Malam Sebelum 3 Hari yang Lalu
Ku berada dalam keadaan yang berbeda dari yang ku bayangkan. Seharusnya kini ku berada dalam kesendirian di sebuah ruangan yang menjadi tempatku berteduh dari hujan dan panas. Ku ingin di saat itulah aku merenungi tentang siapa dan bagaimana aku. Tapi keadaan berubah. Sekarang ku berada di sebuah kontrakan bernomor 23, tempat kedua sahabatku tinggal. Dan kini ku menduduki singgasana sahabatku. Pojokan dekat pintu. Tempat yang baginya menjadi sumber inspirasi untuk menuangkan segala keluh kesahnya. Dan aku pun mulai membuktikan kehebatan tempat ini. Walaupun sebenarnya belum ada bayangan tentang apa yang aku tulis, namun ku coba ketikkan kata demi kata membentuk sebuah kalimat yang terangkai menjadi paragaf tak berarti. Sahabatku yang satu tengah asyik membaca sebuah novel buah karya Habiburrahman El Shirazy. Sementara sahabatku yang satu nya lagi menikmati acara televisi yang sama sekali tak menggelitik jiwaku untuk menontonnya. Namun, tiba-tiba ia beranjak mengambil laptop yang sama persis dengan Acep ku hanya sekedar mengecek account facebooknya. Aku pun melanjutkan mengetik sambil mencari-mencari bahan untuk ditulis.
Pikiranku melayang ke bagian dalam rumahku yang berada di desa. Sebuah tempat yang bisa mengeluarkan setiap pemikiranku dan menjadi tempatku merenung. Bukan kamar pribadi yang biasa dijadikan orang untuk menangis atau mengurung diri karena keinginannya tak terpenuhi. Bukan juga kamar mandi yang bagi sebagian orang dianggap sebagi tempat yang memunculkan berbagai inspirisasi. Namun, tempat yang ku maksud adalah di depan tungku api rumahku. Dulu, ketika aku belum memutuskan pergi jauh merantau mencari ilmu di kota orang, aku selalu membantu ibuku merebus air dengan tungku api itu. Dan ketika ku gesekkan satu batang korek ke kotaknya maka muncullah apa yang terpendam dalam hatiku seiring dengan api yang muncul dan mulai memakar kayu-kayu kering. Disana, apa yang sebelumnya hanya dalam hatiku kini beranjak naik ke otak untuk segera dipikirkan dengan logika. Tak jarang aku menangis ditempat itu.
Dan di saat pikiranku kembali ke masa sekarang aku hanya bisa membayangkan tempat itu. Namun, agaknya aku akan dipertemukan dengan tempat favoritku itu dalam waktu dekat ini. Walau belum mendapat pengumuman resmi akan adanya liburan, aku beranikan diri untuk pulang ke rumah di kota tempatku dilahirkan. Dan tidak seperti kepulangan pertamaku yang menggunakan bus, kali ini aku berencana mencoba kendaraan darat yang lain. Kereta. Satu yang ku harapkan, aku tidak salah turun di stasiun yang tak ku kenali. Aku pun ingin rencana yang pernah ku susun saat pulang kampung pertamaku bisa terwujud, setidaknya beberapa list dalam What I Want This Year bisa terwujud.
Tiba-tiba bayanganku menuju pada comments dan wallpost di sebuah group yang aku ikuti di account facebook, iPA Satu Kita BeRsAma (PASKIBRA). Sebuah wallpost yang terpostkan sudah cukup lama dari anggota PASKIBRA yang kuliah di sebuah sekolah kedinasan di kawasan Bintaro. Disitu ia menulis apakah salah satu dari anggota PASKIBRA ada yang berminat untuk kuliah ditempatnya sekarang. Tempatnya kuliah memang terkenal dan menjadi dambaan tiap siswa yang baru lulus SMA bahkan mereka yang sudah beberapa tahun lulus SMA. Sahabatku yang sekarang membaca novel berjudul Bumi Cinta pun pernah bercerita bahwa ia menangis seharian karena tidak diterima di sekolah kedinasan itu. Bukan hanya dia, anggota PASKIBRA bernomor absen 3 yang menawarkan seperti itu, namun anggota PASKIBRA bernomor absen 4 yang kuliah di Jogja dan baru saja mendeklarasikan IP nya yang bernilai 3,6 juga mempromosikan tempat kuliahnya. Sebuah universitas negeri yang selalu di urutan 3 besar di Indonesia. Melihat wallpost yang seperti itu aku pun hanya berpikir kenapa aku harus mendaftar lagi sementara aku disini telah mendapatkan apa yang selama ini tak pernah ku bayangkan. Kampus, dosen, sahabat, dan lingkungan yang menyenangkan.
Jakarta. Itulah tempatku sekarang. Sebuah kota yang dulu hanya berada dalam angan-angan dan tak pernah ku bayangkan pula aku akan kuliah di tempat yang tak pernah sunyi ini. Ralat, mungkin sedikit terpikirkan untuk kuliah di kota ini, namun tak pernah bisa terbayangkan suasana kotanya. Jakarta Utara, awalnya aku pikir Jakarta bagian ini sama dengan bagian yang lain. Namun, setelah menjadi warga ibu kota yang belum ada setahun ini, aku bisa memberikan sedikit penilaian. Jakarta Utara, lebih tepatnya Sunter, daerah dengan sungainya yang hitam ditambah sekumpulan sampah yang mengambang di atasnya. Dan tiap kali hujan deras seharian maka jangan kaget kalau daerah itu dilanda banjir yang tingginya selutut orang dewasa. Aku pun hanya bisa berangan-angan, andai saja aku bisa menjadi DUTA LINGKUNGAN HIDUP, maka aku kan mencoba memperbaharui semuanya. Tak ada sampai yang mengambang, sungai yang jernih dan dihuni banyak ikan. Pasti menyenangkan. Dan semoga menjadi kenyataan.
Tiap pagi ku jalan dari kosan yang letaknya cukup jauh dari kampus. Tak begitu sulit jika kau ingin mampir sekedar minta minum. Karena hanya berjalan lurus dari jalan 2 arah, maka kau akan temukan sebuah warung penjual es yang dulunya hanya jual es kelapa muda namun sekarang lebih bervariasi dengan adanya es pop ice.
Ku berjalan beriringan dengan teman sekamarku yang berasal dari sebuah kabupaten di pulau Jawa bagian Timur. Ku tapaki jalan yang penuh lubang namun tak juga sepi karena tetap dilewati bermacam kendaraan bermesin maupun pejalan kaki. Tak jarang ku mendapati bunyi klakson yang begitu membisingkan telinga. Dan ketika ku telah berjalan beberapa menit, maka ku dapati mobil-mobil besar berupa container di sepanjang perjalananku. Container-container itu berisi part-part mobil seperti misalnya bagian pintu mobil. Ku sadar bahwa perjalanan ku melewati sebuah perusahaan mobil ternama di Indonesia. Satu hal yang tak ku suka sesudahnya adalah ketika menyebrang jalan 2 arah. Disinilah terlihat sifat orang Jakarta terlihat. Orang terlihat tak sabar saat mengendarai kendaraan. Dan begitu mengesalkan saat mereka membunyikan klakson dengan wajah yang penuh emosi.
Berbeda sekali dengan keadaan di kotaku, Purworejo, terlebih di daerah tempatku tinggal. Tiap pagi ku berjalan dari rumah menuju jalan yang dilalui kendaraan umum. Lengang. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Kebanyakan dari mereka justru para petani yang sedang melaksanakan tugasnya. Bersepeda bergerombolan beriringin. Ada juga yang hanya jalan kaki. Penuh senyuman. Hari yang penuh berkah, apalagi saat musim tanam dan panen tiba.
Kembali ke keadaanku sekarang. Berhasil menyebrang jalan 2 arah, maka aku akan memasuki kawasan kampusku. Sebuah kampus yang mungkin tidak terlihat sebagai kampus. Terbukti dari ketidaktahuan orang-orang disekitar sana yang masih juga tidak tahu keberadaan Politeknik Manufaktur Astra. Pernah suatu ketika, saat aku masih tinggal bersama saudaraku yang tinggal di Kebantenan. Dari rumah saudaraku menuju ke kampus aku harus naik kendaraan umum 2 kali. 05 dan 49, itulah angka yang menunjukkan tujuan dari trayek angkutan umum. Di 49 itulah aku menemukan fakta bahwasanya tak semua orang di Jakarta, utamanya Jakarta Utara, tahu bahwa ada sebuah perguruan tinggi di samping gedung Astra Internasional. Ku bisa mengatakan hal ini karena pada waktu itu sang sopir 49 menanyakan hendak kemana aku saat itu. Ke Polman Astra jawabku kala itu. Sang sopir terlihat bingung dan mengira-ira dimanakah letak kampus itu. Selama ini yang ia tahu di kawasan itu memang kawasan ASTRA, namun keberadaan Polman belum banyak yang tahu.
Gedung itu tinggi hingga aku pun harus mendongak untuk melihat seberapa tinggikah gedung itu. Itulah gedung B. Dibelakangnya terdapat sebuah gedung berwarna merah cream yang saat pertama kali aku datang terlihat masih direnovasi. Itulah gedung C, tempat anak-anak Polman bermain oli, listrik, dan semacamnya.
Waktu pertama kali masuk aku tak pernah menyangka kalau gedung-gedung itu adalah sebuah kampus. Aku masuk dari gedung B, menuju lantai 3 dan menemukan sebuah jembatan. Jembatan yang menjadi penghubung antana gedung B dengan gedung C. Dari jembatan aku langsung menemukan sejumlah mesin-mesin yang tak ku ketahui cara pengoperasiannya, bahkan fungsinya pun aku tak tahu. Mesin-mesin itu tersusun rapi di lantai 3 gedung C. Kemudian aku turun menuju lantai 2. Suara-suara itu mengagetkanku. Bukan suara mesin yang di lantai 3 karena ku tahu tak ada orang di antara mesin-mesin lantai 3.
Ku tengok ke bawah karena lantai 2 ternyata tak berlantai. Ya, jika bisa ku gambar, maka lantai 2 hanya berlantai U, sisanya bagaikan atap kosong untuk lantai 1. Dari lantai 1 itulah suara-suara bising itu ku dengar. Lagi-lagi ku lihat mesin-mesin yang terasa asing bagiku. Dalam benakku saat itu, waw, inikah tempatku kuliah? Agak sedikit rame ya?
Dan kini, setelah ku hampir setengah tahun disana, aku pun merasa nyawan. Terlebih setelah ku dipertemukan dengan teman-temanku.
Berbicara masalah teman, inilah bagian yang paling ku suka. Aku tak pernah menyangka sedikitpun memiliki teman-teman seperti mereka. Awalnya aku hanya dipertemukan dengan 9 orang yang membaur karena punya kesamaan misi. Namun, akhirnya aku dipersatukan dengan 30 orang yang tergabung dalam MI Family 2010 dan aku lah gong dari group tersebut. Aku lah si bungsu walau sebenarnya aku bukan lah yang termuda di antara semua anggota. Akan tetapi karena aku bernomor 31, maka anggap saja apa yang ku katakan itu benar.
Bersama mereka ku seakan tak merasa bahwa sebentar lagi aku akan berkepala dua. Ku bahkan terbawa ke usia dimana aku masih belum berkepala. Usia yang menunjukkan sebuah waktu dimana aku masih berseragam merah putih. Bagaimana tidak? Setiap hari yang ada hanyalah gelak tawa karena salah satu dari kita harus menjadi korban dan menderita.
Suzhuku / to be continued...
No comments:
Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^