Gn. Gede The Series - Turun II
<< Cerita sebelumnya
Baiklah, kami tetap melanjutkan perjalanan. Nanti juga pasti bertemu kembali.
Kami menunggu rombongan lelaki di pintu masuk. Belum ada tanda-tanda yang terlihat. Apakah mereka ada masalah di pos?
Jalanan dari Kandang Badak menuju Cibodas kebanyakan bebatuan. Kami tak bisa lagi berpegangan pada ranting di sisi kanan dan kiri jalan. Meski demikian, kami harus tetap berjalan cepat. Aku tak ingin menambah hari lagi. Sore ini kami harus kembali ke Jakarta.
Dengan di dampingi Bang Irul, kami para wanita berjalan di barisan depan. Sisanya di belakang dan akan bertemu di pos pemberhentian. Namun, hingga pos Kandang Batu kami belum berkumpul semua. Bahkan setelah kami tinggal untuk foto-foto pun, keempat orang yang lain belum terlihat.
Kandang Batu |
Sedari awal perjalanan kami, orang-orang membicarakan bahwa nanti akan bertemu dengan sumber air panas. Kita tidak bisa berendam, tapi kita bisa mencuci kaki. Aku, Anggun, dan Amel antara percaya dan tidak percaya. Dan setiap kelelahan, kami selalu menagih, "Bang, mana air panasnya? Jangan-jangan air panasnya di warung teteh ya?"
Bang Irul yang ditanya cuma cengengesan. Membuat kami semakin tidak percaya kalau memang ada sumber air panas. Namun, mau tak mau kami harus percaya setelah menemukan shelter air panas.
Akan tetapi, shelter air panas itu tidak panas-panas banget. Cenderung dingin. Bang Irul pun memberi instruksi,"Mau yang lebih panas? Ayo jalan! Di depan ada yang lebih panas.
Dan benar saja, di depan ada air panas. Panas sekali malah. Dan kita harus melewatinya karena itu jalur turun. Dan yang lebih mengerikan lagi, sisi sebelah kiri adalah jurang. Tak bisa membayangkan jika malam hari kami harus melewati air panas ini. Bebatuan tidak kelihatan dan bisa-bisa masuk jurang. Naudzubillah!
Dengan pelan-pelan kami menapaki batu yang ada. Aku yang memakai sandal bisa merasakan betapa panasnya air yang mengalir. Beruntungnya, saat kami melintasi air panas ini, tak ada banyak orang sehingga kami tak perlu merasa diburu-buru.
Aku yang paling akhir menyebrang. Batu yang sudah diinjak akan terasa lebih licin, jadi harus ekstra hati-hati. Di sisi kanan dan kiri ada tali yang bisa digunakan untuk pegangan. Meski bukan jaminan keselamatan, setidaknya tali itu membantu kami melewati air panas ini.
air panas |
Kami sudah tak meragukan keberadaan air panas lagi. Sudah puas lah kami ketemu air panas. Usai menyebrang, kami menunggu semua anggota berkumpul. Dan tak lama kemudian, Bule, Acil, Widi, dan Rusdi sudah di belakang kami. Cepat sekali mereka.
Kami melanjutkan perjalanan. Jalan. Jalan. Lelah. Sesekali berhenti dan mengambil foto agar sedikit bersemangat.
air terjun |
Di bandingkan jalur via Gunung Putri, jalanan memang lebih landai namun jaraknya juga lebih jauh. Kami terus jalan. Dan kelaparan mulai melanda kami. Perbekalan sudah habis. Tak ada makanan. Yang masih tersisa hanyalah permen. Stok air minum pun semakin menipis.
"Ayo jalan terus! Sebentar lagi sampai pos Panyancangan. Disana ada yang jualan!"
"Ada gorengan nggak?" kata kami lapar.
"Ada... eh ada nggak ya?"
"Hoax nih!"
Kami mempercepat langkah kami, berharap segera tukang gorengan. Sesampainya di pos Panyancangan, kami harus puas karena tidak ada yang jualan disana. Huft. Lelah.
"Nih, kalau mau ke curug lewat sana. Kalian jalan 15 menit, nanti disana ada yang jualan. Itu kan banyak orang-orang menuju kesana!" kata Bang Irul.
Aku sebenarnya sudah tak bertenaga. Namun, demi sepotong gorengan, akhirnya aku, Anggun, Amel dengan ditemani Bule yang juga sudah datang, berjalan menuju curug yang diberi nama Cibeureum.
jalanan menuju curug |
Banyak orang yang berjalan menuju curug. Kebanyakan mereka memang bukan pendaki seperti kami. Mereka khusus datang ke curug tersebut.
Cukup jauh kami berjalan. Mungkin karena memang kami yang sudah kelelahan. Dan lagi-lagi kami harus menelan ludah. Disana tak ada yang jual gorengan. Yang ada hanyalah penjual minuman hangat.
ngopi dulu |
Karena misi kami gagal, kami tidak tertarik untuk berlama-lama disana. Apalagi waktu yang sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Kami berempat segera kembali ke pos. Disana semua anggota sudah berkumpul dan menatap kasihan (dan geli) kepada kami yang gagal mendapatkan gorengan. Kami pun meneruskan perjalanan yang tinggal 2,5 km lagi. Lelah.
menuju Cibodas |
Awalnya kami berjalan beriringan hingga akhirnya kembali terpisah. Aku dan Bang Irul di depan. Di belakangnya ada Anggun dan kedua sepupunya. Di belakangnya lagi, Acil, Widi, dan Rusdi yang tak terlihat.
Jalan. Jalan. Kami sudah tak banyak berhenti. Aku dan Bang Irul yang pertama tiba di pos. Aku langsung menuju warung untuk beli gorengan dan air. Akhirnya ketemu gorengan juga. Disana pun sudah ada sinyal handphone. Aku segera menghubungi orang rumah bahwa kami semua baik-baik saja.
Satu persatu semua anggota sudah berkumpul. Tapi kami leyeh-leyeh dulu, nyemil dulu untuk menghilangkan lelah. Waktu menunjukkan pukul 17.00 sekian. Mungkin habis magrib kami bisa lanjut pulang Jakarta.
Setelah lelah kami hilang, kami harus berjalan lagi menuju warung Teteh. Kali ini kami tak berjalan beriringan. Kami tak ingin ketahuan saat melapor di pos bahwa rombongan kami menambah hari. Kemungkinan bisa membayar uang tambahan.
Aku, Anggun, dan Amel berjalan lebih dulu mengikuti rombongan orang lain agar tidak dicurigai. Aman. Berjalan lima menit kami sudah berada di gerbang selamat datang.
selamat datang |
Tak lama kemudian, Acil datang sendirian. Dia pun memimpin kami berjalan menuju warung Teteh yang jaraknya tidak terlalu jauh. Setelah melewati Taman Cibodas dan barisan orang-orang yang berjualan, akhirnya kami sampai di warung Teteh, basecamp tempat kami menitipkan motor.
Akhirnya perjalanan ini usai juga dan aku harus merelakan sandalku yang juga merasa lelah.
sandalku |
Kami tinggal menunggu semua anggota berkumpul di warung Teteh dan segera bersiap pulang menuju Jakarta.
- The End -
belum pernah merasakan mendaki gunung di jawa barat :-(
ReplyDeleteCobain Mas, banyak edelweisnya hehehe
Delete