untuk meminta bantuan
menyediakan mobil untuk membawa Fitroh ke rumah sakit atau klinik terdekat. Aku
pun kembali lagi ke villa akhwat.
Fitroh semakin kesakitan dan aku
pun semakin panik.
“Mbak, aku pengen pulang. Aku
pengen pulang ke Purworejo. Aku pengen pulang ke rumah.” Keluh Fitroh.
“Bentar ya, ditahan ya sakitnya. Nanti
kamu dibawa ke klinik dulu.”
“Emang masih ada klinik yang buka jam segini?”
“Aku pengen pulang, Mbak.”
“Masa iya mau pulang. Tadi disuruh ikut materi sih. Harusnya kalau
emang tahu dia lagi sakit, suruh istirahat aja.”
“Mi, tadi aku dapat info kalau
mobil yang mau dipakai, bannya bocor. Jadi nggak bisa dipakai. Terus gimana ni,
Mi?” kata Kak Nurul.
“Mbak, aku pengen pulang. Aku pengen
pulang.” keluh Fitroh.
“Gimana ni Mi? Kamu disini kan
sebagai Ketua Keputrian, ni anak mau di-apa-in. Sakit, nggak bawa obat, ban mobil
bocor, klinik pasti juga udah pada tutup. Kalau ada pasti juga jauh, tapi ngga
ada mobil. Kalau pakai motor, takutnya malah lebih parah.”
"Masa iya, mau pake motor. Kena angin malah lebih bahaya."
Aku hanya diam. Entah apa yang
aku pikirkan. Sementara itu para akhwat berkumpul di kamar tempat Fitroh
berada. Sedangkan Fitroh sendiri masih merasa kesakitan dan ingin pulang.
“Gimana ni Mi?” “Gimana ni Mi?” “Gimana
ni Mi?”
Lagi-lagi aku ditekan. Disalahkan.
Dan tak ada yang memberikan solusi yang tepat. Dengan sedikit mendesis aku
berkata, “Semuanya hanya bisa menyalahkan, tak ada yang bisa membantu.”
Dengan hati kesal, muka panik,
aku menuju villa ikwan. Kali ini aku ditemani Kak Nurul dan Yuvita. Aku menemui ketua
Rohis menceritakan kondisi Fitroh yang semakin parah.
“Bukannya tadi mobilnya sudah di
depan villa akhwat ya? Saya tadi sudah nyuruh orang.” Kata ketua Rohis.
“Iya, tapi ada yang bilang bannya
bocor.” Kak Nurul menjelaskan.
“Gimana dong. Kasihan Fitroh.” Kataku
sambil menitikkan air mata setelah sedari tadi aku masih belum bisa menangis.
“Iya, tapi tadi mobilnya sudah
disiapin.”
“Mana? Mobilnya nggak bisa
dipakai, bocor.” Kata Kak Nurul.
“Yaudah yuk, balik lagi aja.
Percuma minta bantuan.” Kata Yuvita.
Sepanjang menuju villa akhwat, Kak
Nurul berkata, “Gimana ini Mi? Kamu sebagai ketua, gimana keputusanmu sekarang?
Ni udah larut malam. Klinik juga udah pada tutup. Sekarang gimana ini?”
Di villa akhwat, ku lihat
muka-muka suram yang seakan-akan benci sekali terhadapku karena aku tak bisa
segera menangani Fitroh yang terus mengerang kesakitan karena tak bisa nafas.
“Udah, telepon ibunya aja.” Salah
seorang berkata demikian.
Sejujurnya, perasaanku sudah tidak enak. Apalagi saat salah satu dari akhwat
benar-benar menelpon ibunda dari Fitroh. Sepertinya
aku mengenali suaranya.
“Hallo.”
“Anak saya kenapa? Lho, anak saya
ikut Tafakur Alam? Kok dia tidak minta ijin terlebih dahulu ke saya. Itu kalau
terjadi apa-apa dengan anak saya gimana? Siapa yang bertanggung jawab? Kamu? Kamu
ini siapa? Gimana anak saya?”
Dengan terbata-bata ku jawab
setiap pertanyaannya. Sedikit perasaan takut, namun banyak perasaan-tidak-enak.
Dan beberapa saat kemudian, terdengarlah …
“Happy Birthday to You… Happy
Birthday to You… Happy Birthday to You…”
Sebuah lagu ucapan ulang tahun
pun terdengar. Beberapa bungkus kado pun bermunculan. Fitroh yang sedari tadi
memegangi tenggorokannya tiba-tiba memelukku. Kak Nurul dengan handphone di
tangannya muncul di balik pintu. Teman-teman akhwat serentak menyanyikan lagu
ulang tahun. Muka-muka suram yang sedari tadi menyalahkanku kini berubah
menjadi wajah puas menyiksa batinku. Sementara aku? Aku membenamkan wajahku di
bantal dengan menangis tersedu-sedu. Malu. Marah. Kesal. Jengkel. Segala rasa
bercampur aduk menjadi satu.
Ibuuuu…. Mereka jahaaattt….
Rupanya kejadian malam itu sudah
direncanakan sebelum acara Tafakur Alam dimulai. Skenarionya benar-benar tertata dengan
rapi. Mulai dari Fitroh yang pura-pura pusing beberapa jam sebelum dia pingsan.
Obat-obat pribadi yang tidak ia bawa dan sebagainya. Benar-benar ‘penyiksaan
batin’ yang sempurna.
Sebenarnya mobil yang akan
digunakan untuk membawa Fitroh ke klinik memang sudah disiapkan dan sudah berada
di villa akhwat. Hanya saja, tidak lucu jika Fitroh benar-benar dibawa ke
klinik. Oleh sebab itu, ada yang membuat alasan seakan-akan ban mobil bocor sehingga mobil
tidak bisa digunakan.
Kesalahan mereka hanyalah tidak
adanya koordinasi dengan ikhwan sehingga ketika aku bolak-balik villa ikhwan,
para ikhwan ikut kebingungan karena salah satu akhwat ada yang pingsan. Bahkan
salah seorang dari pihak institusi juga merasa khawatir. Namun, tanpa sepengetahuanku, mereka
menjelaskan dengan baik di tengah kebingunganku mencari bantuan.
Itulah perayaan ulang tahun termanis
sepanjang hidupku. Dikerjain abis-abis-an tanpa aku sadari sebelumnya. Bahkan aku
tak pernah terpikirkan olehku ‘dikerjain’ apalagi di acara Tafakur Alam.
Sayangnya, kisah di atas menjadi kurang manis karena keesokan harinya, ketika acara outbound akan segera dimulai, ketika aku di
luar villa untuk menyiapkan keperluan outbound,
tiba-tiba aku mendengar kabar dari salah satu akhwat yang mengabarkan
Puteri pingsan. Antara yakin dan tidak aku menuju villa akhwat. Apakah Puteri
benar-benar pingsan ataukah hanya kelanjutan dari skenario semalam. Dan ternyata ku
dapati Puteri tengah lemas tak berdaya di lantai dengan ditemani seorang akhwat.
Aku dan beberapa akhwat lainnya segera membawa Puteri ke kamar.
“Hayoo lhoo? Gimana?” Goda
temanku.
“Ssssttttt…..” aku yang masih
agak trauma dengan orang pingsan, sedikit tidak menyukai candaan temanku. Bukan
karena takut dibohongi lagi, namun lebih kepada ‘rasa’ yang dirasakan semalam.
Karena acara outbound sudah harus segera dimulai, maka aku menitipkan Puteri ke
salah satu akhwat untuk menjaganya. Terima kasih, Ukhti.
Demikianlah sepenggal kisah di
ulang tahunku yang ke-20. Kurang lebih seperti itu karena ingatanku memang
terbatas. Namun, kejadian itu benar-benar takkan terlupakan bahkan hingga nanti
usiaku semakin bertambah. Terima kasih teman-teman Rohis Asy-Syabab Polman
Astra. Terima kasih atas kejutannya ^^
hehehe...Fitroh hebat juga yaa aktingnya
ReplyDeleteSangat berkesan ultah di usia yg ke 20 :)
terima kasih ya sudah berbagi cerita dan ikutan GA Ultah Samara :)
memang manis kisah ultahnya mbak
ReplyDelete