Inilah aku...
Pagi ini, kala mentari tak terlihat karena tertutup gedung-gedung yang menjulang tinggi, ku duduk terdiam di antara mereka, orang-orang yang kesehariannya begitu akrab dengan hiruk pikuk kota ini. Sesekali, bukan, beberapa kali ku goreskan tinta hitam ini ke atas kertas yang masih belum ternoda. Terlihat aku yang begitu malas dengan kegiatanku saat itu bisa tercermin dari tulisan yang aku tulis.
“Apa itu perusahaan?”
“Bagaimana struktur sebuah perusahaan?”
Tulisan itu bak cerminan dari ketidakpahamanku tentang mata kuliah yang saat itu ku ikuti. Ku tak mengerti pertanyaan bodoh itu selalu hadir tatkala ku ikuti mata kuliah “Sumber Daya Manusia & Organisasi” itu. Ku coba dengarkan, namun, aku tak bisa. Aku benar-benar tak paham rangkaian kata yang keluar dari dosen yang sudah memutih rambutnya itu.
Akhirnya ku putuskan untuk tak memaksa telinga ini mendengarkan semuanya. Ku aktifkan mulutku sekedar bertanya pada teman di sebelahku, “Ngantuk nggak?” atau sekedar mengeluh tak penting, “Huh, masih lama!” tanganku masih sibuk menghiasi kertas binder yang hampir penuh, namun seketika ku berhenti menulis ketika telinga ini menangkap sebuah kata dari dosenku. “KARIER.” Mataku pun tertuju pada dinding yang jadi pantulan dari layar LCD. Melihat kata itu, pikiranku pun melayang jauh ke satu tahun yang lalu. Ku mencoba mengingat-ingat apa yang tak aku ingat hingga aku mengingat apa yang seharusnya masih ku ingat.
“Karier adalah pembawa sifat suatu makhluk hidup. Jika seorang pria (♂) normal menikah dengan wanita(♀) normal karier thalasemia, maka kemungkinan anak yang lahir menderita thalasemia.”
Begitulah sedikit yang ku ingat dari apa yang ku ingat-ingat. Penjelasan sebuah kata karier yang ku dapat aku duduk di bangku Sekolah Atas. Berhasil mengingat sedikit mata pelajaran Biologi itu, pikiranku kembali fokus pada masa dimana aku sekarang berada. Mataku yang tadi bekerja kini memaksa mulut ikut bekerja.
“Karier; rangkaian posisi yang berkaitan dengan kerja yang ditempati.”
“Waw, sungguh mengenaskan.” Pikirku saat itu. Sungguh amat sangat berbeda sekali apa yang aku dapat tahun lalu dengan apa yang aku dapat sekarang. Tak ingin berlarut-larut dalam kebingungan itu, ku lirik jam yang menempel di dinding tak bersuara itu. 08.59. Sial. Masih ada 1 jam tersisa. Ku arahkan pandangan ke sekelilingku. Tak ku sangka banyak dari teman-temanku memiliki kesamaan rasa denganku, tentu saja bukan rasa jeruk apalagi rasa mocca. Jenuh. Mereka membuat forum sendiri-sendiri. Ku lihat sekilas mereka tengah mendiskusikan soal matematika buatan temanku sendiri. Ada lagi yang usil mendorong bangku sebelahku. Atau satu lagi keusilan yang ku lihat; tas temanku digeser hingga si empunya akan kebingungan saat materi kuliah usai. Tapi, dari sekian yang ku lihat, ada juga temanku yang memperhatikan setiap kata yang diucapkan sang dosen. Bahkan sebagian dari mereka sibuk mencatat apa yang ia lihat di slide-slide yang ditampilkan dosen. Kadang mereka terliha begitu saat sang dosen mengganti slide yang belum sukses mereka catat. Dari sekian pemandangan itu, maka teman yang terkantuklah yang paling mengesankan. Rupanya mata kuliah yang satu ini bisa menjadi obat tidur yang sangat manjur.
09.49. Rupanya sang dosen mengerti benar kesuntukan kita, sehingga sebelum jarum pendek pada jam di dinding menunjuk tepat ke angka 10, materi sudah disudahi. Hatipun senang. Yey.
***
Hari berganti. Jum’at datang. Hari yang ku tunggu dan kebanyakan temanku pun menunggunya. Bukan karena hari ini tak menemui mata kuliah yang membuat otak tak bekerja normal, namun lebih karena hari ini mendekati hari Sabtu yang penuh ketenangan.
Semuanya berjalan lancar. Hingga virus 4.30 itu menyerang. Semua terlihat sibuk. Raut muka seketika berubah menjadi suram. Ruang 406 bak akuarium yang di dalamnya dimasukkan“janu” hingga semua ikan di dalamya pusing dibuatnya.
Ku pun tak ingin berlama-lama dibuat pusing dengan hal itu. Ku lihat sekilas jam yang tertunjuk di layar monitor komputer di depanku. 4.35. cukup sudah. Ku teruskan pun percuma.
Ku langkah kaki meninggalkan ruangan keramat itu, 406. Dengan langkah lunglai, kepala tertunduk, muka ditekuk, ku berjalan menuruni anak tangga yang tak ku ketahui jumlahnya itu. Tak penting berapa jumlahnya karena yang ku pikirkan saat itu program gagal yang baru saja ku coba buat. Sungguh mata kuliah yang satu ini bukanlah sebagai obat tidur yang mujarab. Mata kuliah ini ibarat obat bagi ikan-ikan di akuarium. Ku tak peduli apakah permisalan yang ku pakai itu tepat atau tidak. Yang jelas PEMOGRAMAN sungguh membuat kaki ini tak bisa berdiri tegak. Dan karena mata kuliah ini pula, perutku selalu mengajak dangdutan disaat pikiran tak tenang.
Sudahlah. Tak perlu tuk ditangisi program yang tak jadi itu karena kini Sabtu telah datang. Kini saatnya bersenang-senang. Aku pun mengajak teman kuliahku bernomor absen 3, Inggar, untuk jalan-jalan menikmati hiruk pikuk kota yang tak pernah sepi ini. Ku putuskan untuk pergi ke bangunan yang menjadi simbol dan menunjukkan kota manakah ini. Tugu Monumen Nasional. Sungguh menawan bagi kami yang memang belum pernah kesana.
Puas berkeliling dan merasakan betapa panasnya cuaca hari itu, kami pun pulang dengan rasa capek yang luar biasa. Bukan karena aku mengitari Monas selama 10 kali, namun lebih karena aku dan Inggar tak tahu harus pulang dengan apa kita kembali ke rumah kontrakan dekat kampusku yang penuh misteri itu. Kesana kemari kita berjalan. Dan karena mulut ini tidak membungkam, maka akhirnya kita menemukan orang yang untungnya ia tahu kemana kita harus pergi.
Jakarta memang berbeda dengan kota kelahiranku. Lingkungannya, keadaannya, dan tentu saja orangnya. Disini, di kota metropolitan ini, orang-orangnya seakan tak meng-orang-kan orang. Orang begitu tak sabaran. Lampu merah belum sempat berganti warna hijau, motor-motor sudah melaju dengan perlahan. Sungguh. Dan kini ketika ku duduk di dalam metromini dengan Inggar di sebelahku, ku merasakan kerasnya kehidupan Jakarta. Saat itu naiklah ia ke dalam metromini yang tak terlalu banyak penumpang. Ia bukanlah seorang pengamen. Ia seorang.....susah aku menyebutnya apa. Ia, badannya kekar, lengannya bertato, tangan kirinya memegang sebatang rokok yang hampir habis. Dengan tidak niatnya ia berceloteh di depan para penumpang, mengungkapkan kesusahan kehidupan di Jakarta. Dan menurutku, pada intinya orang itu hanyalah ingin sebagian kecil “uang yang ada di dompetku”. Ku tengok kantong dalam tasku. Ku temukan 2 koin dengan tulisan 100 dan 500. Aku pun dengan iklas memberikan kedua koinku itu dengan cara 100 aku pegang dan 500 ku serahkan ke Inggar. “Biar so sweet gitu,”pikirku saat itu.”Inggar ngasih, aku juga ngasih. Lagian 600 doang.”
Aku pun menjalankannya sesuai rencana. Dan ketika orang itu mendekat ke kursiku. Sungguh ku terluka saat ia mengembalikan uang 100 yang aku berikan.
“Astaughfirullah....”
No comments:
Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^