Merindu Hujan
Desember. Tahun segera berganti. Kemarau tak lama lagi akan pergi. Mungkin nanti aku akan merindukan mentari. Namun, kini aku sangat menginginkan tetesan air hujan yang membasahi bumi.
Bekasi. Sudah setahun lebih aku menghuni kota ini. Ah~ tetiba aku mengingat betapa banyaknya gambar meme yang beredar mengenai Bekasi. Sungguh kota yang menawarkan sejuta sensasi. Aku pun merasakan sendiri ‘sensasi’-nya kota Bekasi.
Musim panas di kota Bekasi benar-benar membuatku merindukan hujan. Sejak awan tak lagi mengeluarkan rinai hujan, sejak itu pula Bekasi mulai menghangat. Hangat, hingga akhirnya pada titik puncak, panas. Benar-benar panas. Aku bahkan hampir percaya pada omongan orang kalau Bekasi telah terpisah dari Bumi dan semakin dekat dengan matahari. Setiap kali keluar ruangan selalu terdengar keluhan panas, panas, dan panas. Peluh pun menetes tak tertahankan. Aku benar-benar rindu hujan. Saking rindunya, sering kali aku bertanya pada alam, ‘Kapan hujan akan datang di kota ini? Apakah hujan sungguh enggan singgah sebentar disini? Setiap kali awan hitam datang, selalu saja hanya membawa angin’.
Hujan di Bekasi. Meski aku sungguh merindukannya, nyatanya aku tak merasakan hujan pertama di kota ini. Aku justru tengah menikmati hujan di kota lain.
***
Angin berhembus dengan kencangnya. Aku diam, perlahan menutup mata. Ku biarkan angin menerpa tubuhku yang sudah lelah berjalan menanjak. Ku harap dia akan membawa tetesan air hujan dari awan yang sudah menghitam.
Sungguh nikmat merasakan hembusan angin, walau sekejap. Hujan masih belum datang. Aku kembali berjalan. Angin tadi sedikit banyak memberikanku kekuatan untuk terus melangkah.
Di saat aku (kembali) merasakan lelah, tetiba rintik-rintik air itu perlahan membasahi tubuhku. Dingin. Indah. Bahagiaku membuncah. Hujan yang aku rindukan, kini ku dapatkan disini. Di kota ini. Di tempat ini.
Perjalanan menuju puncak Gunung Prau, Wonosobo. Disanalah aku melepas kerinduanku akan hujan tahun ini. Sungguh menyenangkan membiarkan air menghujani tubuh yang kelelahan ini.
Namun, demi sesuatu yang berharga bernama kesehatan, aku membuka jas hujanku dan mengenakannya. Meski sekejap, tetiba aku mengingat kejadian saat itu.
***
Bogor. Sebagai kota hujan, maka ia tak akan lelah melepaskan butir-butir air dari langit.
Begitu pula saat pertama kalinya aku datang di kota itu, tepatnya di Megamendung, tahun 2010 silam. Saat itu aku berstatus mahasiswa yang telah berhasil melewati masa PPK (Program Pengenalan Kampus) dan tengah menjalani Outbond.
Seperti yang sudah diinstruksikan sebelumnya, kami para mahasiswa diwajibkan membawa jas hujan. Dan benar saja, ketika kami baru saja turun dari angkutan yang membawa kami di bumi perkemahan, kami disambut dengan hujan.
Disambut hujan :) |
Singkat cerita, dalam kegiatan outbound tersebut, kami dituntut untuk bisa saling kerjasama dengan cara memecahkan tantangan dalam setiap game yang diberikan.
Aku masih ingat saat itu. Aku yang tergabung dalam KELOMPOK 3 tengah berdiri takzim menunggu giliran di post ‘Mission Impossible’.
Hujan. Baju basah. Jas hujan yang dipakai tak cukup melindungi dari tetesan air hujan selama petualangan. Apalagi sepatu. Jangan tanya keadaannya bagaimana setelah seharian dipakai terus menerus dengan membawa genangan air hujan di dalamnya.
Kami, kelompok 3, tetap berdiri menunggu sambil memperhatikan kelompok yang saat itu tengah menguji kerjasamanya di dalam game bernama Mission Impossible.
Di saat itu pula, aku merasakan ketidaknyamanan. Ada sesuatu yang menempel di leherku. Ku pikir tanah yang terciprat air hujan. Namun, ketika akan ku bersihkan, sesuatu itu sangat susah ku ambil. Aku tak berpikiran aneh-aneh. Ku paksa saja sesuatu itu hingga bisa lepas dari leherku. Dan ketika ku lihat, sesuatu itu adalah p-a-c-e-t.
Beruntungnya aku saat itu karena pacet belum terlalu banyak menghisap darahku. Ukurannya masih kecil. Aku pun masih bisa menahan kepanikanku hingga hanya teman yang berdiri di samping kanan dan kiriku lah yang tahu.
Kejadian itu begitu membekas. Bahkan ketika aku saat ini menceritakannya, tanganku merinding membayangkannya.
Pun demikian saat aku mengenakan jas hujan untuk melindungi tubuhku di pendakian Gunung Prau awal November lalu. Aku sedikit ngeri membayangkan binatang itu kembali menghisap darahku.
Grrrrrrr…
Jumlah kata : 619 (tidak termasuk judul dan keterangan gambar)
Jadi inget kalau pas kemah bakti SMA, buper Kaliurang diguyur hujan deras, dingin bangeeeet
ReplyDeleteTapi meski dingin karena hujan, pasti selalu ada cerita menyenangkan di dalamnya :')
Deletehuwaaa.... saya geli banget sama lintah. kalo saya, mungkin udah menjerit2 hehe...
ReplyDeleteEh saya baru inget klo nama lain pacet itu lintah.
DeleteTadinya saya mau nambahin foto lintah, tp pas search kok merinding hiiii
Waduh lintah,,,, geli-geli gimana gitu...
ReplyDeletepacet sama lintah sama to mbak? baru ngeh. kirain beda... malah OOT
ReplyDeleteingin lari sekencang-kencanganya bersama angin dalam hujan.. :D #nggaknyambung sih.. :D
ReplyDeleteHihi... Aku belum setahun tinggal di Bekasi aja udah gak betah :D.
ReplyDeleteWah... Serem juga ya lintahnya... Hiyy
Jadi, ceritanya seneng kan doaku hujan pas naik ke guung Prau dikabulin??
ReplyDelete:D