Balada Pilkades 2019
Hari ini (31/01) sebanyak 343 desa di Purworejo menggelar Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) secara serentak. Berharap sekali dijadikan Hari Libur, tapi sesuai Surat Edaran yang berlaku, karyawan diijinkan menggunakan hak pilihnya, tetapi apabila sudah selesai untuk dapat beraktivitas kembali.
Sehari sebelumnya aku bilang ke suami agar bisa mengantarku pulang untuk ikut pilkades (aku dan suami masih beda KK). Tak ada penolakan darinya hingga sore hari ia ditelpon seseorang. "Dek, kalau besok kamu berangkat sendiri gimana? Aku mau ngerjain Gudang."
Sejujurnya aku tak masalah, tapi membuatku berpikiran untuk golput saja karena kok ya segitunya dibela-belain pulang jauh, sendirian, hanya untuk memperjuangkan satu suara. Toh, siapapun yang menang, mereka akan tetap dipanggil Pak Lurah dan Bu Lurah. Ya, di desaku hanya ada dua kandidat dan mereka ini sepasang suami istri.
Keesokan harinya (hari H), kalau kerjaan suami lagi selow dan ngajak pulang, ya aku nyoblos, kalau enggak, yaudah aku golput.
Akan tetapi, di grup keluarga, ibu dan bapak menyuruh adikku yang masih duduk di bangku SMA untuk pulang, mencoba menggunakan hak pilihnya. Entah mengapa aku kepikiran "Kenapa aku nggak pulang bareng adekku aja? Kalau aku capek bawa motor, kan adekku bisa memboncengkanku." Aku pun menghubunginya. Dia pun berpikir keras, mempertimbangkan banyak hal. Saat dia bilang OK, aku pun meminta ijin suami dan dia memperbolehkan.
Saat hendak siap-siap, tiba-tiba ada yang mencariku via telepon, melaporkan ada selisih biaya di rekapan rawat inap. Oke, biasanya aku bisa menyelesaikan masalah ini kurang dari 10 menit. Sembari menunggu adekku mengurus ijin dari sekolahan, aku akan mengerjakannya dulu. Sayangnya, kali ini aku tak begitu beruntung.
Aku mengecek data yang biasa menimbulkan selisih. Oke sip, sudah. Tapi... lho lho lho, kok masih ada selisih 6 ribu dari mana ini? Ku coba cari lagi dan lagi salahnya dimana. NGGAK KETEMU! Ku lihat waktu yang terus berjalan, handphone mulai berdering tak karuan. Adekku pasti sudah mulai bete karena menungguku terlalu lama. Aku panik, otakku panas. Aku sudah tak bisa berpikir jernih. Sementara itu, si bayi-dalam-perut heboh tak karuan seakan tahu apa yang dirasakan ibunya. Dia pasti sedang menyemangatiku dari dalam sana. Makasih Nak :)
Aku menyudahinya. Percuma ku teruskan, aku sudah kehilangan konsentrasi, dan yakin pasti nggak bakal ketemu penyebab selisih 6 ribu itu, apalagi posisinya aku sedang ditunggu. Minta tolong ke suami? Masalah ini tidak masuk ke dalam spesialisasinya, pasti dia akan kesulitan karena harus menelusur lebih dalam. Biarlah, aku meminta Si Penelpon untuk membuat rekapan secara manual terlebih dahulu.
Kesannya aku tak bertanggung jawab ya. Tapi aku sudah terlanjur janjian dengan adikku, lagipula masalah ini bukan sesuatu yang urgent yang mengharuskanku membatalkan janji. Oke, cuss, aku langsung bergegas menuju sekolahan adekku.
Secara pribadi, aku memang cenderung ingin pulang untuk menggunakan hak pilihku di pilkades kali ini. Bukan semata-mata tergiur dengan doorprize yang disediakan panitia, tapi untuk beberapa alasan.
doorprize |
Dua. Adekku baru berusia 17 tahun September kemarin. Ini pengalaman pertamanya untuk menggunakan hak pilih. Awalnya dia mau golput saja karena mungkin males pulang, panas nunggu angkot, dan semacamnya. Makanya aku menawarinya pulang bareng sebagai bentuk dukunganku agar dia bisa belajar berdemokrasi. #Asyeekkk Haha
Kami sampai rumah sekitar pukul 11.30 WIB. Rebahan bentar, ambil surat undangan pemilih, lanjut ke balai desa yang jaraknya tak sampai ratusan meter.
Suasana TPS |
kelingking ungu |
No comments:
Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^