Based on true story dengan banyak perubahan

Sunday, October 31, 2010

CINTA KILAT SANG JUARA

Baru 2 bulan anak-anak mengenakan seragam putih abu-abu setelah 3 tahun menggunakan seragam putih biru. Namun, ulangan sudah menanti mereka. Salah satunya Fisika yang menurut anak-anak SMA merupakan pelajaran tersusah dengan guru yang mudah marah.

“Dari 24 anak hanya 5 anak yang dapat nilai di atas KKM. Emy 67, Early 69, Eerie 70, Eras 70 dan tertinggi Enes 72."

Hening. Tak ada suara. Semua anak diam. Bahkan melihat raut muka Bu Ewid, guru fisika kelas X-1 itu, yang penuh amarah, murid-murid X-1 tak ada yang berani bergerak. Mereka seakan paham apabila Bu Ewid, guru yang terkenal disiplin itu sedang marah, maka kelas tidak akan pelajaran karena diisi ceramah dan nasehat dari Bu Ewid.

Enes, siswa yang duduk di bangku depan, sebangku dengan Ella, dan dalam ulangan fisika dapat nilai tertinggi dalam hatinya begitu bangga. Namun, ia tak menunjukkannya karena tak ingin merusak suasana yang mencekam. Dirinya tak menyangka dapat nilai tertinggi, padahal ia selalu pesimis karena berasal dari SMP pinggiran. Namun, di kelas dengan teman-temannya yang masih bisa dikatakan baru, ia dapat mengalahkan anak-anak yang berasal dari SMP favorit. Karena nilai fisika itu, Enes yakin dirinya mampu bersaing dengan mereka. Namun, Enes punya saingan kuat. Eraslah orang nya, namun, Enes kurang suka padanya karena sifatnya yang sedikit sombong.

Satu semester bukan waktu yang panjang. Setelah melaksanakan ujian akhir semester dan mengikuti mid semester, raport pun dibagikan. Lagi-lagi Enes dikagetkan karena dirinya mendapat peringkat pertama. Peringkat kedua diduduki Ella, bukan Eras yang selama ini menjadi saingan kuat Enes. Eras hanya peringkat 3. Ella bisa mengalahkan Eras karena ia menonjol dalam pelajaran hafalan seperti Biologi, Ekonomi, dan Sejarah.

Semester 2 dimulai, tak terasa sudah di penghujung bulan Maret. Sekolah dikejutkan dengan datangnya surat yang memberitahu tentang Olimpiade Sains yang dilaksanakan bulan April. Padahal apabila ada olimpiade seperti itu, surat edaran pasti datang 1 bulan lebih awal. Namun, kali ini begitu mendadak. Sekolah pun segera menunjuk para guru sains untuk memilih siswa yang dianggap kompeten untuk mengikuti Olimpiade ini. Enes yang menjadi bintang kelas pun menjadi rebutan para guru Sains. Namun, karena kecintaannya pada Bu Ewid ia memilih bergabung dalam tim olimpiade fisika.

“Kamu ikut olimpiade fisika saja ya, bareng sama Eras, nanti ibu yang membimbing!” kata Bu Ewid pada Enes.

“Iya, Bu.” Jawab Enes mantap. Namun, hatinya berkata, ‘kenapa harus bareng Eras sih!’ Eras memang jago fisika dan semua hal yang berhubungan dengan hitung-menghitung. Sementara Ella diikutkan dalam Olimpiade Biologi.

“Oia, nanti kamu juga bareng Enno dan Eros kelas XI IPA 1. Saya yakin kamu pasti bisa seperti mereka.”

“Baik, bu!”

Enno, bukan nama yang asing bagi Enes dan seluruh siswa SMA Sedya Kencana. Ia dikenal sebagai anak orang kaya dengan tampang yang bisa dikatakan lumayan.

“Hehm, semoga mereka bisa menjadi partner yang baik!” kata Enes pada dirinya sendiri.

Jam pelajaran ke-5, saat anak-anak kelas X-1 sedang pelajaran Geografi, anak-anak yang sudah ditunjuk untuk mengikuti olimpiade dikumpulkan di ruang serbaguna untuk memperoleh sedikit pengumuman dari Pak Edgar, waka kesiswaan.

“Olimpiade tahun ini diadakan tanggal 1 April di SMA kita tercinta.  Sekarang sudah tanggal 25 Maret. Sudah tentu waktu kita terbatas untuk mempersiapkannya, namun saya percaya dengan kalian semua.” Kata Pak Edgar.

“Yee!” seru anak-anak olimpiade diiringi tepuk tangan penuh semangat.

“Sebagai persiapannya, kami dari pihak sekolah akan meminta bantuan para dosen dari Universitas Pancasakti. Kalian akan menginap di sekolah selama 3 hari mulai tanggal 26-28 Maret. Pagi diajar para dosen, malam hari bisa sharing dengan guru mapel masing-masing. Siap?”

“Siap!” jawab mereka serempak.

“Pak, mau tanya!” Enno berdiri penuh wibawa. “Bukankah 1 tim olimpiade hanya 4 orang, tapi kenapa tahun ini 6 siswa, 2 siswa kelas XI dan 4 kelas X?”
“Satu tim terdiri dari 4 orang, 2 siswa kelas XI dan 2 kelas X. Itu berarti nanti ada 2 siswa kelas X yang harus gugur. Kalian harus bisa bersaing dengan teman kalian. Mengerti?”
“Mengerti!”

&&&

Keesokan harinya, Enes beserta para siswa olimpiade sudah berangkat sekolah dengan membawa perlengkapan pribadi untuk menginap di sekolah selama 3 hari. Setelah meletakkan barang-barang di ruangan yang disediakan sekolah, mereka pun segera berkumpul di ruang serbaguna. Setelah mendapat sedikit informasi, para siswa olimpiade menyebar ke ruangan-ruangan yang sudah ditentukan sekolah sesuai dengan mata pelajarannya masing. Sebagai tim olimpiade fisika, Enno, Eros, dan 4 siswa kelas X termasuk Enes masuk ke Lab. Fisika.
Dua hari berlalu. Semua siswa terlihat begitu tak bersemangat apalagi kelas X. Mereka seakan baru menyadari bahwa materi olimpiade begitu luas dan tak seperti mata pelajaran yang selama ini mereka terima di kelas.
“Senyawa esensial fotosintesis ada 5 yaitu pigmen fotosintesis, terus....apa ya? Haduh ini materi kelas berapa sih susah banget!” keluh Ella pada Enes di sela-sela waktu istirahat mereka.
“Iya Ell, ku juga kesusahan nih. Gila, materi olimpiade kok kayak gini ya?”
“Ku nggak yakin nih bisa terpilih!” kata Ella.
“Jangan nyerah dulu, tetep semangat! Ok?”
Hari terakhir. Kegiatan masih seperti 2 hari sebelumnya. Belajar, belajar, belajar. Dengan materi yang lebih luas tentunya. Namun, suasananya masih tetap sama. Tapi, hari ini Enes merasa sesuatu yang tidak biasa. Setelah istirahat dan kegiatan pembinaan dimulai kembali, Enno duduk di samping Enes. Padahal selama ini Enno selalu bersebelahan dengan Eros, dan Enes duduk di sebelah Emma, kelas X-7. Keanehan yang dirasakan Enes tak hanya berhenti sampai di situ. Di tengah-tengah keseriusannya memperhatikan penjelasan sang dosen, tiba-tiba Enno menyodorkan bukunya pada Enes. Pada buku tersebut, Enes melihat tulisan Enno yang seakan mengatakan
“Hai, serius banget sih. Nggak ngantuk apa?”
Enes pun berpikir sejenak. Ia tahu bahwa Enno, kakak kelasnya itu ingin mengajaknya chatting lewat kertas. Dan bingung harus berbuat apa, Enes pun membalas seadanya.
“Ngantuk sih, tapi kan harus tetap memperhatikan. Aq kan masih bodo!”
“Kamu pinter kok.” Balasnya.
Tiba-tiba, Pak Eko, sang dosen, memberi sebuah pertanyaan mengenai katrol yang bergerak. Semuanya terlihat sibuk mengerjakan.
“Berapa jawabannya?” tanya Pak Eko sesaat kemudian.
“24 Newton, Pak!” jawab Enno cepat.
“Yang lain gimana?”
“Belum, Pak.” Kata Eras diikuti ketiga siswa kelas X yang lainnya.
“Iya 24 N, Pak!” Eros membenarkan.
“Iya, jawabannya memang 24 N. Nanti yang kelas X belajar ke kakak kelasnya, ya!”
Dalam hati Enes berpikir, ‘Perasaan dari tadi Enno ngajak chattingan. Tapi, kenapa dia bisa jawab soal yang sulit itu ya! Hebat dia, bener-bener smart.”
Enes pun menghentikan berchatting dengan Enno saat waktu pembinaan habis.
Enes serta para siswa olimpiade yang lain kemudian pulang ke rumah masing-masing setelah diadakan penutupan serta doa bersama yang dipimpin Bapak kepala sekolah di ruang serbaguna.
Malam harinya Enes pun dikejutkan dengan sebuah SMS dari nomor baru yang mengaku nomor Enno. Enno mengaku dapat nomor HP Enes dari Erna, tetangga Enno yang juga jadi teman sekelas Enes. Isi SMS-nya memang biasa saja, namun penuh perhatian.

&&&

Keesokan harinya, 29 Maret di ruang serbaguna, Pak Edgar sedang membacakan nama-nama siswa yang akan mengikuti Olimpiade. Beberapa siswa kelas X terlihat kecewa karena tidak terpilih. Salah satunya Ella. Sementara Enes bisa terpilih sebagai tim olimpiade Fisika bersama Eras dan 2 kakak kelasnya.
Satu April pun tiba, hari yang ditunggu anak-anak olimpiade sekabupaten. Olimpiade dimulai pukul 09.00 WIB, namun Enno menyuruh Enes berangkat lebih awal. Enes pun memenuhi permintaan Enno. Waktu menunjukkan pukul 07.00. Enes telah menapakkan kakinya di pelataran sekolah. Sekolahnya begitu sunyi. Ia belum melihat Eras atau timnya. Yang ia lihat hanya Essy, anak X-4 yang tergabung dalam tim olimpiade Kimia. Ia bersama timnya akan belajar bersama sebelum pertempuran tiba. Enes melangkahkan kakinya mencari sosok yang memintanya berangkat pagi.
“Hai,” sapa Enno yang tengah duduk santai di depan kelas yang kaca jendelanya ditempeli kertas terbaca FISIKA.
Enes yang tak berkawan pun segera menghampirinya dengan harapan kakak kelasnya yang satu ini bersedia mengajarinya.
“Gimana udah siap untuk hari ini?” tanya Enno santai.
“Ehm, siap nggak siap. Kamu kok nyantai banget sih?”
“Hahaha....ya gimana ya. Anak pinter sih!” kata Enno menyombongkan diri.
Enes pun segera meminta Enno mengajarinya materi olimpiade sebelum ia merasa ketakutan karena mereka hanya berdua saja di sekolah yang masih membisu. Apalagi sedari tadi Enes merasa Enno memandanginya penuh makna. Enno pun dengan senang hati mengajari Enes. Namun, Enes tak bisa memusatkan pikirannya untuk mencerna apa yang disampaikan Enno. Enes merasa ketakutan karena posisi Enno begitu dekat dengannya hingga aroma parfum Enno menusuk hidung Enes. Mungkin orang yang melihat akan menyangka mereka sedang larut dalam lautan cinta bukan terlihat sebagai dua orang yang sedang belajar bersama. Apalagi beberapa kali Enno menanyakan kisah cinta Enes, yang justru membuat Enes semakin ingin lepas dari keadaan itu.
Hari semakin siang, anak-anak sudah terlihat berdatangan. Enes masih belum bisa berlepas diri dari keadaan karena anak-anak yang datang tak ia kenali. Namun, di tengah-tengah keber-dua-annya dengan Enno, tiba-tiba Enes mendengar seseorang tertawa geli di ujung lorong. Eras. Disusul kemudian tawaan dari Emy, teman sekelas Enes yang mengikuti olimpide Bahasa Inggris. Enes yang tahu benar mereka berdua menertawakannya. Selama ini Enes memang dikenal sebagai cewek yang jarang memperlihatkan kedekatannya dengan seorang cowok.
Enno yang tak memperhatikan tawa kedua teman Enes tiba-tiba meminta ijin untuk meninggalkan Enes karena ia ingin bertemu Eros yang baru saja datang. Enes pun merasa lega karena akhirnya ia bisa keluar dari keadaan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia pun segera menemui Eras dan Emy yang masih tertawa melihat Enes.
“En, gila, mesra banget! Kamu pacaran sama Enno?” tanya Emy.
“Hah, apaan sih. Aku belajar bareng kok!”
“Ah, yang bener?” goda Emy. “Bagus deh kalau gitu!”
“Memangnya kenapa?”
“Hati-hati aja ya sama dia. Kayaknya sekarang kamu jadi targetnya deh!”
“Target apaan sih?”
“Yap, seminggu yang lalu ia baru aja ditolak Erna. Padahal seminggu sebelumnya ia baru putus dari Erry. Jadi, aku cuma nggak mau kamu sakit hati!”
“Makasih ya, My!” kata Enes sambil memikirkan kata-kata Emy.
&&&
Hampir pukul 09.00. Semuanya sudah siap di depan ruang tempur mereka masing-masing. Begitu juga Enes. Ia sudah berdiri di depan kelas yang tadi pagi menjadi saksi bisu keber-dua-annya dengan Enno. Dan walaupun sekarang kelas itu sudah ramai dengan anak-anak yang siap bertarung, Enes masih merasakan ketakutan yang sama seperti yang ia rasakan pagi tadi karena memang sedari menemui Eros, Enno langsung menemui Enes bahkan mengekor kemanapun Enes berada. Bahkan sampai sekarang menunggu pintu kelas dibuka oleh panitia, Enno dengan setia berdiri di samping Enes. Eras, yang tak jauh dari mereka pun kembali mengembangkan senyum gelinya.
Pintu dibuka. Semua siswa memasuki ruang kelas. Setelah soal dibagikan semua sibuk mengerjakan. Beberapa menit kemudian Enes yang seruang dengan timnya sudah mulai bingung mengerjakan. Ia melihat raut muka saingan-saingannya yang sibuk mengerjakan. Namun, sewaktu ia menoleh ke arah Enno, ia melihat Enno yang asyik membuka kotak snack pemberian panitia. Ia tak habis pikir, di saat orang-orang sedang memikirkan soal-soal yang dihadapi, Enno justru memikirkan nasib perutnya.
Akhirnya waktu berakhir. Terlihat semua siswa dengan wajah yang kusut keluar dari ruang kelas masing-masing. Namun, berbeda dengan Enno. Dengan santainya ia membuang kotak snack. Tak terlihat wajah kusut dari dirinya. Dan lagi-lagi Enno berdiri menyampingi Enes yang terlihat gelisah tak bisa mengerjakan soal.
“Gimana tadi? Bisa mengerjakan kan?” tanya Enno penuh senyum pada Enes.
“Hemh, susah. Tapi makasih tadi pagi udah ngajari aku. Jadi sedikit bisa mengerjakan!”
“Eh, jangan pulang dulu ya!” pinta Enno.
“Memangnya kenapa?”
“Aku mau ngomong!”
“Ngomong apa?”
“Aku suka kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku!” bisik Enno.
“Hah!” Enes yang sedang minum minuman gelas hampir tersedak karena bisikan Enno.
“Gimana? Mau ya, mau ya!” Enno yang saat itu sedang duduk semakin mendekat ke Enes yang juga sedang duduk di sebelahnya. Kali ini bukan hanya bisikan sehingga orang yang duduk di sekitar mereka memperhatikan mereka.
“Ehm, tapi, apa nggak terlalu cepat? Maksud aku, kita kan baru kenal, belum ada sebulan lagi!” kata Enes dengan senyum yang dipaksakan.
“Ah, itu nggak penting. Yang penting aku suka kamu!”
Sejurus kemudian Enes ingat apa yang dikatakan Emy. Seminggu yang lalu Enno baru ditolak Erna, dan belum ada seminggu mengenal Enes, Enno sudah meminta Enes untuk jadi pacarnya. “Hemhpm, beneran ‘Gila’!” batin Enes. Enno memang tajir, lumayan cakep, gaul, tapi, mudah banget untuk jatuh cinta.
“Em, nggak ah!” jawab Enes akhirnya.
“Kenapa? Mau ya, jadi pacar Enno!” pinta Enno.
“Emhp, maaf. Aku nggak bisa!” kata Enes sembari pamit minta ijin untuk pulang. Ia tak ingin melihat Enno yang semakin memaksa dirinya untuk menjawab ‘iya’.
Malam harinya Enno meng-SMS Enes. Lagi-lagi menanyakan hal yang sama. Dan untuk kesekian kalinya Enes menolak permintaan Enno.

&&&

Seminggu berlalu. Walau Enes sudah menolak Enno tapi Enno semakin rajin mengunjungi kelas X-1. Entah hanya lewat di depan kelas atau mampir menemui Erna, tetangganya yang juga jadi target Enno sebelum Enes.
Istirahat tiba. Jam fisika berakhir. Namun, Bu Ewid tidak keluar kelas. Beliau menemui Enes yang sedang merapikan bukunya.
“Eras, kemari!” panggil Bu Ewid yang sudah berdiri di depan Enes. “Hasil olimpiade sudah keluar. Enes peringkat 9. Eras peringkat 12. Peringkat 1 Enno. Dan Eros peringkat 2-nya.”
“Maaf ya Bu!” kata Eras yang terlihat kecewa.
“Iya, Bu. Kami sudah berusaha.” Enes menimpali.
“Tak apa-apa. Wajar kalau kalian dapat peringkat itu. Kalian baru kelas X. Ibu yakin tahun depan kalian bisa seperti Enno dan Eros.” Kata Bu Ewid baik.
Dalam hati Enes begitu kagum dengan Enno. Selama ini ia berpikir bahwa Enno tak pernah serius saat pembinaan olimpiade. Tapi sungguh luar biasanya ia bisa jadi sang juara. Ia ingin mengucapkan selamat, namun ia tak berani karena sudah menolaknya.
Pulang sekolah, saat Enes menunggu ayahnya yang biasa mengantar-jemputnya masih terbayang-bayang bagaimana cara Enno hingga ia bisa menjadi juara olimpiade Fisika sekabupaten tahun ini. Namun, tiba-tiba Enes dikejutkan oleh suara yang biasa didengarnya.
“Enes, pulang dulu ya!” kata Essa, teman sekelas Enes yang jago menciptakan puisi.
Yang mengagetkan Enes bukaan sapaan Essa yang membuyarkan lamunan Enes. Namun, orang yang tak biasanya memboncengkan Essa. Baru kali ini Enes melihat Essa pulang bareng dengan cowok yang akhir-akhir ini mendekatinya. Enno.
“Enno? Jangan-jangan.....” pikir Enes. “Omigod.”

The End
09/05/10

2 comments:

  1. zzzz......
    akhir yang seru..
    gak bisa ditebak tapi asyik nih..
    btw, mia jadi "enes" yak?
    cie, ditaksir kakak kelas..
    ajip dah...
    :DD

    ReplyDelete
  2. bagus.
    ditunggu karya lainnya.. ^_^

    ReplyDelete

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.