Pengalaman Menjadi Pasien Ujian Praktek Mahasiswa Akhir Jurusan Kebidanan

Thursday, February 28, 2019
Telepon di ruang kerja berdering. Seseorang di seberang sana mencariku. Dengan suaranya yang merendah, dia meminta bantuan. Adiknya sedang ujian praktik kebidanan dan diharuskan membawa ibu hamil sebagai pasien. Awalnya dia sudah meminta tolong rekan kerja (yang sedang hamil) di bagian Farmasi, tapi ada rapat mendadak. Dan entah bagaimana ceritanya hingga aku yang dimintai tolong. Aku pun mengiyakan karena bingung cari alasan untuk menolak. Begitu telepon ditutup, aku segera melapor ke suami dan dia tidak mengijinkan. Oke, itu cukup jadi alasan yang kuat untuk menolak.

Akan tetapi, saat orang yang meminta tolong tadi datang ke ruangan, dia langsung menghampiri suami, meminta ijin. Awalnya suami menolak, takut kenapa-kenapa, apalagi ini kehamilan pertama. Tapi demi melihat seorang kakak yang sedang berjuang demi adiknya, akhirnya suami luluh juga. Dia mengijinkanku pergi menjadi pasien ujian praktek mahasiswa akhir.

Ku pikir, Si Kakak ini yang akan mengantar dan menjemputku ke lokasi kampus/tempat ujian praktek. Agak ngeri sebenarnya karena aku tak begitu kenal dengan Si Kakak ini. Tapi aku salah. Ternyata aku sudah dipesankan taksi online dan Si Kakak tidak ikut. Sepanjang perjalanan aku berpikir, kira-kira nanti bakal diapain? Cek VT nggak ya? Tapi ya kali usia kehamilan segini mau dicek VT, kan menyalahi aturan. Pokok e, wis, bismillah, niat bantu orang.

***

Sesampainya di lokasi, aku disambut Si Adik yang bersiap ujian praktek dan langsung dibawa ke ruang berkumpul, sepertinya aku ibu hamil yang terakhir datang di sesi itu. Hoho. Kasihan, pasti Si Adik bingung belum dapat pasien.

Tak lama, ujian praktek dimulai. Satu ruangan ada 3 bilik yang bisa digunakan mahasiswa. Di masing-masing bilik sudah menunggu dosen penguji. Pasti dag-dig-dug ya.

Ada 3 hal yang akan dilakukan mahasiswa dan mereka diberi waktu selama 45 menit:
1. Pendataan
2. Pemeriksaan fisik
3. Cek darah dan urine 

Btw, yang memeriksaku bukan Si Adik, tapi temennya. Jadi pasien yang mereka bawa harus ditukar dengan pasien yang dibawa temannya agar tidak terjadi kongkalikong antara mahasiswa dengan pasien yang dibawa.

Bagaimana proses ANC (Antenatal Care) / pemeriksaan kehamilan oleh mahasiswa tingkat akhir ini?

#Pendataan
Di sesi ini, aku diberi pertanyaan. Standar sih; nama, umur, alamat. Kehamilan keberapa? Keluhannya apa? Pertama kali menstruasi kapan? HPHT kapan? Mandi berapa kali sehari?

Si Temen Adik ini rasanya sudah menghapal apa saja yang perlu ditanyakan. Dia juga cukup komunikatif dengan memberikan opsi jawaban ketika aku terlihat bingung menjawab.

#Pemeriksaan Fisik
Sebelum masuk ke ruangan ujian, Si Temen Adik sudah menginformasikan kalau pasien boleh menolak pemeriksaan fisik untuk bagian-bagian vital, seperti pay*dara, dsb. Itu juga menguntungkan bagi dirinya karena bisa menghemat waktu.

Begitu sesi ini dimulai, Si Temen Adik mulai memeriksa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Apakah ada benjolan di kepala, leher, ketiak? Apakah ASI pertama sudah keluar? Apakah tangan, kaki, terasa sakit saat ditekan? Apakah bengkak?

Oia, sebelumnya juga diukur LILA (= 25 cm), BB (= 60 kg), TB (= 159 cm), Tensi (= 100/70), suhu tubuh (= 36 C), semuanya masih di angka normal.

Dan yang paling ku tunggu-tunggu ..... pemeriksaan perut. Ku pikir Si Temen Adik akan menggunakan doppler untuk menghitung detak jantung janin (djj), ternyata manual. Dia menggunakan alat semacam gelas terbalik dan menempelkannya di perut. Sambil mendengarkan detak jantung, dia menghitung waktu melalui arloji di tangannya. Mulutnya komat-kamit menghitung; 142 denyut/menit.

Si Temen Adik mulai meraba-raba perut, mencari tahu posisi janin. Bokong dan punggung ada di sisi kiri, sementara kaki tangannya di sisi kanan. Kepala sudah dibawah tapi masih bisa digoyang-goyangkan, artinya belum masuk panggul. Ndak papa ya Nak, masih ada waktu agar bisa lebih optimal lagi posisinya.

Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Si Temen Adik juga masih on the track dalam menjalankan tugasnya.

#Cek darah dan urine
Ku pikir aku akan dibawa ke laboratorium dan Si Temen Adik hanya akan menganalisa dan membacakan hasilnya. Ternyata TIDAK! Dia melakukan pengecekan sendiri. Jujur, aku mulai khawatir.

Dia menggunakan apron, masker, dan mulai menyiapkan alat. Dia mulai menjelaskan prosedurnya, dimana aku diminta untuk memijat jariku agar darahnya keluar, sementara dia akan menampungnya. Alatnya bukan semacam suntik gitu, tapi jari ditusuk, keluar darah, darahnya ditampung.

Semuanya siap, tiba-tiba dosen penguji berkata,"Nanti baju ibunya bisa kena darah." Ternyata Si Temen Adik lupa meletakkan perlak bagi pasien. Setelah menaruh perlak di pangkuanku, dia mulai pengambilan darah dan ternyata dia kelupaan sesuatu lagi, handscoon alias sarung tangan. Pengambilan darah dihentikan karena dosen penguji meminta dia untuk memakai sarung tangannya. Akhirnya aku ditusuk lagi. Huhu.

Darah sudah diambil, Si Temen Adik mulai beraksi. Dia menggunakan Haemometer, alat yang digunakan untuk menentukan kadar hemoglobin dalam darah berdasarkan satuan warna (colorimetric). Proses ini agak memakan waktu, mungkin sampai didapat cairan dengan warna yang diinginkan. Hasil akhirnya Hb ku di angka 10.1, cukup rendah bagi ibu hamil.

Selanjutnya aku diminta untuk mengambil sampel urine untuk pemeriksaan protein urine. Si Temen Adik kembali beraksi. Kali ini dia menyalakan botol spiritus, menggoyang dan membakar botol berisi cairan warna biru untuk kemudian ditetesi urine. Duh, pokoknya mirip praktek biologi waktu SMA. Selesai memeriksa, cairan tadi dibuang oleh Si Temen Adik yang kemudian ditegur oleh dosen penguji. Mungkin maksudnya, kenapa harus dibuang? Kenapa nggak ditaruh di rak botolnya? Kan masih ada pengujian selanjutnya. Akhirnya uji urine disudahi sampai disitu.

Sesi berikutnya aku diberitahu hasil pengecekan tadi. Hb ku masih perlu ditingkatkan. Aku terbebas dari diabetes karena tidak ditemukan glukosa dalam urine. Dan seharusnya tadi dari pengujian urine bisa diketahui apakah aku preeklamsia atau tidak.

Kemudian aku diedukasi mengenai ketidaknyamanan pada ibu hamil di trimester 3. Materinya pun boleh dibawa pulang.

SELESAIIII...

Terdengar suara dari luar yang menandakan waktu ujian praktek telah berakhir. Sebelum aku keluar dari bilik ruangan, ibu dosen penguji memberi oleh-oleh obat dan vitamin:
- Licokalk untuk kalsium janin
- Etabion untuk penambah darah
- Vitamin C untuk membantu penyerapan Fe

Alhamdulillah, kebetulan vitamin dari bu dokter kemarin sudah habis.

Aku keluar ruangan dan Si Adek menghampiriku. Dia membawaku ke meja registrasi untuk tanda tangan dan mengambil "bingkisan" yang disediakan. Selanjutnya semua ibu hamil dan para mahasiswa berkumpul di depan untuk melakukan foto bersama. Selesai semuanya, aku kembali dipesankan taksi online menuju kantor. Uhh senangnyaa~

***

Ternyata menjadi pasien ujian praktek mahasiwa akhir itu tak seburuk yang ku bayangkan. Meski harus ditusuk jarum 2 kali, tapi aku senang dapat pemeriksaan gratis, obat dan vitamin, serta bingkisan yang isinya makan siang, kalender, brosur, dan juga amplop berisi uang. Muehehe.

Akan tetapi, yang paling membahagiakan adalah ketika orang lain merasa terbantu dengan hal sederhana yang ku lakukan. Aku hanya perlu meluangkan waktuku sejenak, tapi mungkin itu cukup berarti bagi Si Adek. Secara kuliah udah sampai di tahap ini, tapi tak bisa mendatangkan pasien di hari ujian. Udah nemu dan janjian dengan pasien tapi ternyata di hari H ada acara mendadak. Kalau aku jadi Si Adek mungkin aku bakal panik juga. Ibaratnya dulu aku kuliah Tugas Akhir membuat aplikasi, pas hari H demo aplikasi, ternyata aplikasinya tidak bisa buka, error, kena virus, dan tak tahu harus bagaimana di depan dosen penguji. Udahlah bubar semuanya. Yah, semoga Si Adek dan teman-temannya bisa mendapatkan hasil yang terbaik, lulus, dan menjadi bidan yang profesional.

Mungkin ada banyak kekhawatiran saat ingin membantu orang lain. Minjemin duit, takut nggak dibalikin. Bantu orang di ATM, takut kena tipu. Dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi niatkan bantu, ikhlas karena Alloh dan percaya Alloh akan memberikan kebaikan yang lebih, tidak saat ini, mungkin diwaktu yang akan datang. Apa yang ditanam, itulah yang dituai.

***

Malam harinya, ada nomor tak dikenal yang menelpon suami. Ternyata itu Si Kakak yang sengaja menelpon untuk mengucapkan terima kasih karena sudah membantu adiknya. Ouch, sungguh kakak yang baik ya. Aku jadi nggak kebayang kalau tadi pagi suami bersikeras tak memberikan ijin. Dan sekarang, justru aku yang sangat sangat bersyukur. Alhamdulillah, bisa bantu orang sekaligus dapat pengalaman yang luar biasa 😊

No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.