Undangan dan Kondangan
Sebenarnya aku ingin menuliskan hal ini sejak kepindahanku beberapa bulan yang lalu. Namun, selalu saja ada alasan untuk menundanya. Bukan hal penting, tapi menurutku, ada nilai yang bisa kita ambil dari fenomena sosial yang bisa kita jumpai di kehidupan bermasyarakat.
Kali ini aku akan menuliskannya karena aku kembali merasa spesial setelah mendapat undangan pernikahan dari teman lama, yang 7 tahun setelah lulus SMA tak pernah bertemu, tapi ketika dia akan menikah, meluangkan waktunya untuk mengirimiku undangan. Sayangnya kemarin aku belum pulang kerja, jadi tak bisa bertemu.
Namanya Ika, teman satu angkot saat berangkat sekolah waktu SMA. Aku tak akan menceritakan siapa sosok Ika ini, yang ingin ku bahas adalah undangan yang dia berikan, undangan yang disertai dengan bingkisan berisi kue.
undangan |
Pada umumnya, masyarakat di Jawa, khususnya di Purworejo, ketika mengirimkan undangan pernikahan memang selalu disertai bingkisan makanan, bisa kue/roti atau nasi berkat (umumnya kue). Tidak semua seperti itu, tapi kebanyakan demikian. Hal tersebut menarik perhatianku karena selama ini, undangan yang ku terima tidak pernah seperti itu.
"Itu yang namanya hidup sosial, ketika kamu menerima, kamu harus memberi." kata ibuku.
"Kalau kayak gitu, ngasihnya pakai pamrih dong." kataku.
Aku pun menceritakan kondisi waktu di Bekasi, dimana saat mengundang seseorang, ya hanya undangan saja yang dikirim, tanpa ada bingkisan apa-apa.
Kalau bisa menghadiri undangan tersebut, kita bisa menikmati hidangan yang disajikan. Kalau tidak bisa datang dan hanya nitip amplop, paling kita hanya akan mendapat souvenir, itupun kalau ada. Kalau tidak ada ya berarti kita murni memberi, tanpa menerima apapun kecuali undangan.
Begitu pula saat memberi kado/hadiah pada seorang teman yang baru saja melahirkan. Di Bekasi, ngasih kado, yaudah selesai. Di Purworejo, saat ada yang lahiran, umumnya memberikan amplop (bukan kado). Selang beberapa hari kemudian, orang yang memberikan amplop tersebut akan dikirimi kue. Yang tidak memberi, ya tidak akan dikirimi. Mungkin kue itu sebagai ungkapan terima kasih karena sudah dikunjungi dan diberikan 'sesuatu' yang jumlahnya mungkin tidak seberapa, bisa saja jauh di bawah harga kue itu.
Tapi dari kondisi tersebut, aku mempelajari dua hal.
Pertama, saat di Bekasi, aku belajar tentang keikhlasan. Ketika kita memberi sesuatu kepada seseorang, ya niat kita memang murni hanya ingin memberi, tanpa mengharap apapun. Berharap dia memberikan hal yang serupa seperti yang kita berikan pada dia? Kita saja belum tahu nikahnya kapan? Punya anak kapan?
Semua yang kita berikan atas dasar keikhlasan. Kita hanya berharap, Tuhan menilai itu sebagai suatu kebaikan yang cepat atau lambat akan berbuah kebaikan juga, baik dari orang yang sama, beda orang, atau dari Tuhan langsung.
Selain itu, kita juga bisa melihat orang lain, apakah dia sebaik-baiknya orang, atau justru kebalikannya. Karena ada juga lho, orang yang maunya hanya menerima. Memberi, bahkan dengan paksaan sekalipun, terasa tidak ikhlas.
Kedua, saat di Purworejo, aku belajar tentang hidup bersosial. Kita hidup bermasyarakat. Ketika orang lain sudah berbuat baik pada kita, maka sebisa mungkin kita membalas kebaikannya. Jangan jadi orang yang tidak tahu berterima kasih.
Mungkin itulah kenapa karakter orang Jawa khususnya yang berada di daerah berbeda dengan mereka yang ada di kota besar. Orang Jawa kesannya lugu, mudah dibohongi, gampang dimanfaatkan. Padahal mereka hanya memandang semua orang baik dan kebaikan mereka perlu mereka balas juga dengan kebaikan.
Aku pun sangat takjub dengan kehidupan masyarakat disini. Waktu itu keluargaku memiliki makanan berlebih yang akhirnya kami bagikan ke tetangga kami. Selang beberapa hari, mangkuk tempat kami membagikan makanan, dikembalikan, namun tidak kosong. Mereka sengaja memasak lebih untuk bisa diberikan kepada kami. Padahal mereka yang kondisi ekonominya biasa-biasa saja, bukan golongan orang berlebih, namun mereka sebisa mungkin membalas kebaikan orang yang memberi kebaikan kepada mereka.
Indah ya kehidupan seperti itu :)
Kalau bisa menghadiri undangan tersebut, kita bisa menikmati hidangan yang disajikan. Kalau tidak bisa datang dan hanya nitip amplop, paling kita hanya akan mendapat souvenir, itupun kalau ada. Kalau tidak ada ya berarti kita murni memberi, tanpa menerima apapun kecuali undangan.
Begitu pula saat memberi kado/hadiah pada seorang teman yang baru saja melahirkan. Di Bekasi, ngasih kado, yaudah selesai. Di Purworejo, saat ada yang lahiran, umumnya memberikan amplop (bukan kado). Selang beberapa hari kemudian, orang yang memberikan amplop tersebut akan dikirimi kue. Yang tidak memberi, ya tidak akan dikirimi. Mungkin kue itu sebagai ungkapan terima kasih karena sudah dikunjungi dan diberikan 'sesuatu' yang jumlahnya mungkin tidak seberapa, bisa saja jauh di bawah harga kue itu.
Tapi dari kondisi tersebut, aku mempelajari dua hal.
Pertama, saat di Bekasi, aku belajar tentang keikhlasan. Ketika kita memberi sesuatu kepada seseorang, ya niat kita memang murni hanya ingin memberi, tanpa mengharap apapun. Berharap dia memberikan hal yang serupa seperti yang kita berikan pada dia? Kita saja belum tahu nikahnya kapan? Punya anak kapan?
Semua yang kita berikan atas dasar keikhlasan. Kita hanya berharap, Tuhan menilai itu sebagai suatu kebaikan yang cepat atau lambat akan berbuah kebaikan juga, baik dari orang yang sama, beda orang, atau dari Tuhan langsung.
Selain itu, kita juga bisa melihat orang lain, apakah dia sebaik-baiknya orang, atau justru kebalikannya. Karena ada juga lho, orang yang maunya hanya menerima. Memberi, bahkan dengan paksaan sekalipun, terasa tidak ikhlas.
Kedua, saat di Purworejo, aku belajar tentang hidup bersosial. Kita hidup bermasyarakat. Ketika orang lain sudah berbuat baik pada kita, maka sebisa mungkin kita membalas kebaikannya. Jangan jadi orang yang tidak tahu berterima kasih.
Mungkin itulah kenapa karakter orang Jawa khususnya yang berada di daerah berbeda dengan mereka yang ada di kota besar. Orang Jawa kesannya lugu, mudah dibohongi, gampang dimanfaatkan. Padahal mereka hanya memandang semua orang baik dan kebaikan mereka perlu mereka balas juga dengan kebaikan.
Aku pun sangat takjub dengan kehidupan masyarakat disini. Waktu itu keluargaku memiliki makanan berlebih yang akhirnya kami bagikan ke tetangga kami. Selang beberapa hari, mangkuk tempat kami membagikan makanan, dikembalikan, namun tidak kosong. Mereka sengaja memasak lebih untuk bisa diberikan kepada kami. Padahal mereka yang kondisi ekonominya biasa-biasa saja, bukan golongan orang berlebih, namun mereka sebisa mungkin membalas kebaikan orang yang memberi kebaikan kepada mereka.
Indah ya kehidupan seperti itu :)
No comments:
Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^