Perihal Barang Lungsuran

Saturday, December 19, 2020
Beberapa waktu yang lalu, tetangga datang membawakan seplastik celana bekas layak pakai yang diberikan untuk anakku. Padahal sebelumnya ia sudah memberikan baju, jilbab, dan juga sepatu. Tetangga ini memang dikenal suka memberi. Berbagai jenis makanan suka sering dibagikan kepada kami sekeluarga.

Seneng ya, punya tetangga seperti ini. Tapi, tahu nggak sih, lebih dari 50% baju anak pertamaku ini kebanyakan lungsuran, bahkan sejak ia bayi. Popok, kain bedong, dan segala perlengkapan bayi milik sepupunya ia kenakan. Semakin besar, ia mendapatkan baju dan segala macamnya dari pemberian tetangga sekitar.
 
Aku sungguh sangat berterima kasih, tapi jauh di lubuk hatiku ada perasaan yang susah dijelaskan. 
 
1. Kenapa anakku? 

Apakah karena ia selalu mengenakan baju yang itu-itu saja? 

Apakah karena baju yang dipakainya terlihat kekecilan? 


Aku memang jarang membelikan baju untuk anakku karena aku sadar ruang penyimpanan kami terbatas. Area bebas kami hanya di kamar saja. Apabila ada barang baru, maka barang lama harus keluar agar tidak penuh. Nah aku bingung, barang lama kami mau ditaruh dimana? Itulah sebabnya aku jarang beli baju, baik untuk diriku sendiri, maupun untuk anakku. Jadinya ya pakai baju yang itu-itu saja. Tak masalah. 


Lalu kenapa harus anakku? Kenapa nggak didonasikan aja ke yang benar-benar butuh? Karena rasanya masih ada yang lebih membutuhkan dibandingkan kami.


Tapi, mari berbaik sangka! Keluarga terdekat itu kan tetangga. Jadi daripada ribet kemas dan kirim untuk donasi, kenapa nggak dikasih ke keluarga terdekat aja?! Dan kenapa anakku, ya karena dari segi usia dia yang paling mendekati dan mungkin cocok dengan style anakku. Lagipula, memberi itu tanda sayang kan? Terima kasih tetangga 😊


2. Insecure dan Beban

Baju yang diberikan untuk anakku kondisinya masih bagus-bagus. Apa mungkin mereka telaten merawat baju seperti halnya ibu mertuaku? Yang kalau ada noda harus direndam seharian? Yang bajunya harus diikat saat dicuci agar tidak melar? Aku? Mana sempat, keburu rebahan 😂 Bagiku, yang penting dicuci bersih. Kalau ada sisa noda, yaudah nggak apa-apa. Kalau melar, ya beli lagi. 


Kalau baju itu aku yang beli, rasanya nggak masalah ya. Tapi kalau pemberian dari orang lain, rasanya jadi beban. Kok baju itu di aku jadi tidak terawat, jadi cepet melar, jadi kelihatan tidak cantik, keliahatan kotor, dan sebagainya. Kok kayak nggak menghargai yang memberi ya.


Tuh kan, nggak cuma jadi insecure, tapi jadi overthinking juga. Duh! 


3. Merasa Bersalah ke Anak

Aku sebagai orang tuanya kok kayak nggak mampu memberikan sandang untuk anak. Kenapa ia mendapat sesuatu yang bekas padahal bisa saja dapat yang baru. Gimana perasaannya kalau ia selalu mendapat lungsuran, baik baju maupun mainan. Kalau diberi pilihan, aku pun pasti lebih milih sesuatu yang baru dibanding yang bekas, meski nggak masalah juga sih kalau pakai yang bekas.


Seperti itulah kiranya rasa yang ku rasakan. Mungkin kelihatan berlebihan, tapi nggak apa-apa, semua perasaan ini valid. Berhubung semua barang sudah diterima, mari kita ambil manfaatnya saja. Tak lupa bersyukur, oke? Budgeting untuk baju kita alihkan saja ke dana pendidikan. Eh, tapi kalau budgeting untuk mainan, tetep dong, meski mainan lungsuran juga banyak banget!

No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.