Friday, December 24, 2021

[Resensi] Bedebah di Ujung Tanduk - Tere Liye

Judul : Bedebah di Ujung Tanduk
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Sabak Grip Nusantara 
Tebal Buku : 415 hlm; 20,5 cm
Kota Terbit : Depok - Jawa Barat 
Tahun Terbit : 2021
Harga : Rp. 89.000,-
Sinopsis Buku:

Di Negeri Para Bedebah, pencuri, perampok, bagai musang berbulu domba. Di depan wajah mereka tersenyum penuh pencitraan. Di belakang penuh tipu-tipu.

Di Negeri Ujung Tanduk, pencuri, perampok, berkeliaran menjadi penegak hukum. Di depan, di belakang, mereka tidak malu-malu lagi.

Tapi setidaknya, Kawan, dalam situasi apapun, petarung sejati akan terus memilih kehormatan hidupnya. Bahkan ketika nasib di ujung tanduk. Dia akan terus bertarung habis-habisan bersama sahabat sejati. Karena esok, matahari akan terbit sekali lagi. Bersama harapan.


***

Apa ekspektasimu terhadap buku ini? Kalau aku, ku pikir Bujang akan membantu Thomas menyelesaikan konflik di negara asalnya. Dan ternyata tidak sesuai ekspektasi, haha. Bujang memang membantu Thomas, tapi tidak di negara Thomas dan tidak pula di keluarga shadow economy.


Thomas baru saja menyelesaikan transaksi keuangan terhebat yang pernah ia lakukan. Ada kebanggaan tersendiri ketika dia bisa berhasil menuntaskan transaksi yang rumit. Akan tetapi, dia tidak sadar bahwa transaksi tersebut sangat berbahaya. Ia telah membantu salah satu keluarga shadow economy untuk membeli pegunungan. Yang ia tidak tahu, di pegunungan itu ada satu kelompok yang sudah ada sejak dulu, yang tak ada satu orangpun yang mengusik, yaitu kelompok Teratai Emas. Thomas pun diburu oleh kelompok tersebut. Sangat kebetulan, saat itu ia tengah bersama Bujang, Tuan Salonga, dan Junior. Mereka pun kembali menyatukan kekuatan dan mengumpulkan bala bantuan. Di petualangan kali ini, turut hadir Nyonya Ayako, istri dari Tuan Yamaguchi, tak ada yang mengira ternyata dia adalah seorang ninja hebat.

Thursday, December 23, 2021

Pengalaman Tes Mantoux di Puskesmas

Bulan Oktober lalu, salah satu anggota keluarga yang tinggal serumah denganku, dinyatakan positif TB. Umurnya saat itu masih 5,5 tahun. Saat mengetahui hal tersebut, aku bingung, kalut, takut, karena bagaimanapun aku punya anak yang usianya 2,5 tahun dan sangat kontak erat. Wajar dong ya, kalau aku takut anakku ketularan, apalagi BB nya seret dan makannya susah. Waktu itu aku kepikiran untuk screenning anakku juga, tapi ternyata hanya sebatas wacana. Seiring berjalannya waktu, aku berdamai dengan keadaan, dan yaudahlah, tanpa ada tindak lanjut.


Bulan Desember, tanggal 5 hari Minggu sore, anakku mulai demam, lanjut batuk dan pilek. Tanggal 11 ingus nya sudah mulai menguning kental. Ku pikir sudah mau sembuh, ternyata belum. Tanggal 13 aku ketularan. Aku demam, batuk, dan pilek, tapi sudah mendingan karena minum obat dari dokter. Tanggal 17, anakku kembali demam selama 3 hari, dan masih batuk dan pilek. "Harus ke dokter nih!" kataku. Tapi karena saat itu aku juga sedang kepikiran ibuku yang sedang rawat inap, akhirnya ku tunda dulu.


Aku baru ke puskesmas hari Senin, tanggal 20 Desember. Saat itu anakku sudah tidak demam, tapi pileknya masih dan sesekali batuk. Aku juga mengeluhkan tangan anakku yang gatal. Bidan yang memeriksa menyarankan untuk tes darah karena dikhawatirkan terkena DBD, apalagi kasusnya memang sedang tinggi.


Anakku hebat sekali, saat diambil darahnya dia tidak menangis. Dengan berani pula dia melihat jarum suntik yang menusuk tangannya. Alhamdulillah hasilnya masih di angka normal. Tapi tetap dirujuk untuk bertemu dengan dokter umum.


Saat bertemu dokter, kami ditanya apakah ada riwayat kontak TB? Aku jawab ya. Dokter pun menanyakan ke rekannya, apakah bisa jika anakku di tes mantoux. Ada riwayat kontak TB dan sudah batuk pilek selama 2 minggu.


Ku semangati anakku karena lagi-lagi jarum suntik harus menembus kulitnya. Alhamdulillah dia sangat kooperatif sekali. Dia terlihat menahan tangisannya. Ku bilang padanya, kalau sakit nangis aja nggak apa-apa. Akhirnya pecah juga tangisannya setelah tangannya selesai disuntik. Kami diminta untuk datang lagi hari Kamis untuk melihat hasilnya.

sesaat setelah disuntik

Kali ini, aku sudah di level pasrah. MISAL, dia ternyata positif, ya sudah, kita obati. Mau nunggu sampai kapan hingga berani untuk ke dokter? Sampai berat badannya di garis merah? Jadi ya, sebenarnya aku sedikit bersyukur dipaksa keadaan untuk melakukan tes mantoux. Oia, karena kami pakai BPJS, tes ini gratis.


Setiap harinya kuperhatikan tangan yang dilingkari hitam, bekas suntikan. Alhamdulillah tidak terlihat ruam atau apapun. Meski demikian hidungnya tetap meler.


Hari Kamis kami kembali ke puskesmas. Anakku tuh bersemangat sekali. Entahlah dia sangat excited ketemu dokter atau dia senang karena biasanya ditinggal kerja, kali ini diajak jalan-jalan (ke puskesmas).


Alhamdulillah dokter menyatakan anakku negatif TB dan ada kemungkinan pileknya itu karena alergi. Karena ditunggu berhari-hari pileknya tetap bening dan juga, selama di puskesmas hidungnya sama sekali tidak meler. Kami pun diberikan obat alregi. Semoga cocok dan segera sembuh pileknya. Bangkit lagi selera makannya. Tambah lagi berat badannya. Aamiin.

hampir 72 jam setelah disuntik

Sunday, November 14, 2021

Family Gathering ke Owabong Pubalingga

Untuk pertama kalinya, setelah 4 tahun aku bergabung dalam tim, instansi tempatku bekerja mengadakan Family Gathering. Sebenarnya sudah sejak Maret 2020 kami mengagendakan kegiatan ini, tapi harus rela ditunda karena pandemi. 

 

Tujuan kami ke Owabong, Purbalingga. Perjalanan sekitar 3,5 - 4 jam. Jauh ya. Satu hal yang ku pikirkan adalah gimana menjaga mood anakku selama perjalanan. Kalau minta turun kan repot. Selama ini kami jarang pergi-pergi jauh.


Seminggu sebelumnya aku sudah sounding ke anakku, seperti merapalkan mantra setiap hari.

Besok Minggu, kita naik bus. Nanti ada banyak orang, ada budhe pakde, mbak, adek, mas. Nggak usah malu. Nanti kalau bosan, nyanyi aja, kalau lapar makan, kalau ngantuk tidur.

Alhamdulillah, berkat mantra ini, semua berjalan lancar. 


Pukul 06.30 WIB kami sudah tiba di titik kumpul. Anakku sangat bersemangat.


Kami berangkat pukul 07.30 WIB dan sampai Owabong sekitar pukul 11.00 WIB. Sungguh tempatnya sangat luas sekali dan juga banyak pengunjung.


Bingung mau milih yang mana, kami menuju Coralia 3, yang ada kolam air hangatnya. Anakku senang sekali diajak main air seperti ini.

Capek berenang, kami beralih ke terapi ikan. Karena sudah siang, kami harus pulang.


Thursday, October 28, 2021

Worksheet Anak

Orang-orang beli worksheet untuk anaknya agar mereka bisa menggunakan berulang kali, jadi bisa awet dan hemat karena biasanya anak belum bosan jika baru sekali main. Tapi sepertinya tidak berlaku untuk anakku.


Bagi dia, worksheet dengan berbagai macam tema, semuanya bertema menggunting. Jadilah semua kertas dikeluarkan dan minta digunting. Kadang pengen gunting sendiri, lebih sering minta diguntingkan karena gambarnya kecil-kecil.


Berantakan semuanya, worksheetnya, kertas tersebar kemana-mana. Tapi tidak apa-apa. Mungkin memang lagi suka menggunting, mungkin belum waktunya bisa menggaris mencocokan benda atau menggunakan spidol mengikuti garis. Tidak apa-apa.

Monday, October 11, 2021

Main Jepitan Baju

Aku termasuk orang tua yang mudah termakan iklan mainan anak, apalagi yang ada embel-embel bisa meningkatkan ini dan itu. Selain iklan, juga tertarik dengan DIY mainan yang diklaim lebih murah daripada beli jadi.


Akan tetapi, ya gitu deh. Sudah beli-beli, tapi eksekusi nya tak sesuai iklan dan video. Seringkali anaknya B aja lihat alat dan bahan yang disediakan. Aku jadi yaudah lah, mau gimana lagi. Meski demikian, aku nggak kapok beli mainan. 


Beberapa bulan yang lalu aku belikan stik eskrim dan jepitan baju. Banyaklah ya video anak bermain dengan peralatan ini. Anakku waktu itu ku ajak menjepit sesuai warna benda yang sama, tapi sepertinya dia kurang suka. Akhirnya jepitan teronggok begitu saja.


Pagi ini, tanpa instruksi apapun, dia buat ini. Entahlah apa imajinasinya, mungkin eskrim (?)


Saturday, September 25, 2021

Saat Kamar Berantakan

Anakku sudah 2,5 tahun. Ingin rasanya membuatkan jadwal harian untuknya, agar aktivitas bermain ada unsur belajarnya. Aku sudah nyicil cari berbagai jenis kegiatan dan beli tray/nampan untuk meletakkan mainan. Tapi apa daya, aku belum bisa menjalankan rencanaku.


Melihat kamar yang sudah sesak, penuh dengan barang dan mainan, rasanya udah bingung duluan mau mulai atur dari mana. Idealnya, mainan yang di-display adalah mainan yang dijadwalkan untuk seminggu kedepan (jadi tidak semua mainan dikeluarkan karena anak jadi tidak fokus karena terlalu banyak mainan). Tapi aku bingung, mainan yang nggak ada dijadwal mau ditaruh mana? Ingat, aku belum tinggal terpisah.


Pada akhirnya, mainan tertumpuk di pojokan. Anakku main ya sesuai kehendaknya. Main ini sebentar, lanjut main itu. Jadilah semua berhamburan.


Aslinya nggak apa-apa kamar berantakan. Tapi kalau kondisi capek, apalagi sudah jam tidur tapi anak masih mau main, apalagi main yang berantakan macam playdoh kering, rasanya HIH. Tapi yaudahlah.


Bangun tidur, lihat kamar berantakan oleh mainan, rasanya males banget. Tapi, saat aku membereskannya dengan sadar, ternyata, rasanya menyenangkan. Mengembalikan buku ketempatnya, membereskan puzzle, mengumpulkan playdoh. Ada rasa syukur, 'Alhamdulillah, anakku sehat, mainan yang ku belikan, dimainkan dan bermanfaat.'


Sabar. Sabar. Semoga dalam waktu dekat bisa pindah rumah sehingga bisa lebih leluasa mengaturnya.

Tuesday, September 21, 2021

Menjadi Dokter

Pagi tadi, saat berjalan menuju ruang kerja, di depan ku ada dua orang dokter koas memakai baju warna warni, langsung membayangkan anak gadisku kelak akan memakainya juga. Mata ini jadi berkaca-kaca. Kayak "Hah, anak yang ku lahirkan, kini sudah besar."

Aku tidak menargetkan anakku untuk jadi dokter. Biarlah kelak dia menentukan sendiri mau jadi apa. Biaya ada, otak mumpuni, tapi kalau hati tidak terpanggil, pasti akan berat tuk menjalaninya.


Yang bisa ku lakukan sebagai orang tua, hanyalah mendoakan, memfasilitasi, memotivasi, agar ia semangat belajar, mengejar apa yang dia inginkan.

Friday, September 10, 2021

Menggunting dan Menempel

Beberapa waktu yang lalu, aku beli baju yang berhadiah worksheet. Baju belum pernah dipakai dan worksheet pun juga belum serius dimanfaatkan. Malam ini aku coba salah satu lembar kerja menggunting dan menempel. Alhamdulillah, bocahnya tertarik.

Semua berjalan lancar. Anakku semangat menempel, bahkan pengen ikut menggunting juga.

Kurang satu bagian (kaki kiri), dia meminta jeda. Dia ingin memainkan mainan yang lain.

Tak lama, dia bisa menyelesaikan semua bagian. Dia pun membalik lembar kerja dan mengoleskan lem. 'Buat apa?'

Ternyata dia kepikiran untuk menempel hasil kerjanya di dinding.

Setelah itu, dia melepaskan satu persatu bagian yang ada di lembar kerja, untuk kemudian ditempel ke lantai. 'Entah apa maksudnya kali ini?'


Semua bagian sudah tertempel di lantai. Kemudian dia lepas lagi dan menjadikannya sebagai perban.

Sekian.

Hasil observasi:
  1. Anak ini sudah paham, bagian ini harus dipasang dimana, bagian itu dimana.
  2. Ada keinginan kuat untuk meletakkan bagian agar tidak keluar dari garis. Tapi manajemen penggunaan lem nya masih kurang, kadang terlalu sedikit, kadang terlalu banyak, sehingga dia kesulitan untuk bisa memasang bagian dengan tepat. Awal-awal dia masih bisa santai "Ini gimana sih Ibuk?" lama-kelamaan dia frustasi, lalu teriak dan menangis.
  3. Berinisiatif tinggi dan kreatif. Aku tidak kepikiran kalau hasil kerjanya bisa ditempel di dinding dan sesudahnya bisa dijadikan perban.
  4. Rentang waktu fokus, menurutku sudah lumayan. Nggak begitu gampang terdistraksi.

Thursday, September 09, 2021

Main Dimana?

 

Main kotor-kotoran kok di kamar sih?

Ya maklum lah, kami tinggal di rumah orang tua yang sangat menjunjung tinggi nilai kebersihan, kerapian, dan keindahan. Ada barang-tidak-sedang-dipakai tidak berada pada ditempatnya, langsung dibereskan.


Oleh karena itu, demi menjaga kuping agar tidak panas, hati tidak berdebar kencang, dan tentu saja bisa bermain dengan tenang dan nyaman, kami memutuskan untuk bermain di dalam kamar saja. Di dalam kamar, ku bebaskan anakku bermain apa saja, tentu tetap dalam pengawasan.


Coret-coret di tembok, di kasur, di tangan, di kaki, silahkan. 

Berlatih menggunting tapi hasil guntingannya berantakan, nggak apa-apa. 

Main pasir sampai pasirnya menyebar ke karpet, it's okay.


Segala yang kotor, bisa dibersihkan, segala yang berantakan, bisa dirapikan, meski tidak harus saat itu juga.


Di usia anakku yang hampir 2,5 tahun, dia suka sekali memainkan banyak hal. Imaginasinya mulai berkembang. Yang cukup terasa, emosinya sedang meledak-ledak. Mainan digeser sedikit dari tempat semula, dia bisa marah tidak terima. Semua harus seijin dia dan seringnya dia akan menolak kalau mainannya akan dibereskan (meski sudah tak dimainkan). Ya sewajarnya anak seusianya lah.

Mengajari anak beberes, tentu saja ku lakukan. Tapi ya jangan pasang ekspektasi terlalu tinggi, berharap selalu bersih dan rapi. Selama mata anak terbuka, maka ia akan selalu berpikir 'main apa nih sekarang?' Dan aku benar-benar nggak masalah atas kondisi seperti ini. Yang aku permasalahkan adalah ketika baru mulai bermain sudah terdengar peringatan "Awas ya, nanti harus diberesin. Kalau enggak, nggak usah main lagi, mainannya dibuang aja."

Saturday, September 04, 2021

Berhenti Insecure Soal Perkembangan Anak

Lihat ibu-ibu posting anaknya di media sosial bikin insecure ya Bunda. Anak usia segini sudah bisa ini dan itu. Sementara anak kita gini-gini aja. Auto pengen beli mainan edukasi nggak sih? Begitu dibeliin, eh anaknya nggak tertarik. Yah 😌


Tenang Ibu-ibu, Anda tidak sendirian, karena aku pun demikian. Apa jangan-jangan cuma aku aja. Hahaha.


Walaupun sudah melekat dalam hati untuk tidak membandingkan anak sendiri dengan anak orang lain, tapi tetep aja ya kan.


Walaupun sadar kalau yang diposting di media sosial hanya yang baik-baik saja, tapi tetep aja ya kan.


Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Sabar dan fokus pada anak kita. Fokus pada apa yang sudah anak kita bisa, bukan pada apa yang belum ia kuasai. 


Ada anak usia 3 tahun sudah bisa baca ABC dan belajar mengaji, sementara anak kita dikasih buku aja kabur-kaburan. Sabar, semua ada waktunya, mungkin memang belum saat nya. Seperti dulu ia bayi, langkah pertama setiap anak kan beda-beda, ada yang 10 bulan bisa jalan, ada yang 12 bulan, 15 bulan, dan seterusnya.


Intinya, gitu aja sih 😋


Btw, hari ini main pewarna lagi dan lumayan takjub dengan karyanya. Lumayan lah anak 2 tahun 5 bulan sudah bisa bikin garis lurus begini. 


Gimana? Bikin insecure nggak? Biasa aja? Anaknya malah udah bisa menggambar, mewarnai? Yaudah nggak apa-apa, kan fokus nya pada anak sendiri.


Nih, anakku juga udah bisa mewarnai, lututnya sendiri dan lutut ibunya. Wkwkw. 

Friday, September 03, 2021

Kertas 'Perban'

Sudah jam 22.00 WIB, mata sudah sepet, tapi dia belum mau tidur. Ada saja yang ingin ia mainkan.


Ia menemukan papan puzzle yang isinya sudah entah kemana. Papan tersebut terbuat dari kertas. Karena tak ada puzzle yang bisa ia pasang, dia copoti pinggiran papan. 

'Eh kok kayak perban ya, pura-pura sakit ah, entar di perban.' begitu  batinnya. 

Ia mulai memasang perban 'ala-ala' ke sikut dan ke lutut. 

'Eh kok nggak nempel ya, pakai lem kali ya.' 

"Ibu, lem nya dimana?" ia bertanya setelah mencoba mencari tapi tak menemukannya. 

Setelah mendapatkan lem, dia pun mengoleskan ke kertas 'perban' dan ditempelkan ke bagian yang luka, ke sikut, ke lutut dan ke dahi. Nempel sih, tapi gampang lepas. 


Tak lama kemudian, ia tak kuat menahan kantuk nya, akhirnya tidur. 

Sekian. 

Bebas Berkreasi

Dear Anakku, 

Berkreasilah sesuka hatimu.

Lakukan apapun yang bisa membuatmu senang, selama masih di jalan yang benar.




Yang kotor masih bisa dibersihkan.

Yang basah masih bisa di lap.

Buatlah kenangan indah sebanyak-banyaknya.

Selama Ibu mampu, Ibu akan terus mendukungmu.

Friday, July 02, 2021

Idealisme tentang Anak Makan

 

Dulu, aku lihat anak kecil makan,

"Dih, makan kok cuma nasi aja."

"Dih, makan kok cuma sama telur aja, kalau gak dadar, ceplok."


Begitu punya anak, ambyar!

"Masih mending itu pake telur, ada karbohidrat, lemak, protein, lengkap."

"Masih mending makan nasi aja, daripada nggak ada yang dimakan sama sekali."


Anak picky eater / small eater itu nyata adanya, apalagi kalau orang tuanya bukan tipe doyan makan, jajan, dan ngemil. Berlaku juga buat orang tua yang malas mengenalkan anak berbagai macam rasa, termasuk tidak sabar menunggu anak menyukai makanannya. Ingat, anak butuh 10 - 15 kali percobaan sampai akhirnya dia menentukan apakah dia suka atau tidak makanan itu. Jadi kalau baru pertama kali memberikan anak udang, tapi langsung dilepeh, bukan berarti dia nggak suka. Dia butuh dikenalkan lagi. Biasanya nih, orang tua nggak sabar, akhirnya makanan yang diberikan ya itu-itu saja.

Monday, May 10, 2021

Anakku Cacingan!

Malam ini kami main seperti biasa hingga tiba-tiba anakku merasa tidak nyaman di area pantat. Ku pikir gatal karena kerutan popok, lantas ku berikan minyak. 


Tak lama kemudian, ia merasa gatal lagi. Kali ini ku perhatikan dengan lebih seksama, tak ada bentol atau apapun disana.


Tak lama kemudian, ia mulai rusuh kembali dengan popoknya. Kali ini tebakanku popoknya nyelip, ternyata tidak.


Ia kembali mengeluh. Apa mungkin ada ruam ya? Ku coba lihat bagian anus, tak ada lecet sejauh mata memandang. Tapi untuk jaga-jaga, ku olesi saja obat ruam.


Ternyata semua itu sia-sia. Anakku masih merasa nggak nyaman. Aku mulai kepikiran, apa iya cacingan? Tapi gimana ngecek nya.


Anak ini mulai frustrasi karena gatal yang tak kunjung reda. Aku juga mulai stres karena belum menemukan pemicunya. Apalagi dia tak suka aku mengecek bagian anus. Dia menutup rapat akses menuju kesana.


Aku sudah mulai emosi. Untungnya suami pulang teraweh di saat yang tepat. Saat aku berhasil meraih area tersembunyi itu, saat aku menemukan sesuatu disana, saat itu pula suami datang.


'Sesuatu' itu seperti benang putih. Ku pikir sisa-sisa obat ruam yang ku oles tadi, tapi setelah ku perhatikan (bersama suami), ternyata putih-putih itu bergerak (dan posisi nya masih di ujung jari ku).


Fix, ini cacing! Antara geli, jijik, sekaligus lega. Akhirnya biang keladi nya ketemu. Suami langsung bergegas pergi ke apotek untuk beli obat cacing. Sementara itu aku mulai ceramah ke anakku untuk cuci tangan dan kaki sebelum makan. 


Kejadian ini tentu jadi pelajaran untukku pribadi untuk lebih memperhatikan kebersihan anak. 


Wednesday, April 28, 2021

Drama Menyapih Part 4 : Alasan

"Disinilah tempat aku memulai dan disini pula aku akan mengakhirinya!", salah satu alasan yang pada akhirnya aku nekat untuk mengakhiri proses mengasihi ini.


Masih inget banget gimana perjuanganku dua tahun yang lalu, disini, di kamar ini. Daster rembes kena ASI, hasil pompa warna pink, gumoh dan muntah, dan segala memori sebulan pertama setelah melahirkan.


Aku sadar diri, aku nggak bisa menyapih dengan cinta, yang mana menunggu anaknya berhenti sendiri. Kenapa? Karena aku nggak bisa kayak orang-orang yang betah menyusui 30 menit, 1 jam, bahkan 3 jam. Aku lemah soal itu. Aku sadar bahwa metode ini nggak bisa ku lanjutkan. Proses ini pasti akan tetap ada "tangisan". Bagaimana pun, putus dari hal yang membuatnya nyaman selama 2 tahun, pastilah sangat berat, dan menangis adalah hal yang wajar.


Ku pikir, daripada menangis di rumah mertua, lebih baik menangis di rumah orang tua. Di rumah orang tua, ketika anakku nangis, maka akan dibiarkan saja, memahami bahwa ini adalah proses yang harus dilalui. Sementara di rumah mertua, saking sayangnya mereka ke cucu, nggak tahan dengar tangisan, mereka akan ambil anakku untuk ditenangkan. Itulah yang aku takutkan. Aku nggak mau hal itu terjadi.


Menyusui adalah ikatan antara ibu dan anak. Ketika ingin menyudahinya, maka pastikan keduanya menyepakatinya. Biarlah dua-duanya menangis, hingga keikhlasan itu akan tercapai, dengan catatan si Ibu jangan kalah dengan tangisan anak, harus tetap konsisten untuk tidak memberikan ASI. Nah, kalau proses itu ada intervensi, kayak ada yang gantung gitu nggak sih. Takutnya, anak jadi benci ibunya dan lebih memilih kakek neneknya.


Jadi ya, menangis bersama adalah solusinya. Yang membuatku makin mantap dengan cara ini adalah adanya metode cry it out pada teknik pelatihan tidur (sleeping training), yakni membiarkan anak menangis hingga akhirnya ia tertidur. Artinya, menangis adalah sesuatu yang wajar. Tapi jangan lupa berikan alasan kenapa dia harus berhenti. Mungkin memang tidak membohongi dengan plester, pahitan, dan sebagainya, tapi kalau dipaksa berhenti tanpa tahu kenapa, bisa jadi ia merasa terluka.


Sudah sebulan dari malam itu, tapi kalau ingat prosesnya, masih saja ingin menangis, bagaimana ia meronta, meminta, dan menangis. Tak mudah, tapi bisa terlewati.



[Resensi] Lumpu - Tere Liye

Judul : Lumpu

Penulis : Tere Liye

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 376 hlm; 20 cm
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2021
Harga : Rp. 85.000,-

ISBN : 978-602-06-5228-3

Sinopsis :
Yes! Akhirnya, Raib, Seli, dan Ali kembali bertualang. Kalian sudah kangen dengan trio ini? Misi mereka adalah menyelamatkan Miss Selena, guru matematika mereka. Tapi, apakah semua berjalan mudah? Siapa yang bersedia membantu mereka? Kali ini, si genius Ali memutuskan meminta bantuan dari sosok yang tidak terduga, karena musuh dari musuh adalah teman. 

 

Apakah Raib bisa melupakan masa lalu itu dengan memaafkan Miss Selena? Bagaimana dengan Tazk? Apakah Raib bisa bertemu lagi dengan ayahnya, atau itu masih menjadi misteri? Bagaimana dengan jejak ekspedisi Klan Aldebaran 40.000 tahun lalu? Benda apa saja yang ditinggalkan oleh perjalanan besar tersebut? 

 

Pertarungan panjang telah menunggu mereka. Dan lawan mereka adalah Lumpu, petarung yang memiliki teknik unik, yaitu melumpuhkan kekuatan lawan. Itu teknik yang amat menakutkan, karena Lumpu bisa menghabisi teknik bertarung. 

 

Jangan-jangan… Siapa di antara Raib, Seli, dan Ali yang akan kehilangan kekuatan di dunia paralel? 

 

Buku ini adalah buku ke-11 dari serial BUMI.

 

***

 

"Kalau petualangan kita ini dinovelkan, jadi serial, pembacanya juga rindu berat. Sudah dua buku mereka tidak membaca petualangan kita." (Hal. 60)


Eh bener banget! Setelah membaca panjang perjalanan Miss Keriting di buku Selena dan Nebula, rasanya rindu sekali dengan petualangan Raib, Seli, dan Ali. 


Di buku terakhir, Nebula, diceritakan bahwa Lumpu tengah menyekap Miss Selena. Raib, Seli, dan Ali tak bisa tinggal diam. Mereka harus mencari cara untuk membebaskannya. Tapi mereka tak bisa meminta bantuan kepada petarung klan lain karena pasti mereka diminta untuk diam saja, dengan alasan masih anak-anak. Berkat kecerdikan Ali, mereka akhirnya tahu, kepada siapa mereka harus meminta bantuan. Dia adalah Tamus, orang kedua yang dicari Lumpu setelah Miss Selena. Semua rencana berjalan lancar dan akhirnya Lumpu mampu dikalahkan, meski beberapa petarung klan harus rela kekuatan dunia paralel nya hilang, termasuk satu diantara trio ini.

 

Akhirnya, setelah sekian lama buku ini berakhir dengan kata "Bersambung", kali ini diakhiri dengan kata "TAMAT".

 

Meski demikian, masih ada buku berikutnya, salah satunya tentang orang tua Ali. Dari awal baca serial ini, aku udah curiga sih (dan juga penasaran) asal usul orang tua Ali. Kayaknya nggak mungkin kalau cuma penduduk biasa yang kerjanya tiap saat ke luar negeri. Nggak sabar nunggu bukunya!

Friday, April 23, 2021

[Resensi] Si Putih - Tere Liye

Judul : Si Putih

Penulis : Tere Liye

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 376 hlm; 20 cm
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2021
Harga : Rp. 85.000,-

ISBN : 978-602-06-5225-2

Sinopsis

Bagaimana jika hewan kesayangan kalian ternyata hewan dengan kekuatan terbesar di dunia paralel? Bagaimana jika hewan yang terlihat imut, menggemaskan, ternyata bisa menjadi salah satu petarung paling hebat?

 

Kali ini kita akan berpetualang di klan baru, dengan tokoh-tokoh baru. Termasuk mengetahui bahwa pandemi yang menyusahkan penduduk juga terjadi di klan-klan jauh. Tapi ingatlah selalu, setiap ada kesusahan, selalu muncul hal-hal menarik yang positif.

 

Kisah ini tentang si Putih, kucing kesayangan Raib. Masa lalu si Putih tidak kalah menarik, sebelum akhirnya kucing itu diletakkan di depan pintu rumah sebagai hadiah ulang tahun Raib.

 

Buku ini adalah buku ke-10 dari serial BUMI.  

 

*** 


Beberapa waktu yang lalu, Tere Liye sempat menulis di Facebook, terkait keinginannya untuk menuliskan pandemi sebagai latar cerita di novel. Ku pikir akan ditulis di Serial nya Thomas (Negeri Para Bedebah) dengan tambahan bumbu-bumbu politik, ekonomi, sosial, yang akan membuat buku ini menjadi "panas". 


Ternyata, tidak! Cerita mengenai pandemi justru dituliskan di kisah Si Putih, buku ke-10 dari serial BUMI. Buku ini meceritakan kehidupan kucing kesayangan Raib, sebelum akhirnya mereka bersama.


Penasaran nggak?


Kisah ini berawal di Klan Polaris. Saat itu tengah terjadi pandemi virus yang mematikan. Dengan adanya teknologi yang super canggih, klan tersebut mampu membagi wilayah menjadi dua bagian. Bagian pertama digunakan untuk evakuasi penduduk yang sehat dan tidak terinfeksi, sementara bagian yang lain tempat orang-orang yang sudah tertular virus. Mereka dipisah dinding setebal seratus meter dan tidak dapat ditembus.


Adalah N-ou, seorang anak dua belas tahun, ia harus terpisah dengan orang tuanya karena sudah terkena virus. Ia tidak bisa ikut dievakuasi, ditinggalkan begitu saja. Semalaman ia meringkuk kesakitan melawan serangan virus. Beruntungnya ia menemukan seekor kucing yang menemaninya hingga akhirnya ia selamat.


Hari-hari berikutnya ia habiskan untuk mencari cara agar bisa menembus dinding dan bertemu dengan orang tuanya. Setelah lima tahun ia berjuang tanpa hasil, akhirnya ia menyerah. Ia memutuskan untuk berpetualang, mengelilingi wilayah-wilayah yang belum pernah ia jamah, dan tentu saja bersama Si Putih, kucing yang menyelamatkan N-ou. 


Mereka berjalan ke arah timur, hingga akhirnya mereka bertemu dengan manusia yang hidup selain mereka. Dia adalah Pak Tua, tinggal di sebuah rumah di padang rumput, yang kini hancur diseruduk ratusan ribu banteng. Pak Tua pun memutuskan untuk ikut berpetualang bersama N-ou dan si Putih.

 

Banyak pengalaman yang mereka dapatkan selama perjalanan, ditambah penjelasan-penjelasan dari Pak Tua mengenai Klan Polaris ini. N-ou pun akhirnnya menyadari bahwa dirinya adalah seorang Pengendali Hewan, petarung khas Klan Polaris.

 

***

Buat yang bertanya kapan serial ini akan berakhir, berikut peta-nya, diambil dari Page Facebook Tere Liye.

Thursday, April 15, 2021

Belajar Kecewa

Seorang anak harus diajari rasa kecewa, bahwa tak semua yang ia inginkan harus didapatkan. Saat ia menangis kecewa, tak perlu lebay langsung menolongnya, menggendong, dan mengalihkan perhatiannya. Tak menghiburnya saat itu juga bukan berarti tak sayang. Menangis meraung-raung ya biarkan saja, namanya juga kecewa. Masak nggak boleh nangis? Baru setelah tangisan nya reda, jelaskan alasan mengapa ia tadi menangis.

Salam dari aku yang tadi anaknya menangis histeris karena melihat kelengkeng dan ingin memakannya, padahal kulit kelengkeng sudah berjamur dan sepertinya sudah tak layak makan. 

Akhirnya ia bersedia makan apel sebagai pengganti kelengkeng. 


Wednesday, April 14, 2021

Ibuk Sedih Ya?

"Ibuk sedih ya?" tanya anakku yang baru berumur 2 tahun.


Terharu sekali mendengarnya, sekaligus takjub, kok bisa anak dua tahun ini memvalidasi emosi orang tuanya.


Anak-anak tuh sangat peka. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang dewasa terutama ibunya. Ibu sedang capek dan gampang marah, pasti anaknya jadi lebih rewel. Ibu sedih, anak akan ikut sedih.


Hari ini hari ketiga aku menstruasi, sedang deras-deras nya. Ingin nya hanya tiduran gak banyak gerak. Sementara itu Si Anak menjelang jam 21.00 WIB, belum mau tidur, bahkan mengajak main pesawat seperti malam-malam biasanya. Dia naik di kakiku dan aku akan mengangkatnya seakan naik pesawat. Tapi malam ini aku sedang tidak ingin. 


Ku katakan padanya, "Ibuk lagi sakit, Dek! Ibuk gak mau." Aku terisak hampir mengeluarkan air mata. 


"Ibuk sedih ya?" 


"Iya." Dan kami pun berpelukan sebentar, tanpa ada penolakan. 


"Mau bobok, Bu." 


Lalu ku matikan lampu, tapi dia menemukan stiker dan ingin memainkannya. Aku kembali terisak, "Besok lagi, Mbak." 


"Mau bobok, Bu." Katanya dengan tetap mengambil stiker. 


Kami lanjut tiduran. "Ibuk sedih ya?" tangannya menempelkan stiker ke tangan ku seakan berkata 'jangan sedih lagi Ibuk.'


Ku jelaskan mengapa aku bersikap seperti tadi. Siapa lagi kalau bukan ulah Si Hormon yang membolak-balikkan perasaan pada perempuan. Aku tahu dia belum mengerti, tapi tidak apa-apa. Tak lama kemudian dia minta dinyanyikan lagu pengantar tidur dan langsung terlelap, tanpa banyak drama. 


Terima kasih anakku, kau sungguh perhatian dan pengertian 😘



Saturday, April 10, 2021

Sepeda Roda Empat

 
 
Kenapa nggak pakai balancing bike/push bike?  Itu loh, sepeda roda dua tanpa menggunakan pedal dan juga rem sepeda.

Anaknya nggak mau, Boss.

Sungguh lingkungan itu sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, salah satunya perkara sepeda ini. Bukan aku tak tahu apa itu push bike dan segala macam manfaatnya. Aku pernah menyewanya saat anakku usia 23 bulan.

Entah aku yang kecepetan mengenalkannya, tapi anak ini tidak terlihat antusias. Sebulan aku menyewa, hanya dua kali ia memainkannya.

Mungkin ekspektasiku yang terlalu tinggi, berharap sekali anak ini semangat berlatih (secara barang sewaan, sayang sekali jika tak dimanfaatkan sebaik mungkin). Padahal kalau dia memang sesuka itu sama push bike, pasti ku belikan.
 

Nyatanya dia tak tertarik. Ia justru terlihat lebih semangat ketika naik sepeda roda empat. Ya, gimana, di kesehariannya, ia melihat teman-teman memakai sepeda seperti itu. Mana ada anak yang pakai sepeda tanpa pedal.
 

Sebagai orang tua, kamu harusnya lebih memotivasi!
 
Ya, kenapa harus dipaksa? Hal-hal seperti ini bukan sesuatu yang saklek, jika A harus A. Ketika orang bilang bagus/rekomendasi, nggak wajib kita ikuti/miliki. Sesuaikan dengan kondisi dan diri kita yang paling tahu kondisinya.

Haha.

 

Tapi aku takjub lho, anak dua tahun ini sudah bisa gowes sepeda. Meski belum bisa satu putaran penuh, tapi sepedanya udah bergerak maju. Meski demikian, ia masih belum bisa mengontrol emosinya. Ketika ia menggowes sekuat tenaga tapi sepeda tak mau bergerak, dia akan teriak dan menagis kencang. Haha, lucu tapi kok gemesin.

Saturday, April 03, 2021

Drama Menyapih Part 3 : Lepas ASI

Day #1

 

Jumat, 26 Maret, aku pulang kerja, seperti biasa disambut oleh putri kecilku yang lucu. Dia tertawa riang. Setelah cuci tangan, ganti baju, langsung minta jatah nen. Kata Mbahnya, sekarang udah jadwalnya tidur. Ku susui dia, tapi tak kunjung tidur. Akhirnya kita main-main dulu. Setelah lelah, dia minta nen lagi. Melihat wajahnya yang sudah mengantuk, ku berikan. Setelah matanya tertutup, ku tarik nennya, lanjut tepuk-tepuk. Bukannya lanjut tidur, malah nangis, dan minta gendong.


Kejadian seperti ini sudah cukup sering dan cukup menguras emosi. Gimanapun gentong sudah kosong. Rasanya nggak enak kalau hanya ngempeng doang. Biarlah nggak jadi tidur, kita ajak main aja.


Rasanya capek banget. Setelah tiga hari galau, posisi masih di rumah orang tua, tiap hari ditanya masih nen atau enggak, dan hari itu anak nggak mau lepas nen padahal udah ngantuk berat, akhirnya aku menghubungi teman yang sudah berhasil menyapih, minta saran dan pendapat. 

 

Kata dia "Tipsnya harus TEGA."


Benar! Mungkin aku bukan tak ikhlas, tapi aku tak tega. Tiap kali memelas, anakku mengeluarkan jurus untuk merayuku, ia berhasil meluluhkan hatiku, dan akhirnya ku berikan. 


Akan tetapi, ada kalanya aku juga tega. Misal sebelum tidur jatah nen satu kali aja. Kalau udah nen tapi dia belum tidur, tetap nggak boleh nen lagi. Nangis silahkan. Contohnya juga hari ini, daripada harus menyusui sepanjang dia tidur, aku lebih memilih melepasnya dan main bersama.


"Harus tega, kalau kita kasih harapan, kasihan anaknya."

 

Relate banget sih sama keadaanku. Jadi makin yakin mau melangkah kemana.


Sore harinya, anakku belum minta nen lagi, padahal gelagatnya sudah menunjukkan bahwa dia mengantuk. Sampai akhirnya dia minta nonton HP dan ia tertidur. WOW, hebat. Apakah sekarang ini saat yang tepat untuk memulainya? Memulai untuk mengakhiri.


Ku pikir akan tidur sampai pagi, tapi tentu tak kan semudah itu. Sekitar pukul 23.00 WIB anakku terbangun, minta nen. Karena sudah mengumpulkan tekad, ku tolak permintaannya. Apa responnya? NGAMUK dong. NANGIS. Segala cara ia coba untuk meluluhkanku;

- bilang baik-baik. "Bu, nen Bu. Mau nen Bu." -- nulis ini kok nangis ya

- minta gosok gigi

- berontak

 

Dengan keteguhan hati, ku tolak baik-baik;

- jelaskan kenapa nggak boleh nen lagi -- biasanya akan ikut nangis juga

- alihkan dengan mainan 


Setelah puas nangis, ia berhasil dialihkan. Pertama, ngopek cat tembok yang sudah terkelupas, lanjut main kartu, setelah itu buka-buka album foto pernikahan. Setelah capek main, akhirnya dia minta nen lagi. Rasanya udah terlambat untuk mundur ke belakang, jadi biarkanlah dia menangis. Hingga di momen aku harus berbohong "Nen nya habis, Dek." Kemudian ku lihatkan nen nya yang tinggal setetes, dua tetes. Jadi nggak sepenuhnya berbohong sih karena kan emang udah tiris.


Nangislah sejadi-jadinya.

Nangis agak reda, ajak ngobrol.

Nangis agak reda, ajak ngobrol.

Gitu aja terus.

 

Sampai akhirnya ia capek, dan minta susu UHT. Apakah dikasih? TENTU SAJA. Dia minum sampai habis, setelah itu dia berkata, "Bu, maaf Payus, bu, maaf Payus."

 

Heh? Aku nggak tahu aku salah denger atau gimana, tapi itu yang terdengar di telingaku. Terenyuh sekali hati ini. Ya Allah, pengen nangis rasanya, tapi aku tahan demi menjaga stabilitas emosi anak.

 

Setelah itu, aku elus-elus dia, sampai tertidur kira-kira jam 01.00 dini hari.

 

Day #2

Sabtu, 26 Maret, aku pulang kerja sekitar pukul 14.15 WIB. Sampai di rumah, ia masih menyambutku dengan hangat. Sesekali masih minta nen dengan nada lirih. Ketika ku tolak, ia tidak menagis. Langsung ku alihkan ke kegiatan lain agar ia tidak ingat nen lagi.


Malam harinya, meski sudah terlihat sangat ngantuk, ia menolak tidur. Padahal tadi siang tidur selama 2 jam dari jam 11.00-13.00. Ada aja yang ia mainkan. Waktu kami sedang aktivitas menggambar, ia minta digambarkan dirinya sedang nenen. Aku berusaha untuk menanggapinya dengan netral dan tenang.


Akhirnya dia tidur jam 21.40 WIB, minta digendong sebentar, dan langsung tertidur. Sekitar pukul 02.30 dini hari, ia terbangun minta nen. Ku tolak baik-baik, dia merengek sebentar, lalu minta gendong. Tak lama langsung tertidur kembali, tanpa drama. Subuh-subuh, jam 04.30 ia kembali terbangun. Aku elus-elus sebentar, dia tidur lagi. Alhamdulillah.


Di hari kedua ini, nen ku sebelah kanan mulai mengeras (sebelah kiri abaikan saja, sudah kosong). Sungguh godaan sekali untuk menawarkan ke anak. Tapi tentu saja tidak ku lakukan.


Day #3

 
Minggu, 27 Maret, bangun tidur ku pompa asi karena sudah mulai sakit. Ku dapati sekitar 20ml, nggak ku kosongi karena anak sudah nyariin, dan sengaja disisakan (karena tujuannya untuk mengurangi kebutuhan), yang penting udah nggak sakit.


Hari ini karena libur kerja, aku mengajaknya ke pantai. Puas sekali dia main disana. 



Selama perjalanan pulang, dia tertidur. Sesampainya di rumah, tidurnya masih berlanjut. Tidur siang aman. Pukul 13.00 WIB, ia bangun.


Sore hari, setelah mandi, dia kembali teringat dan minta nen. Untungnya masih bisa dialihkan. Malamnya, saat sedang asyik main bersama, ia mengkonfirmasi "Nen Ibuk habis ya?" Rasanya nyesss sekali, ternyata itu yang tersimpan di memori anak. Yaudahlah, mau gimana lagi.


Saat jam tidur tiba, ku coba bacakan buku. Gagal. Bukunya malah diinjak-injak untuk mainan. Sampai tenaganya habis, ku ajak tidur di kasur dan ku ceritakan hal-hal yang terjadi seharian. Kalau aku diam, dia pasti minta "lagi,lagi". Cerita panjang lebar, kesana kemari, sampai aku bingung harus ngomong apa lagi, akhirnya dia tertidur, YES!!! Dia bisa tidur tanpa harus digendong.


***


Hari-hari berikutnya sama aja sih. Kalau mati gaya, masih minta nen, atau sekedar bertanya nen ibu mana, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan nen. Tapi tak ada lagi tangisan drama saat tak diperbolehkan nen. 


Malam hari kalau kebangun, kadang minta gendong, kadang dielus-elus aja bisa tidur lagi, kadang juga gelisah sampai harus minta makan, padahal pas dikasih cuma mau sesuap aja 😵


Oke, next part lagi ya untuk kelanjutan ceritanya!

Monday, March 29, 2021

Drama Menyapih Part 2 : Rencana VS Realita

Rencana

 

Sejak usia 18 bulan, aku sudah mulai sounding anakku untuk berhenti nenen. Menjelang tanggal 23 selalu ku jelaskan padanya. "Adek, besok tanggal 23 umur adek udah 18 bulan. Nanti kalau udah 2 tahun berhenti nenen ya. Sekarang masih ada 6 bulan lagi. 6 bulan lagi kita berhenti nen ya." Berulang terus tiap bulan, hingga kurang 1 bulan.


Februari akhir, aku mencetak kalender bulan Maret. Ku beri tahukan ke dia kalau tanggal 23, ia akan ulang tahun, sudah 2 tahun. Dia pernah menghadiri acara ulang tahun tetangga. Jadi mungkin dia udah ada gambaran ulang tahun itu apa; tiup lilin dan potong kue. Ku jelaskan juga kalau di tanggal tersebut, kita akan berhenti nen. Setiap hari kita beri tanda centang untuk hari yang sudah dilewati. Sounding ulang berkali-kali, "Nen nya kurang sekian hari lagi."

 


Dari umur 21 bulan, aku mulai mengurangi intensitas nen. Nen kalau pulang kerja, mau tidur, dan malam kalau kebangun. Selebihnya kalau bisa dialihkan, dialihkan dulu, kalau tidak bisa baru diberikan. Ternyata hal ini memberikan efek samping, ASI ku berkurang, khususnya ketika anakku usia 23 bulan. Untuk mancing LDR butuh waktu yang lama dan ketika datang nggak lama 😕 Keadaan ini membuatku merasa tak nyaman saat menyusui anak, berasa ngempeng doang. Sebenarnya ada rasa bersalah, tapi udah terlanjur. Jadi aku benar-benar mantap untuk mengakhiri momen mengASIhi ini tepat di hari ulang tahunnya.


Realita

 

H-3 Uti yang momong anakku selama aku kerja, mengabari kalau beliau ingin pergi menemui saudara selama beberapa hari. Otomatis aku harus ke rumah orang tuaku. Disana ada sepupuku (bude anakku) yang bisa bantu momong. Kami kesana berangkat hari Minggu.


Hari pertama (H-1) berjalan lancar. Dia nggak rewel saat bersama bude nya. Padahal sebelumnya jarang banget ketemu. Hari kedua (H) dia mulai merajuk "mau sama ibuk aja". Aku merasanya anak ini kurang merasa nyaman dengan budenya. Ya karena emang nggak terbiasa. Tiba-tiba dititipkan ke orang asing gimana sih rasanya.


Kondisi itu yang membuatku galau, jadi lanjut sapih atau tidak. Teorinya kan 'jangan melatih anak (toilet training, sleeping training, atau apapun itu) saat terjadi perubahan kondisi di keseharian anak (pindah rumah, sedang sakit, ortu sering lembur, dsb.). Pada akhirnya, saat ulang tahunnya tiba, aku masih lanjut menyusuinya.


Akan tetapi, setiap pagi aku ditanya ibuku,"Gimana semalam? Udah nggak nen lagi?" Begitu tahu aku masih ngasih nen, mulai keluar lah petuah itu 'brotowali, plester, lipstik'. Apa yang aku rasakan? Tertekan. Aku masih menyusui tapi jadi nggak fokus. Kepikiran banyak hal, kalut, stress, nggak nafsu makan. 


Segitunya ya, lalu apa yang terjadi? Part berikutnya ya!

Thursday, March 25, 2021

Drama Menyapih Part 1 : Perasaan Ibu

"Kalau mau beneran disapih, pakai aja tuh pohon yang di belakang rumah. Brotowali, itu kan pahit banget."

"Hmm, kalau pakai pahitan ya nanti dulu."

"Wah, ya berarti kamu nya belum ikhlas."

 ðŸ’”💔💔


Lillahi ta'ala, aku ikhlas kalau anakku memutuskan untuk berhenti nenen sekarang juga. Aku nggak akan menawari dan juga tak akan memaksa untuk nen lagi. Insyaallah, aku rela, ikhlas, ridho. 


Akan tetapi, kalau harus pakai oles-oles pakai pahit-pahitan, minyak, lipstik, dan sebagainya, aku belum ikhlas.

 

Sebenarnya hal yang lumrah ya ketika orang merekomendasikan berbagai cara untuk menyapih anak. Metode "Weaning With Love (WWL)" atau menyapih dengan cinta masih belum popular di kalangan masyarakat. Tapi tetap saja aku merasa kecewa dan cukup sedih ketika ibuku mengucapkan hal di atas. Padahal sebelumnya beliau yang menasehati untuk mengurangi frekuensi menyusu. Ku pikir ibuku akan mendukungku pakai metode WWL.


Tapi, mungkin karena aku sudah cerita kalau aku sudah sejak sebulan lalu mengurangi intensitas nenen, tapi belum ada hasil yang signifikan, jadi ibuku merasa kasihan, dan akhirnya menawari cara pintas. Huft, kompleks sekali ya urusan per-nenen-an ini.


Ku pikir-pikir, tujuan utama dari menyapih kan anak berhenti nen ya, jadi apapun metode nya ya nggak masalah selama tujuannya tercapai. Tapi dengan mengambil jalan pintas, rasanya kayak ada penyesalan gitu nggak sih udah bohong ke anak.


Gimana ya, entahlah, sekarang rasanya lagi kalut. Di satu sisi udah merasa nggak nyaman saat menyusui, di satu sisi masih idealis pengen WWL yang mana salah satu prinsipnya 'jangan menawari tapi jangan menolak'. Selama ini aku nggak menawari, tapi aku juga menolak.


Apa memang harus ku ambil jalan pintas?


Tunggu part berikutnya aja deh! Pelan-pelan, semua ada prosesnya!

Tuesday, March 23, 2021

Orang Baik

Pernah nggak sih, ketemu orang baik, yang meski tak mengenalmu, ia dengan suka rela menolongmu? Aku pernah, baru beberapa hari yang lalu. Nih lihat bapak yang pakai baju biru.

Hari Minggu kemarin, kami berencana pergi ke rumah orang tua. Sebelum berangkat, suami mengecek mobil. Kata dia, 'Ada yang aneh, mobilnya nggak mau ngangkat. Mungkin bensinnya habis.' Setelah diisi, alhamdulillah mobil bisa jalan. 


Bismillah kami tetap berangkat, meski suami tetap mengeluh mobilnya nggak enak. Mesinnya beda dari biasanya, ternyata businya lepas. 


Kami mampir dulu di pom bensin untuk isi bahan bakar. Selesai diisi, mobil tak mau di-starter. Suami mulai panik. Aku akhirnya turun mobil dan mengatakan ke petugas kalau mobil kami mogok. Kebetulan disana ada Pak Satpam yang langsung ambil ancang-ancang untuk mendorong mobil kami. Sementara itu, pengendara mobil yang ada di belakang kami, alih-alih membunyikan klakson karena kami cukup lama tak bergerak, ia justru turun dari kemudi dan ikut mendorong mobil kami. Dialah Si Bapak Baju Biru.


Mobil kami didorong sampai pinggir jalan. Kata Bapak itu, 'tunggu ya, saya isi bensin dulu, nanti saya bantu.' begitu kurang lebihnya.


Sambil menjaga anakku, aku menatap haru pemandangan itu. Begitu Allah sayang kami, Dia mendatangkan orang baik untuk menolong kami. Aku hanya bisa berdoa semoga kebaikan Bapak itu terbalaskan juga dengan kebaikan.


Alhamdulillah, mobil kami bisa menyala kembali. Ku tanya suami, kok nggak ngasih imbalan. Kata dia, 'Udah, tapi dia menolak. Kata dia, dia udah sering bantu, dan sering ditolong orang juga." MasyaAllah.

Usia 24 Bulan

Akhirnya sampai di usia 24 bulan alias 2 tahun ya. Nangis banget waktu diingatkan Google foto anak ini sesaat setelah lahir. Kayak 'Hah secepat ini!', meski kenyataannya setiap waktu yang terlewati dilalui dengan penuh perjuangan. Saat ia sakit, saat BB nya tak naik sesuai kurva, saat ia tumbuh dan berkembang berusaha melewati semua milestone nya, ya Allah, terima kasih atas segalanya.
 


Bulan ini rasanya tak banyak perkembangan yang terlihat.

Mengenal Warna

Sekarang anak ini sudah mampu membedakan warna dengan tepat, yang mana merah, hijau, kuning, biru, pink, orange, ungu, hitam, putih, dan abu-abu. Sebelumnya asal nyeletuk warna apa, sekarang sudah bisa menyebutkan dengan benar.


Cara ngajarinnya gimana?

Kasih tahu, terus diulang-ulang sampai khatam.

"Kerudung Ibuk warna apa? Ku-ning. Sama ya kayak warna ciduk."

"Warna kuning mana ya? Ini dia warna kuningnya."

 "Ibuk pake baju warna apa dek? Ku-ning."

Lama-lama dia akan ngeh itu warna kuning dan warna lainnya. 


Bisa Buka Kulkas

Pencapaian terbaru sih ini. Dia suka saat kulkas terbuka, apalagi kalau mainan lampu. Dia paham sekali di dalam kulkas ada banyak makanan dan minuman. Dia suka meminta orang dewasa untuk membukakannya.

 

"Buka. Buka. Buka."

Kalau tidak ada yang merespon, dia akan teriak "Bukaa. Bukaa. Bukaaaaa."

Sambil teriak dia akan menarik pintu kulkas dan taraaaa pintu kulkas terbuka.

Kuat ya anak Ibuk!


Merasa Keren

Anak ini sedang suka menguji kemampuannya sendiri dan kalau berhasil wajahnya terlihat bahagia seakan berkata 'Aku keren ya!'


Misal buka tutup botol (yang awalnya ku pikir ia tidak akan bisa karena lumayan keras), eh ternyata dia bisa. Membuka kran air, mencoba melepas celana sendiri, dan sebagainya.


Tugasku sebagai orang tua, memberikan ia kesempatan untuk melakukan sesuatu secara mandiri, memberi semangat saat ia gagal, dan mengapresiasi usahanya saat ia berhasil melakukannya.


***


Mungkin ini postingan terakhir tentang milestone bulanan. Menuliskannya dari usia 13 - 24 bulan membuatku lebih aware dan perhatian pada perkembangan anak.

Monday, March 01, 2021

Berjuang

Pukul 20.30 WIB anak ini belum mau beranjak tidur padahal sudah mengantuk. Ia justru ingat mainan pasir dan ingin memainkannya. Aku yang sudah tak mau kalau harus bersih-bersih, malas sekali mengambilkan mainan pasir yang ada di atas lemari.


Ambil jangan? 


Ku katakan padanya untuk main besok saja. Dia merengek. Yah, kalau cuma merengek atau menangis sih aku nggak akan kalah. Udah kebal dengan rayuan berupa tangisan. Tapi kali ini ia tak hanya sekedar menangis. Ia mengambil toples kecil dan meletakkan dekat lemari. 


Untuk apa? Untuk menambah ketinggian nya sehingga bisa menggapai mainan pasir di atas lemari. 


Apakah bisa? Tentu saja tidak. Lihatlah tinggi lemari ini. Pasir ada di tray warna putih. Dia belum setinggi itu untuk menggapai nya, apalagi cuma dibantu toples kecil. 


Sambil merengek dia berkata,"Ibu bisa. Ibu bisa. Payus (menyebut nama sendiri) nggak bisa. Nih. Nih. (Tangannya masih sambil menggapai ke atas)." 


Akhirnya ku ambilkan mainan pasir dan kami bermain bersama. Yeay. 


Bukan kalah atau menang, bukan masalah tega atau nggak tega, tapi aku menghargai usahanya. Ia sudah berjuang mendapatkan apa yang dia inginkan.


***


Hallo Anakku Sayang,

Terima kasih sudah berusaha, berjuang mendapatkan apa yang kamu impikan.

Kelak di masa mendatang, tantangan yang akan kamu hadapi jauh lebih besar. Tetaplah semangat mengejar mimpimu. Jangan berhenti. Mungkin Ibu tidak bisa membantumu secara langsung. Tapi Ibu akan selalu mendoakanmu.


“Hasbunallah wani’mal wakiil” (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah sebaik-baik Sandaran)

Tuesday, February 23, 2021

Usia 23 Bulan

Setiap kali berganti bulan, sering kali dibuat penasaran, kira-kira sebulan kedepan perkembangan apa yang akan terlihat dominan? Apa hanya akan meningkatkan skill yang sudah ada sebelumnya? Misal bulan lalu baru paham warna hitam, sekarang dia sudah bisa menyebutkan warna putih dan abu-abu dengan benar. Proud!
 
Akan tetapi, ternyata bulan ini banyak kejutan, apalagi perkembangan bahasa, like BOOOOMMM.
 

"Apa ini?"

Anak ini mulai banyak bertanya 'Apa ini?', 'Ini apa?' dan walaupun sudah dijawab, dia akan terus bertanya,

'Apa?'

'Apa?'

'Apa?' 

'Apaaaaa?!' Saking gemesnya, suaranya jadi melengking.


Kadang suka bingung jawabnya. Dia tunjuk motif bulat-bulat di seprei, lalu tanya 'ini apa?' Kadang ia ingin jawaban tentang warna, bentuk, atau nama benda itu sendiri.

 

"Ini Aja!"

Seiring berkembangnya kemampuan bahasanya, semakin pandai pula ia mencoba untuk negosiasi.

I = "Gosok gigi ya?"

F = "Endaaaaaakkkk, mau nen aja."


I = "Maem ya?"

F = "Endaaaaaakkkkkk, mau HP aja."

 

I = "Mandi ya?"

F = "Mandinya udah."

I = "Kapan? Mandi ya?"

F = " Endaaaaaakkkkk, naik mobil aja."


Ya Allah. Sabar. Sabar.


"Ini Punya Iyus (menyebut nama sendiri)."

Anak ini sudah paham kepemilikan. Jadi misal gambar beberapa bola, diklasifikasikanlah, ini punya bapak, ini punya ibuk, ini punya Iyus. Ganti hari ketika melihat gambar itu lagi, dia akan menyebutkan lagi bola itu milik siapa saja.


Atau misal sedang main dengan sepupunya, kemudian berebutan mainan, maka dia akan teriak "Ini punya Iyus."

 

Semua akan diaku miliknya. Hahaha.

 

Selain perkembangan bahasa, perkembangan lainnya pun juga terlihat.

 

Sensitif terhadap Suara

Dengar suara yang tidak biasa, pasti dia akan bertanya "Apa itu?" Misal suara pintu yang terbuka, suara AC yang meraung, suara burung yang mendecit, dll.

 

Aktif Meniru

Dia suka sekali meniru, baik ucapan maupun tingkah laku, baik orang langsung maupun yang ada di layar HP/TV. Udah bisa ngomong "Jan lupa laik, ser, dan esklem, baii".

 

Ada momen lucu nih! Jadi waktu itu kami sedang main pasir. Terus dia kelihatan yang udah mahir gitu, masukin pasir ke cetakan, cetakan ditaruh ke atas pasir (yang ada di baki), kemudian dia ketuk-ketuk cetakannya sambil bilang "Eseto, eseto".

 

Aku yakin dia sedang mengikuti salah satu video yang ada di YouTube. Tapi yang mana? Kayaknya yang Nastya bikin kue pasir dan dijual ke ayahnya. Di lain hari aku coba cek video tersebut, ternyata nggak ada tuh percakapan yang merujuk ke "Esedo, esedo". 

 

Hingga suatu hari, saat dia melihat YouTube, keluarlah video itu, video bermain pasir. Ternyata dari Spanyol bund, dan yang dimaksud "esedo" itu adalah "donde esta".


MasyaAllah. Gini nih kalau anak dikasih screen time tapi nggak didampingi orang tua. Pasti misscommunication ya, anak bermaksud apa, orang tua nggak bisa nangkap.

Tuesday, January 26, 2021

Hujan

Tak seperti biasanya, anakku sudah pulang dari main di luar rumah jam 17.00 WIB, biasanya menjelang magrib. Sesampainya di rumah, ia minta nonton HP. Ku berikan, tapi rasanya dia sedang tidak dalam kondisi mood yang bagus. Tandanya apa? Dia rewel sambil tunjuk-tunjuk HP, "Ini. Ini. Ini." Akhirnya ku tawarkan ia untuk melihat kambing di rumah tetangga yang letaknya agak jauh dari rumah. Dia pun mau dan bersedia. 


Akan tetapi, dia maunya digendong. Tanda "lagi nggak mood" kedua. Biasanya dia akan senang hati berjalan kesana kemari. Baiklah. 


Sebenarnya sore itu lagi mendung agak gelap. Tapi bagiku, "mendung belum tentu hujan", jadi lanjut ajalah. 


Sesampainya di tempat kambing, anakku masih saja gendongan. Dia baru mau turun setelah aku bilang capek. Sungguh dia anak yang sangat pengertian. Ku ajak dia jalan ke arah sungai. Dia pun bersemangat jalan dan berhenti di kandang ternak milik warga setempat. Ada ayam, merpati, dan kambing. Anakku terlihat senang sekali melihat kurungan ayam. Belum lama main disana, tiba-tiba hujan. Nggak terlalu deras, tapi cukup buat basah. Aku langsung gendong anakku, setengah berlari. Ditengah jalan ditawari payung oleh salah satu warga, tapi ku tolak. Aku terus berlari tapi baru setengah jalan menuju rumah aku sudah ngos-ngosan. Aku berteduh di pinggir rumah warga. 


Sambil mengumpulkan tenaga, aku mendata beberapa opsi yang bisa ku ambil. Pertama, mengetuk pintu untuk pinjam payung, kedua, nekat lari lagi, berharap hujan sedikit reda. Belum sempat ku pilih langkah yang akan ku ambil, ku lihat suamiku datang membawa payung besar. Wajahnya terlihat cemas sekaligus lega. Aku, tentu saja bahagia atas kedatangannya. Benar-benar terharu. Kami pun berjalan bertiga di bawah naungan payung yang cukup lebar.


Saturday, January 23, 2021

Usia 22 Bulan

Banyak Alasan Sebelum Tidur

Ceritanya aku lagi ingin menerapkan Sleeping Training ala-ala; tidur tanpa nenen dan tanpa gendong. Sebelum tidur boleh nenen, kalau sudah puas, berhenti, lanjut tidur. Jadi tidurnya nggak sambil nenen, begitulah kira-kira maksudnya.

 

Awal-awal bisa berhasil loh. Habis dia nenen, guling-guling sebentar, setelah itu bisa tidur. Tapi kemudian gagal. Setelah nenen dilepas, dia akan mengeluarkan banyak alasan.


"Mnum putih. Minum putih."

"Nyain. Nyain." -- minta dinyalakan lampu.

"Maem nasyi." -- nasi

"Esyidol. Coyet-coyet." -- spidol

"Eskrim mau?" -- minta main eskrim

"HP kukuk?"

 

Ku turuti hingga akhirnya bisa tidur jam 22.00 WIB. Kadang bisa tidur sendiri tanpa nenen, kadang tetap minta nenen pengantar tidur.

 

Latihan Melompat

Dia lagi suka pasang kuda-kuda, mengukur kemampuan diri sendiri untuk bisa melompat. Kadang masih takut, kadang nekat lompat aja.


Bisa Buka Pintu Kamar 

Meski masih jinjit, dia sudah bisa membuka pintu kamar. Luar biasa.

 

Belajar Warna 

Aku mulai intens mengenalkan warna (dia pun juga lagi senang nonton video tentang warna-warna). Dia belum bisa menyebutkan warna dengan benar. Tapi udah bisa mengelompokkan barang-barang dengan warna yang sama. Misal mainannya warna kuning, terus lihat kerudungku warna kuning, dia akan bilang, "Sama, biru."

Thursday, January 21, 2021

Mengajari Anak Mengelola Emosi

Anak umur 5 tahun, jatuh dari sepeda langsung nangis histeris, padahal lukanya tak seberapa. Mengadulah ia ke orang tuanya. Apa yang terjadi? Ia justru dimarahi. "Yaelah, luka segitu doang nangis. Udah, diam! Kamu sudah besar, kayak gitu aja nangis, lihat tuh anak tetangga, jatuh nggak nangis!"


Aku di posisi anak, 'Sedih banget. Pengennya disayang, malah kena marah.'

Aku di posisi orang tua, 'Ini anak kenapa sih? Cengeng banget. Udah umur segini kok masih suka nangis terus.'

Aku di posisi orang lain, 'Ya gimana anakmu nggak cengeng, kamu aja nggak ngajari dia gimana mengelola emosi yang baik.'


Waktu anakmu kecil, kamu manja-manja dia. Jatuh sedikit, kau langsung tenangkan hatinya, "Udah ya nggak usah lari-lari ya, nanti jatuh, sakit. Nggak usah nangis ya!" Begitu terus sampai anaknya sudah besar dan kamu mulai sadar sudah bukan saatnya anakmu suka menangis hanya karena hal-hal tertentu yang kesannya sepele.

 

Harusnya gimana dong?

Ajari dia untuk mengelola emosinya. Saat jatuh, katakan padanya, "It's OK. Nggak apa-apa jatuh. Sakitnya kita obatin ya. Kalau masih merasa sakit, silahkan nangis."


Jangan suka menghentikan tangisan anak > 1 tahun. Biarkan ia mengenali emosinya. Biarkan ia menumpahkan segala yang dirasakan lewat tangisan. Setelah itu, ajari gimana seharusnya ia menyalurkan emosinya. Kalau bisa nya cuma membentak anak untuk diam dari tangisannya, mah, ya udah, bakal gitu terus siklusnya. Nangis, DIAM! Nangis, DIAM!


Halah, tahu apa kamu? Kamu kan belum punya anak seusia anakku!

Yowis.