Kerja Santai VS Kerja Sibuk

Friday, February 03, 2017
Semalam aku terlibat dalam percakapan ringan tapi berbobot, bersama dua orang yang dulu mewawancaraiku di tempatku bekerja sekarang. Percakapan kami berakhir ketika salah satu dari mereka bertanya,"Sekarang gini, dengan gaji yang sama, lu pilih kerjaan mana: (1) yang santai, let it flow atau (2) yang sibuk banyak kerjaan?"

Meski aku mengatakan bahwa aku memilih pilihan  pertama (1), tapi dari lubuk hatiku paling dalam aku memilih opsi kedua (2).

Mengapa?

Aku sudah bekerja selama tiga tahun di posisi yang sama dengan pekerjaan yang tidak jauh beda setiap tahunnya dan bisa dikatakan, kerjaanku selama ini masuk ke kategori pertama, santai dan let it flow. Apalagi akhir-akhir ini, kerjaanku semakin santai karena bosku memang tak perhatian padaku. Ada tidaknya aku, rasanya tak berpengaruh baginya. Mungkin karena aku tak suka berbasa-basi dengannya dan dia pun merasa canggung menghadapi anak buah yang tak banyak bicara sepertiku. Padahal sebenarnya apapun kerjaan yang dia berikan, aku juga pasti akan mengerjakannya. Alhasil, setiap hari aku bekerja ya gitu-gitu aja.

Pagi hari aku masuk kantor, update web ini dan itu, selesai jam 08.30 WIB. Selanjutnya aku bekerja jika ada email masuk, telepon berdering, atau rekan kerja yang meminta tolong untuk dibuatkan memo dan semacamnya. Jika semua itu tak ada, maka aku fokus ke handphoneku; berkebun di Hay Day atau menghancurkan jelly di Candy Crush Saga. Saat sedang bosan, aku berpindah ke tempat Mbak Sungjoy untuk mengambil jajanan dan ngobrol-ngobrol cantik. Setiap hari seperti itu.

Itulah mengapa aku ingin merasakan di posisi (2) sibuk banyak kerjaan. Aku merasa, aku tidak berkembang jika hanya melakukan pekerjaan yang itu-itu saja, apalagi di usiaku yang masih produktif sekarang ini. Jika aku sudah merasa settle dengan tempat kerjaku, aku tak masalah jika hanya melakukan pekerjaan yang santai. Misalnya jika aku sudah menjadi ibu rumah tangga dan bekerja hanya untuk menambah pundi-pundi keuangan keluarga, maka aku justru sangat bersyukur jika hanya dengan melakukan pekerjaan yang biasa saja, namun tetap mendapatkan gaji yang sama dengan mereka-mereka yang bekerja keras. 

Akan tetapi, aku belum menginginkan itu. Aku tak ingin settle di tempatku sekarang. Aku ingin mencari tempat lain yang lebih nyaman, baik di kerjaan maupun lingkungannya. Nyaman di kerjaan bukan dalam artian kerjaan yang lebih santai dari kerjaanku saat ini, tetapi kerjaan yang sesuai dengan kapasitasku (tidak terlalu berat tapi juga tidak terlalu ringan).

Sekarang ini otakku perlahan mulai tumpul, seperti halnya pisau tajam yang tak pernah diasah, lama-lama akan tumpul juga. Aku tak inginkan itu. Itulah sebabnya aku mengatakan "iya" ketika dari bagian lain meminta bantuanku. Namun, rekan kerjaku justru melontarkan pertanyaan di atas. "Kalau 'bantuan' itu bukan termasuk dalam list kerjaanmu, ngapain kamu kerjain?" Aku tahu dia berkata demikian untuk melindungiku dari bos-bagian-lain yang terkenal dengan sikapnya yang dingin, menyebalkan, dan suka bikin sakit hati. 

Aku tahu dan aku sadar tentang bagaimana sikap bos-bagian-lain tersebut. Tetapi seperti kata Tere Liye;
Diamnya jauh lebih menyakitkan dibandingkan marahnya. Aku lebih baik dimarahi karena bertanya banyak hal kepadanya, dibandingkan tatapan kosong.
Terkadang memang menyenangkan ketika punya bos yang tak peduli dengan kita. Kita tidak pernah dituntut dengan kerjaan dan tak pernah dimarah-marahi. Tetapi, lama-kelamaan rasanya seperti bawang kosong di sebuah permainan; diajak main tapi tak ada fungsinya. Jadi terkadang aku berpikir lebih baik aku dimarahi karena pekerjaanku yang tidak beres dibandingkan harus jadi bawang kosong selamanya.

Selain itu, di sebuah film Jepang yang ku tonton, aku sangat terinspirasi dengan seseorang yang mengatakan;
Minum bir setelah kerja keras, rasanya nikmat sekali.
Yang perlu digarisbawahi bukan minum bir nya, tetapi suatu hal yang sederhana akan terasa nikmat ketika kita menyelesaikan kerjaan kita. 'Nasi goreng akan terasa enak sekali setelah kerja lembur', mungkin rasanya seperti itu dan aku ingin merasakannya. Tapi untuk kondisi sekarang, aku tak bisa.

Untuk itu, aku hanya bisa berharap lamaran kerjaku segera diterima di tempat lain sehingga otak yang tumpul ini mulai diasah lagi hingga nantinya akan tajam kembali. Aamiin.

1 comment:

  1. no comment hanya menjejak.. main ke blog aku dong ma

    ReplyDelete

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.