though it's so complicated, it's about friendship
TRAGEDI SANDAL
Hari berganti. Detik demi detik berlalu. Namun, Azza tetap tak bergeming dari lamunannya. Sebenarnya rasa bosan dan jenuh telah berkecamuk dalam dirinya. Akan tetapi ia tak tahu bagaimana cara tuk meluapkannya. Setelah seminggu yang lalu dinyatakan LULUS dari sebuah SMA terkemuka di kotanya, ia tak tahu apa yang harus ia kerjakan. Tempat kuliah sudah ada. Registrasi dan segala sesuatunya sudah beres. Tinggal menunggu masuk 2 bulan lagi. Ya, walau hanya di sebuah Perguruan Tinggi Swasta, ia bangga karena ia kuliah disana mendapat beasiswa hingga selesai kuliah tanpa harus keluar uang sedikit pun untuk biaya pendidikannya.
“Sepi amat sih? Nggak ada sms dari teman-teman lagi! Pada kemana sih mereka? Huh!” keluh Azza.
Sebenarnya Azza sadar benar kalau teman-temannya sedang disibukkan dengan segudang persiapan untuk menghadapi tes UM Perguruan Tinggi. Tetapi, karena kejemuan yang memuncak dalam dirinya, ia menyalahkan keadaan. Di tengah keadaan itu, tiba-tiba HP nya berbunyi. 1 message received.
‘Tmen2, bzk brngkat scol yw! Ambl bku taunn!’
From: Adhoe ketu
Membaca sms dari sang ketua kelas tadi, Azza pun seperti di gurun pasir yang tiba-iba turun hujan lebat.
“Yes!” teriak Azza girang. “Bisa ketemu temen-temen nih! Areez, Ai, and Amee I miss you all. Hihihi...bisa ketemu Agha juga dong! Hehehe...”
Keesokan harinya, ibunda Azza dibuat heran oleh tingkah laku anaknya yang tidak wajar dalam seminggu terakhir ini. Tak seperti biasanya pukul 06.45 Azza sudah mandi, dandan cantik dan siap jalani hari yang indah, menurutnya. Padahal selama liburan pukul 06.45 Azza masih terlelap di bawah selimut berwarna biru yang memang menjadi warna kesukaannya.
“Mau kemana, Za? Jam segini sudah rapi?” tanya ibunda Azza.
“Ke sekolah, Bu. Ambil buku tahunan.” Jawab Azza sambil mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
“Pagi-pagi begini? Apa nggak terlalu pagi. Tanya temen kamu dulu, jangan-jangan mereka datangnya jam 9!”
“Nggak usah lah, Bu.” Kata Azza menolak saran ibu. “Lho, ibu kok belum berangkat kerja? Nanti telat lho Bu!”
“Kamu itu ya? Nggak ada perhatiannya sama ibu. Ibu kan selalu berangkat jam 7.30. Kamu sih, habis solat subuh lansung tidur lagi!”
“Hehehe...iya deh, Azza minta maaf. Ya udah, Azza berangkat dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum!”
Setelah mencium tangan ibundanya, Azza pun segera bergegas. Mengendarai sepeda motornya menuju sekolah yang tak lama lagi benar-benar akan ditinggalkannya.
Sesampainya Azza di sekolah, ia dikejutkan oleh suasana sekolahannya. Sepi. Tak terdengar sorak sorai teman-temannya seperti saat mereka menerima surat kelulusan. Setelah ia tengah berjalan menuju ruang guru. Mungkin mencari guru piket. Terlihat pula Pak Apong, tukang kebun sekolah, yang sedang mengepel lorong yang tak bernyawa.
“Huh. Mungkin benar kata ibu. It’s too morning.” Gerutu Azza. “Hehm, telpon Ai ah, siapa tahu she’s on the way!” pikir Azza.
“Hallo, Ai!”
“Iya, kenapa Za?”
“Dimana kamu, cepetan berangkat dong! Ku sendirian nih!” pinta Azza.
“Hah? Jam segini kamu dah berangkat? Nggak salah Za?” tanya Ai heran.
“Jangan banyak tanya ah, cepetan kesini. Ku tunggu ya!”
“Aduh, sorry Za! Ku nggak bisa berangkat. Sekarang ku lagi di perjalanan ke Semarang. Ada wawancara!”
“Wawancara apaan?”
“Besok aja deh, aku cerita. O, iya aku titip buku tahunannya ya! Besok aku ke rumahmu! Oke, Za? Bye... salam buat Amee sama Areez ya! Da Azza...!” kata Ai menutup telpon.
‘Yah,’keluh Azza. Akhirnya ia langkahkan kaki mungilnya ke ruangan penuh ilmu. Perpustakaan, tempat kesukaannya. Semenit, 2 menit, 3 menit....hampir 2 jam ia belum temukan seorang teman seangkatannya.
‘Gila si Ado, jangan-jangan dia bohongin aku lagi.’ Batinnya. Tapi tiba-tiba HP-nya berdering. 1 message received. Areez.
Za, qm dmn? Q n Amee dah d scol, qt tnggu d bwh tremBsi yw!
Azza pun segera beranjak dan bangun dari keasyikannya membaca novel. Keluar dari perpustakaan, rupanya teman-temannya sesama kelas XII sudah berhamburan di luar. Teman-teman sekelasnya pun sudah banyak terlihat. Namun, hanya melempar senyum, Azza pun lansung menuju bawah Trembesi yang lebat daunnya, mencari kedua sahabat kentalnya.
“Areez, Amee” sapanya.
“Hai Za. Baru sampai atau dah dari tadi?” tanya Amee.
“Eh...ehm...baru aja kok!” kata Azza berbohong. Ia tak ingin kedua sahabatnya tertawa tanpa henti kalau mereka tahu Azza menunggu lebih dari 2 jam.
“Oh, kamu bareng Ai nggak?”
“Ai, nggak datang. Ia ke Semarang. Katanya sih ada wawancara.” Jelas Azza.
“Wawancara apaan?”
“Ga tau, dia mau cerita besok di rumahku. Kalian datang juga ya?”
“Oke” kata Amee dan Areez bersamaan.
Mereka pun segera membaur dengan teman-temannya yang lain menunggu buku tahunan dibagikan. Walaupun personel mereka kurang satu, itu tak mengurangi keceriaan merea. Tak ada semenit pun terlewatkan untuk idak tertawa, apalagi setelah buku tahunan dibagikan. Mereka memandangi photo mereka masing-masing. Tak lupa mereka memandangi photo pria idaman mereka yang dulu kelasnya di depan kelas mereka. Walau mereka punya tipe cowok yang berbeda-beda, tapi pria idaman yang tak lain bernama Agha mampu menghipnotis keempat cewek tadi untuk tidak berpaling darinya. Tapi demi nama persahabatan tak ada satupun yang mau berteman ‘dekat’ dengan Agha. Walaupun sebenarnya dalam hati mereka menyayangkan sekali untuk tidak dekat dengan cowok sekeren Agha.
Areez, Ai, Amee, dan Azza memang dikenal karena eratnya ikatan persahabatan mereka. Mereka adalah empat cewek yang menggabungkan diri dalam sebuah genk tanpa nama. Keempat cewek tersebut selalu bersama dimana pun mereka berada. Bukan karena merasa senasib sepenanggungan mereka bisa kompak, namun lebih karena sikap saling menghargai dan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing. Oleh sebab itu, mereka benar-benar mengerti arti persahabatan, sehingga untuk masalah cowok mereka juga akan mendahulukan persahabatan. Tak baik memperebutkan 1 cowok yang ujungnya akan mempecahbelahkan persahabatan mereka.
@@@
“Eh, si Agha cakepan aslinya ya?” pertanyaan retoris dari Ai saat membuka buku tahunannya yang kemari dititipkan ke Azza.
“Basi lo...” teriak Azza, Amee, dan Areez serentak. Beginilah saat keempatnya berkumpul bersama. Kompak.
“Kamu sih Ai, kemarin nggak berangkat. Ngapain aja sih di Semarang?” Tanya Areez.
“Heeh, kok nggak cerita dulu ma kita-kita. Kamu daftar di universitas mana?” Amee ikutan tanya.
“Iya. Hebat banget dah di tahap wawancara.”
“Ak..Aku...kemarin aku ke pabrik sandal. Melamar pekerjaan.” Jawab Ai datar.
Semua terdiam. Tak ingin ada yang salah bicara. Mereka menyadari bahwa di antara mereka, Ai lah yang ekonomi keluarganya tergolong rendah. Ia anak sulung dari 7 bersaudara. Ibunya hanya penjual kue, sementara ayahnya seorang tukang parkir. Sebagai anak pertama, ia tahu benar beban yang diderita kedua orang tuanya.
“Kamu nggak nerusin kuliah, Ai?” tanya Amee hati-hati.
“Nggak ada biaya. Ini aja aku dah bersyukur banget. Kemarin habis wawancara aku langsung dinyatakan lolos untuk kerja disana.”
“Kenapa dulu kamu nggak daftar kaya aku aja sih? Kan nggak bayar sepeser pun. Ya, walau cuma DIII sih!” kata Azza.
“Kamu kan pinter, Za. Nggak kaya aku. Oya, kamu dah diterima dimana Reez?” tanya Ai mengalihkan pembicaraan.
“Diterima apaan, baru seminggu yang lalu tes UM. Doanya aja ya, teman-teman!”
“Iya. Kalau kamu Mee, dah mantap daftar kedinasan ya!” kata Ai.
“Iya. Kamu ikut nyoba yang kedinasan aja Ai! Nanti uang pendaftarannya aku bayarin deh!” saran Amee.
“Nggak deh. Makasih. Aku nggak mau buang kesempatan yang udah aku dapat. Lagian aku juga pengen cepet kerja, biar bisa bantu orang tua aku.”
“Ya udah Ai, kita hargai keputusan kamu. Btw, kamu kerja di pabrik sandal apa? Kapan-kapan boleh dong minta gratisan.” Kata Azza menghangatkan suasana.
“Hu...kerja aja belum dah minta gratisan.” Kata Areez membela Ai. “Tapi, boleh juga tu gratisan sandal...hehehe...”
“Hu... sama aja lo Reez!”kata Amee.
“Ku kerja di pabrik Sandal WollaWz. Nggak jelek-jelek amat kan?” kata Ai.
“Ya...ya...ya... asal nggak lupa ngasih gratisan buat kita-kita. Haha...” kata Azza.
“Ha...ha...ha...” semua tertawa.
@@@
Akhirnya liburan berlalu dengan lambatnya. Azza, Amee, dan Areez tengah menjalani hari-hari barunya di kampus baru dengan teman-teman baru pula. Sementara Ai tengah sibuk dengan sandal-sandalnya yang sudah ia geluti 3 bulan terakhir ini. Mereka berempat ternyata tak ditakdikan untuk selalu berempat selamanya. Ai di Semarang bekerja, Azza di Bandung dapat beasiswa di PTS, Amee di Jakarta kuliah di PTK idamannya, dan Areez di Jogja sesuai dengan PTN yang ia inginkan. Mngkin dari keempat sahabat itu, Ai lah yang begitu berat menjalani hari-harinya, tapi ternyata ia begitu menikmati hidupnya. Walaupun demikian, persahabatan tak termakan oleh jarak dan waktu. Mereka tetap menjaganya walau cuma sms-an, telpon, atau saling coment saat salah satu dari mereka pasang status di facebook.
Seminggu berlalu, 2 minggu berlalu...hari-hari begitu cepat saat semuanya beraktivitas. Tak seperti kala liburan panjang waktu itu. Areez memandangi kalender yang bergambar gedung kampusnya. Tampak raut keceriaan di wajahnya yang oriental. Secepat angin menggugurkan sebuah daun, ia gerakkan tangannya, merogoh saku, mengambil HP, dan langsung menggerakkan jemarinya yang lentik tuk menulis sms yang dikirimkan ke Azza, Amee, dan Ai.
Pren, mggu dpan dh puasa, lburn lbarn kmpul yx!
3 messages received. Tanpa menunggu lama 3 sms balasan diterima Areez. Waktu dibuka ternyata isinya sama semua. ‘okz’. Singkat tapi kompak. Itulah mereka. Dalam hal apapun harus selalu mencerminkan kebersamaan.
Liburan lebaran memang masih lama. 4 minggu lagi. Namun, karena hasrat saling bertemu dan rasa rindu yang mendalam dari keempatnya, maka waktu itu pun tiba. Mereka sepakat untuk berkumpul di rumah Amee jam 9. Sebelum tepat jam 9, Areez dan Azza sudah datang. Hanya Ai yang belum menampakkan batang hidungnya. Namun, setelah menunggu beberapa saat, Ai datang dengan membawa sebuah kantong kresek lumayan besar. Setelah saling meluapkan rasa rindu dengan berpelukan dan saling bersalam-salaman minta maaf, Ai membuka kantong kresek yang ia bawa.
“Temen-temen, ini aku bawakan pesanan kalian.” Kata Ai sambil mengeluarkan isi kantong tadi. SANDAL.
“Wahw. Makasih ya Ai!” kata ketiga temannya bersama-sama sambil melihat sandal yang dibawakan Ai.
“Ini buat Areez warna hijau, Azza yang biru, dan buat Amee yang kuning. Dan ini buat aku warna merah.”
“Wah, kok bisa kembar. Warnanya sesuai dengan warna kesukaan kita lagi.”
“Ini beneran gratis, Ai.”
“Wah, jadi nggak enak ni, Ai.”
Ketiga temannya heran melihat sandal yang dibawa Ai. Bagus.
“Itu parsel lebaran. Dan kenapa bisa kembar? Karena aku yang membukus parsel untuk semua karyawan. Karena aku yang bungkus, aku boleh dong pilih yang kembar!”
“Makasih ya, Ai” kata mereka sekali lagi.
Tak tahu harus berkata apa-apa setelah Ai memberi sandal merk WollaWz yang memang keren, Areez pun memulai pembicaraan dengan tema lain.
“Temen-temen, kalian punya cerita apa nih setelah kita pisah!” tanya Areez.
“Wah, saya seneng banget kuliah di Bandung. Akang-akang Bandung kasep pisan euy!” kata Azza yang mulai terbiasa berbahasa Sunda.
“Aduh, lancar bener bahasa Sundanya, kayanya baru beberapa bulan di Bandung.” Kata Ai meledek. Amee dan Areez membenarkan omongan Ai.
“Iya, lo Za.” Kata Amee. “Huff, kalo gue ni ya, cowok-cowok Jakarta cakep-cakep. Apalagi senior gue yang namanya Aquoz, keren abis. Sayang, di kampus ga boleh ada yang pacaran, kalo ketahuan berduaan siap-siap di DO deh,” cerita Amee sekalian curhat kalau kuliah di PTK ada banyak peraturan yang harus dipatuhi.
“Huh, Mee...kamu nggak jauh beda sama Azza. Sekarang ngomongnya gue-lo, hemh,” keluh Areez yang tak mengalami perubahan pada bahasa yang ia gunakan untuk komunikasi. “Kalau aku, aku juga seneng kuliah di Jogja, apalagi satu kampus sama Mas Aryo.” Cerita Areez. Aryo adalah pacar Areez sejak ia duduk di bangku SMA kelas XI. “Kalau kamu gimana Ai?”
Dengan penuh senyum Ai pun bercerita yang membuat ketiga temannya seksama memperhatikannya. Ia menceritakan kalau dirinya tiap kali pergi kerja selalu bertemu cowok yang dulu saat keempatnya SMA menjadi idaman mereka. Siapa lagi kalau bukan Agha. Ya, pabrik tempat Ai bekerja selalu dilewati Agha setiap pagi karena ia memang kuliah di kampus dekat pabrik itu.
Setelah menyelesaikan apa yang mereka ingin katakan dan berhubung waktu sudah menunjukkan tanda-tanda tenggelamnya sang mentari, Ai, Areez, dan Azza pun pamit pulang dan meninggalkan beberapa toples kosong di meja ruang tamu Amee.
Tak terasa waktu berjalan dengan cepatnya. Libur lebaran selesai. Keempat sahabat itu pun segera kembali ke kota tempat dimana mereka akan menemukan jalan masa depan mereka. Sandal pemberian Ai pun tak luput mereka bawa. Bahkan setelah mereka sampai di kota mereka masing-masing, mereka dengan setia memakai sandal itu kemana mereka pergi. Namun, baru sebulan mereka memakai sandal itu, kejadian aneh terjadi. Hal itu dimulai saat Amee mengirim sms pada Ai.
Ai, gw mnt maph yw. Sndal yg lo ksih wktu i2, sblh kanan udh ptus. Sry...:)
Ai tercengang membaca sms itu. Tak disangka apa yang dialami dirinya ternyata dialami Amee. Dan sebelum Ai membalas sms Amee tentang keanehan itu, tiba-tiba 2 sms kembali ia terima. Areez dan Azza. Mereka mengirim pesan yang senada dengan Amme. Pikiran Ai pun melayang. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Ada perasaan yang mengganjal dalam dirinya. Akhirnya, untuk menepis itu semua, Ai memutuskan untuk menelpon Azza, sahabat yang memang paling dekat di antara yang lainnya. Ia menceritakan keanehan itu.
“Itu artinya persahabatan kita abadi. Dimana pun kita berada, kita selalu sehati.” Itulah yang dikatakan Azza saat Ai meminta pendapat Azza. Tapi, apakah ini hanya kebetulan ataukah...?
Malam harinya Ai tidak bisa tidur dengan lelapnya. Ada sesuatu dalam pikirannya yang ia tidak bila ungkapkan itu semua. Ia hanya berdoa semoga itu tadi bukan pertanda buruk.
Keesokan harinya Ai menjalani hari-hari seperti biasa. berangkat kerja dan melakukan apa yang ia biasa kerjakan di pabrik. Namun, saat tepat pukul 10.00 ia merasakan pusing luar biasa. Badannya tak sanggup lagi bekerja.
Sementara itu, Areez yang saat itu sedang libur, atau lebih tepatnya tidak berangkat karena dosen yang mengajar waktu itu tidak hadir, sedang menikmati acara televisi sendirian di kos-kosannya. Tentu saja teman satu kosnya sedang menjalani aktivitasnya di sekolah maupun di kampus. Terlihat tangannya memegang remote sambil memencet tombol yang ada di remote itu. Tampak sekali ia bosan dengan acara yang disuguhkan stasiun TV saat itu. Namun, ia dikagetkan dengan berita di Breaking News yang tak sengaja ia temukan saat memencet tombol nomor 9 pada remote.
“Kebakaran luar biasa saat ini sedang terjadi di pabrik Sandal WollaWz, Semarang. Sudah 5 buah mobil pemadam kebakaran yang mencoba memandamkan api. Namun, sampai saat ini api tak kunjung padam karena pabrik berisi karet bahan sandal yang sulit untuk dipadamkan. Para korban belum ada yang bisa dievakuasi, padahal sekitar 250 pekerja masih berada dalam pabrik. Belum ada yang tahu penyebab kebakaran terjadi. Sekian Breaking News kali ini. Nantikan......”
Sebelum pembawa berita itu menyelesaikan kata-katanya, Areez sudah pergi ke kamarnya mencari sandal pemberian Ai yang sudah putus sebelah kanan. WollaWz. Ia melihat merk sandal itu. Pikirannya mulai dibayang-bayangi sesuatu. ‘Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Ai’. Pikirnya. Sejurus kemudian ia mengambil HP nya mencari kontak bernama Ai. Ditekannya tombol hijau yang menandakan ia sedang menelpon Ai. Tak bisa terhubung. Ia coba sekali lagi. Nihil. Tetap tak bisa. Akhirnya ia putuskan untuk menelpon Amee dan Azza dengan perasaan yang kacau balau. Beruntung mereka bisa dihubungi. Mereka terlihat terpukul sekali. Azza yang kemarin sore sempat ditelpon Ai yang bingung kejadian aneh waktu itu hanya berpikir apakah kemarin pertanda akan hal ini?
@@@
Setelah 12 jam para pemadam kebakaran berjuang melawan api, akhirnya api dapat dipadamkan juga. Para korban sedikit demi sedikit bisa ditemukan, walau dalam keadaan tidak utuh. Mereka seakan menyatu dengan karet. Polisi pun harus susah payah mengidentifikasi mereka.
Nama : Aisyah
Tempat/Tgl lahir : Purworejo, 9
Alamat : Jalan A. Yani 6
Purworejo
Polisi menemukan sebuah kartu identitas di dompet di dalam sebuah tas yang sudah tidak utuh lagi bersama dengan seorang wanita yang memegang tas itu. Wanita itu memang tak mirip dengan foto yang ada di kartu identitasnya karena memang wajah dan tubuhnya sudah rusak dilahap api. Bahkan kakinya pun sudah tak ada. Namun, polisi menganggap wanita itu lah yang bernama Aisyah. Akhirnya polisi mengirim wanita itu ke alamat yang ada pada kartu identitas. Setelah sampai di alamat yang dituju, ternyata keluarga yang di alamat tersebut membenarkan bahwa mereka mempunyai anak yang bernama Aisyah dan saat itu memang menjadi karyawan di Pabrik Sandal WollaWz. Akhirnya tanpa menunggu waktu panjang, keluarga segera mengurusi mayat wanita yang tak lain adalah Ai. Selang beberapa saat kemudian Azza, Areez, dan Amee tiba dengan air mata yang mendera tatkala melihat bendera putih terpasang di halaman rumah Ai.
Keluarga Ai kemudian menceritakan kedatangan polisi pagi tadi. Mereka semakin tak bisa menahan air mata saat melihat tas yang berisi identitas Ai yang dibawakan polisi. Namun, mereka sadar bahwa hidup di dunia memang tidak akan abadi.
Akhirnya setelah dikafani dan disholati, dan sebelum jenazah Ai dibawa keluar rumah untuk dikebumikan, terdengar riuh di luar rumah. Kontan saja membuat orang yang berada di dalam rumah ingin tahu apa yang terjadi.
“Ibu....” terdengar seorang wanita di halaman rumah Ai memanggil ibunya.
Ibu Ai yang merasa terganggu dengan keramaian di luar rumah, apalagi saat dirinya sedang berduka cita atas kematian anaknya, tak sabar melihat apa yang terjadi sebenarnya.
“Ai.....” teriak ibu Ai setelah melihat wanita yang berteriak tadi.
“Ai.....” Areez, Amee, dan Azza pun tak ingin ketinggalan. Mereka begitu kaget melihat Ai, sahabatnya terlihat sehat tanpa ada bekas luka bakar.
“Kalau itu kau, lantas yang di dalam itu siapa, Nak?” kata bapak Ai yang juga terlihat kaget.
“Iya, Nak. Polisi menemukannya bersama tas yang berisi identitas kamu,” kata ibu Ai.
“Mbak Atew....” teriak Ai sambil lari menuju jenazah seorang wanita yang sudah di keranda.
Menyadari banyak orang yang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi akhirnya Ai pun angkat bicara setelah jenazah wanita, yang tadinya dikira jenazah Ai dikebumikan.
Siang itu, saat Ai merasakan pusing yang luar biasa sehingga badannya tak bisa digunakan bekerja, ia memutuskan untuk minta ijin pulang pada Pak Ashor, atasannya. Pak Ashor memang baik, ia menyuruh sopir untuk mengantar Ai pulang ke kos-kosannya menggunakan mobil milik pabrik. Karena jarak antara pabrik dengan kos-kosan Ai hanya sekitar 5 km, hanya butuh waktu kurang dari 15 menit untuk sampai kesana. Setelah itu Pak Abay, sopir yang mengantarkan Ai pulang kembali ke pabrik setelah menerima ucapan terima kasih dari Ai. Ai pun segera menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya di kasur yang kurang empuk. Sesaat sebelum ia bisa tertidur ia mengingat sesuatu.
‘Aduh, tas aku ketinggalan. Padahal HP, dompet semuanya ada disana.’ Batin Ai. Tak mungkin ia kembali ke pabrik dengan kondisinya yang seperti itu. Ia pun memutuskan pergi ke wartel milik ibu kos yang letaknya tepat di depan kos-kosan Ai. Ia menelpon Mbak Atew, sahabatnya di pabrik. Ia minta supaya Mbak Atew membawakan tasnya setelah pulang kerja. Namun, sebelum Ai menyampaikan keinginannya itu, Mbak Atew tak bisa dihubungi. Sambungannya terputus. Tapi akhirnya Ai bisa terhubung dengan Mbak Atew.
“Mbak, nanti pulang kerja bawakan tas aku ya! Tas aku ketinggalan di meja kerjaku!” pinta Ai.
“Ya, udah. Setengah jam lagi Mbak juga pulang kok. Mbak mau ijin temenin adik Mbak ke dokter. Tas kamu yang warna merah kan? Bentar lagi Mbak ke kos-kosanmu ngasih tas kamu. Oke?”
“Makasih ya Mbak...”
Sebelum Ai mendengarkan jawaban Mbak Atew di seberang sana, tiba-tiba,”BrRuukK....”. Ai pingsan sambil tetap memegang gagang telpon. Setelah itu ia tak sadarkan diri.
“Saat aku sadar, aku sudah berada dalam kamarku. Ibu kos bilang kalau aku tadi pingsan, dan menyuruh orang untuk membawaku ke kamar. Lalu ibu kos menceritakan kejadian yang saat itu berlangsung. Ya, kebakaran di pabrik!” cerita Ai pada keluarga dan teman-temannya sambil mengeluarkan air mata. “Saat aku melirik jam, kejadian itu tepat 20 menit setelah aku telpon Mbak Atew. Itu artinya Mbak Atew masih di pabrik, hiks...hiks...”
Ai terlihat begitu sedih saat menceritakan hal yang menimpa Mbak Atew. Baginya Mbak Atew adalah orang yang paling baik selama ia di Semarang. Mbak Atew pula yang pertama kali menjadi teman di pabrik sandal itu. Tapi bagi teman dan keluarga Ai, mereka justru senang pada apa yang dialami Mbak Atew, karena dengan begitu Ai masih hidup dan hadir di tengah-tenah mereka. Namun, mereka tahu diri untuk tidak menunjukkan kebahagiaan mereka.
“Nak, kamu nggak usah kerja lagi ya! Apalagi kerja di pabrik sandal?” pinta ibu Ai.
“Sebenarnya Ai juga takut, Bu, kalau tragedi sandal itu terulang. Tapi, Ai harus ngapain setelah ini?”
“Kamu kuliah ya, Nduk. Biar nanti Pakdhe yang membiayai kuliah kamu!” Ai tak menyangka Pakdhe Ali ada disitu. Anak-anak Pakdhe Ali memang sudah besar dan berkeluarga. Jadi tidak menjadi masalah kalau Padhe Ali bersedia membayari uang kuliah Ai.
“Kamu kuliah di Jogja aja Ai, bareng aku. Murah kok!” tawar Areez.
“Jangan Ai, nanti lo ditinggal pacaran mulu ma Areez. Ma gue aja!” tawar Amee tak mau kalah. Dan sebelum Azza menawari untuk kuliah bersamanya di Bandung, Ai pun berkata,”Makasih teman-teman, tapi alangkah baiknya kalau aku kuliah di Solo dan tinggal bersama Pakdhe Ali. Iya kan, Pakdhe?” Ai melirik pada pakdhenya. Pakdhe Ali pun hanya tersenyum mengiyakan.
“Yah......” ketiga teman Ai pun tampak kecewa.
“But.....Our friendship will never die” teriak keempatnya. Semuanya tertawa riang. Dan dalam hati mereka masing-masing berkata, “Semoga Tragedi Sandal itu nggak akan pernah terulang.”
ThE_eNd
25/04/10
mana komentar Anda????
ReplyDelete