Hujan Pertama di Kotaku
Aku berdiri takzim disini, didepan kaca jendela lebar, di lantai 24, menatap tetes demi tetes air hujan yang membasahi bumi. Tiba-tiba seorang laki-laki merengkuh bahuku.
Aku mencoba bersenandung lirih. Semakin ku teruskan, semakin menambah perih hati ini. Namun, aku tak bisa meninggalkan kebiasaan tahunanku ini.
Tiba-tiba aku merasa hujan seketika berhenti. Tubuhku tak lagi basah terkena tetes-tetes air hujan. Ku tengok ke atas. Lagi-lagi dia, pria yang menahanku, kini berdiri di belakangku, dengan payung besar di tangan kanannya, sedang tangan kiri meraih pundakku.
“Hujan pertama tahun ini. Kau tak kan melakukannya lagi bukan?” tanyanya.
“Aku harus pergi.”
“Jangan pergi! Malam akan segera datang.” Lelaki itu menahanku, memegang erat pergelangan tanganku.
“Aku tak peduli!”
Aku pergi meninggalkan lelaki itu, menuju lift, menuruni satu persatu lantai apartemen. Aku terabas hujan yang semakin deras, menyebrangi jalan, dan mencoba menghentikan taksi yang berlalu lalang. Tak ada yang berhenti. Aku semakin kuyup dan aku tak peduli. Hingga sebuat taksi berhenti di depanku.
Aku menyebutkan alamat. Sopir taksi mengangguk pelan. Aku tak perlu menjelaskan dua kali. Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Memandang jendela yang basah terkena tampias hujan. Tak terasa pipiku pun mulai basah.
Jalanan masih basah saat sang sopir memperlambat laju kendaraannya. Aku sudah sampai.
“Hati-hati Bu. Hari semakin gelap. Hujan belum reda.” Kata sang sopir sesaat sebelum aku keluar dari taksinya.
Taksi menghilang. Aku berjalan perlahan. Menerabas hujan yang masih setia membasahi kota ini. Hujan pertama tahun ini, dan aku selalu melakukan ritual ini.
Aku duduk terdiam. Membiarkan langit menghujani hati ini. Ku tengok gundukan tanah di depanku. Masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, diam membisu.
Tik.. Tik.. Tik..
Bunyi hujan di atas genting..
Aku mencoba bersenandung lirih. Semakin ku teruskan, semakin menambah perih hati ini. Namun, aku tak bisa meninggalkan kebiasaan tahunanku ini.
Airnya turun, tidak terkira..
Cobalah..
Tiba-tiba aku merasa hujan seketika berhenti. Tubuhku tak lagi basah terkena tetes-tetes air hujan. Ku tengok ke atas. Lagi-lagi dia, pria yang menahanku, kini berdiri di belakangku, dengan payung besar di tangan kanannya, sedang tangan kiri meraih pundakku.
“Ayo pulang. Sampai kapan kau akan melakukannya? Aku lelah dan aku tahu kau lebih lelah. Sebaiknya kau tak lagi mengulanginya di tahun depan, tahun depan, dan tahun depannya lagi. Pikirkan bayi yang ada di kandunganmu. Aku tak mau anak kita kelak tahu kebiasaanmu yang satu ini.” lirihnya padaku.
Aku dibantunya berdiri, lantas jatuh ke pelukan lelaki itu, lelaki yang kini telah menjadi suamiku. Meski ia tahu kebiasaanku ini, ia tak lantas meninggalkanku. “Maafkan aku.”
“Aku tahu kau tak bisa lupakan kenanganmu waktu kecil. Tapi ku rasa, ibumu juga tak akan menyukainya kalau kau bersikap seperti ini terus. Ayo pulang!”
Aku berjalan beriringan dengan suamiku. Perlahan meninggalkan pusara ibuku. Sudah bertahun-tahun lamanya ibuku meninggal dunia akibat peristiwa itu. Peristiwa yang takkan ku lupa sepanjang hayatku.
Kala itu hujan pertama di kotaku. Aku yang masih berusia lima tahun menatap indah bulir bulir air yang mengalir dari balik kaca jendela rumah. Ibuku melarangku keluar rumah untuk bermain hujan, takut sakit. Ibu lantas menyanyikan lagu 'Tik Tik Bunyi Hujan' demi melihat kebahagiaanku menatap hujan. Tiba-tiba...
Duerrrrrrrrrrr..
Petir menyambar, seketika itu sekawan pria bersenjata masuk ke dalam rumahku. Aku yang saat itu hanya berdua dengan ibuku merasa ketakutan. Mereka adalah perampok yang menjadi buronan di kotaku. Aku tak pernah mengira jika mereka bisa sampai di rumah mungilku.
Ku lihat ibu mulai memberontak, tak membiarkan para penjahat itu mengambil harta sedikit pun di rumah kami. Sayangnya ibu terlalu lemah dan pria-pria itu tak mengenal belas kasihan. Mereka memukuli ibu. Darah berceceran dimana-mana. Aku, aku hanya bisa teriak, dan tiba-tiba gelap. Aku pingsan.
Ibuku meninggal. Sejak saat itu, aku selalu mengunjungi makam ibu saat hujan pertama di musim penghujan turun. Aku menyanyikan lagu seperti ibu menyanyikan lagu untukku.
Aku sungguh membenci hujan pertama di kota ini.
:( sediiihhh...
ReplyDeleteagak panjangin dikit terus kirim ke koran, giiih
wehh...bahasanya sudah mulai berkembang...lanjutkan :d
ReplyDelete