Saturday, December 26, 2020

Hari Kejepit

Sedihnya kerja di instansi yang menerapkan enam hari kerja. Kalau ada libur di hari Jumat tidak bisa menikmati long weekend karena hari Sabtu tetap masuk seperti biasa. Begitu pula akhir tahun 2020 ini, libur Hari Natal tanggal 24 dan 25 Desember, dan libur tahun baru tanggal 31 Desember dan 1 Januari. Keduanya jatuh di hari Kamis dan Jumat. Menyebalkan adalah ketika di hari Sabtu alias hari kejepit tidak diperbolehkan mengajukan cuti. Apalagi aturan tersebut mendadak baru keluar di tanggal 23 Desember.

 

Aku rencana pergi ke rumah orang tua selama liburan. Tadinya mau cuti tanggal 26 Desember, tapi ku pikir pasti banyak yang mengajukan cuti, akhirnya ku putuskan untuk mengambil cuti tanggal 2 Desember saja. Tapi begitu dengar aturan tanggal 24 Desember - 8 Januari tidak boleh mengajukan cuti, akhirnya kalang kabut, ubah rencana. Tanggal 23 Desember sore langsung pergi ke rumah orang tua.


Kamis, Jumat libur. Sabtu gimana? Mau berangkat kerja, anak sama siapa? Mau ijin saja, takut cutinya ditolak dan dianggap bolos.


Sebenarnya, aku bisa saja menitipkan anakku ke tetangga seperti bulan-bulan sebelum Corona melanda. Tapi, ada krisis kepercayaan dari keluarga suami, yang mana kalau dititipkan ke orang lain, anaknya nggak keurus dan jadi sakit. Suami juga cenderung mendukung aku untuk bolos saja, jaga anak, toh cuma sehari. Tapi jauh di lubuk hatiku, ada perasaan mengganjal disana.


'Apa aku datang absen saja ya? Setelah itu langsung pulang.' terbesit ide seperti itu. Tanya ke suami, dia mengijinkan. Aku juga tanya ke ibuku, apakah bersedia menjaga anakku sebentar. Ternyata ibuku menyanggupi dengan mantap hati. Aku jadi lega. Kenapa nggak seharian saja dengan ibuku? Karena sedari awal, beliau sudah wanti-wanti nggak mau momong cucu. Bahkan sebelum aku menikah, ibuku sudah mengatakannya. Aku jadi garuh (rikuh) kalau mau nitip anak.


Akan tetapi, rencana berubah. Dari yang tadinya mau absen aja, jadi setengah hari. Setidaknya kelihatan lah kalau masuk kerja. Kalau ada apa-apa nanti bisa diremote dari rumah. Dan karena aku hanya kerja setengah hari, sementara suami sehari penuh, maka kami berangkat dengan motor masing-masing.


Sekian lama, dua tahun lebih, aku berangkat kerja bareng suami terus, kemana-mana juga sama suami, hari ini bisa motoran sendiri rasanya bahagia sekali. Berasa nostalgia dengan masa-masa sebelum menikah, yang mana selalu sendirian kemana-mana. SERU!!!

 

Sepulangnya aku ke rumah, disuguhi pemandangan seperti ini. Alhamdulillah, dia tidak merepotkan simbahnya. Anak baik :)

Wednesday, December 23, 2020

Usia 21 Bulan

Bulan ini termasuk bulan yang berat dalam pengasuhan anak. Perkembangan emosi nya terlihat sangat pesat hingga membuat ku sering menghela napas panjang.


Bertindak Sesuai Kehendak 

Tiap kali melakukan sesuatu, anak ini tidak bisa dikasih tahu. Pokoknya harus sesuai apa yang diinginkan. Dia ingin belajar sebab akibat dengan merasakan apa yang dirasakan, bukan dari apa yang ia dengar. Semakin dilarang, semakin semangat untuk melakukan nya. 


Contoh:

"Jajan nya jangan ditumpah ya." 

Tetap saja ditumpah kan nya, bahkan ketika ku mulai tegas pun, dia tetap melakukan nya. 


Posesif

"Aku sayang ibuk. Ibuk adalah milikku. Tak ada yang boleh menyakiti ibuku, termasuk menyentuh nya." Demikianlah yang ingin ia sampaikan ke bapaknya. Kalau Si Bapak tetap memaksa pegang ibuk, dia akan teriak "Jaangaaaan. Gak boleeeh." 


Semua Serba Ibuk

"Pokoknya ibuk. Nggak mau yang lain." 

Apa saja, kalau ada ibuk, semua harus ibuk. Membukakan jajan, menyalakan HP, mencuci tangan, semuanya. 


Sebenarnya ini tanda kelekatan yang baik yah. Si anak bergantung pada ibunya. Tapi jujur, benar-benar melelahkan. Ya kalau anaknya nurut sih masih mending, tapi kan sekarang masih fase ngeyel, nggak bisa dikasih tahu. Apa-apa harus ibu, tapi nggak mau dengerin apa kata ibu. Huh, benar-benar menguras emosi, jadi gampang marah. 😔😔😔 Minta tolong suami buat gantian jaga, anaknya nggak mau dong 😌😌😌 kan aku jadi 😵😵😵


Tapi nggak apa-apa, semua pasti akan berlalu. 


Berimajinasi

Terlalu sering nonton HP ternyata ada manfaatnya juga. Salah satunya bisa memberikan gambaran drama yang ada di kehidupan. Misalnya 

- Beli dan makan eskrim

- Pakai perban saat terjatuh


Dari tontonan tersebut, kami pun mulai bermain peran. 

"Aduh sakit, teban (perban)." 


Kemudian melihat barang/mainan/rumput, dia akan menganggapnya sebagai eskrim. Sayangnya, 'eskrim' tersebut benar-benar masuk mulut. Jadilah ia sering memasukkan barang-barang ke mulutnya, dan ketika dilarang dia akan tetap melakukannya. 


Sabar. Sabar. 


Bisa Menyusun 2 atau 3 Kata

"Mau nen" 

"Yuz (menyebut namanya sendiri) nta (minta)" 

"Yok naik obil yuk."

"Peyut ibuk nyi." (perut ibuk bunyi) 

"Ni hape ibuk ni."


Dia mulai berusaha menyusun kalimat panjang tapi masih belum jelas. Pengucapan untuk beberapa kata pun masih belum terdengar tepat, tapi nggak apa-apa, sedang belajar. 

 

Suka Berbagi

Anak ini kalau punya sesuatu, misal makanan/mainan, ia akan membagikan kepada ibu atau bapaknya. Misal lagi main eskrim,"Ini bapaknya (buat bapak), ini fayuz."

 

Pernah juga tetangga menawari setoples kue nastar. Dia mendekat dan mengambil kue. Ambil satu pakai tangan kanan, kemudian bilang "satu lagi" terus ambil pakai tangan kiri. Setelah itu dia mendekat padaku, terus bilang "Ni Ibuk" sambil memberikan satu kue. Ya Allah, manis banget.

Saturday, December 19, 2020

Perihal Barang Lungsuran

Beberapa waktu yang lalu, tetangga datang membawakan seplastik celana bekas layak pakai yang diberikan untuk anakku. Padahal sebelumnya ia sudah memberikan baju, jilbab, dan juga sepatu. Tetangga ini memang dikenal suka memberi. Berbagai jenis makanan suka sering dibagikan kepada kami sekeluarga.

Seneng ya, punya tetangga seperti ini. Tapi, tahu nggak sih, lebih dari 50% baju anak pertamaku ini kebanyakan lungsuran, bahkan sejak ia bayi. Popok, kain bedong, dan segala perlengkapan bayi milik sepupunya ia kenakan. Semakin besar, ia mendapatkan baju dan segala macamnya dari pemberian tetangga sekitar.
 
Aku sungguh sangat berterima kasih, tapi jauh di lubuk hatiku ada perasaan yang susah dijelaskan. 
 
1. Kenapa anakku? 

Apakah karena ia selalu mengenakan baju yang itu-itu saja? 

Apakah karena baju yang dipakainya terlihat kekecilan? 


Aku memang jarang membelikan baju untuk anakku karena aku sadar ruang penyimpanan kami terbatas. Area bebas kami hanya di kamar saja. Apabila ada barang baru, maka barang lama harus keluar agar tidak penuh. Nah aku bingung, barang lama kami mau ditaruh dimana? Itulah sebabnya aku jarang beli baju, baik untuk diriku sendiri, maupun untuk anakku. Jadinya ya pakai baju yang itu-itu saja. Tak masalah. 


Lalu kenapa harus anakku? Kenapa nggak didonasikan aja ke yang benar-benar butuh? Karena rasanya masih ada yang lebih membutuhkan dibandingkan kami.


Tapi, mari berbaik sangka! Keluarga terdekat itu kan tetangga. Jadi daripada ribet kemas dan kirim untuk donasi, kenapa nggak dikasih ke keluarga terdekat aja?! Dan kenapa anakku, ya karena dari segi usia dia yang paling mendekati dan mungkin cocok dengan style anakku. Lagipula, memberi itu tanda sayang kan? Terima kasih tetangga 😊


2. Insecure dan Beban

Baju yang diberikan untuk anakku kondisinya masih bagus-bagus. Apa mungkin mereka telaten merawat baju seperti halnya ibu mertuaku? Yang kalau ada noda harus direndam seharian? Yang bajunya harus diikat saat dicuci agar tidak melar? Aku? Mana sempat, keburu rebahan 😂 Bagiku, yang penting dicuci bersih. Kalau ada sisa noda, yaudah nggak apa-apa. Kalau melar, ya beli lagi. 


Kalau baju itu aku yang beli, rasanya nggak masalah ya. Tapi kalau pemberian dari orang lain, rasanya jadi beban. Kok baju itu di aku jadi tidak terawat, jadi cepet melar, jadi kelihatan tidak cantik, keliahatan kotor, dan sebagainya. Kok kayak nggak menghargai yang memberi ya.


Tuh kan, nggak cuma jadi insecure, tapi jadi overthinking juga. Duh! 


3. Merasa Bersalah ke Anak

Aku sebagai orang tuanya kok kayak nggak mampu memberikan sandang untuk anak. Kenapa ia mendapat sesuatu yang bekas padahal bisa saja dapat yang baru. Gimana perasaannya kalau ia selalu mendapat lungsuran, baik baju maupun mainan. Kalau diberi pilihan, aku pun pasti lebih milih sesuatu yang baru dibanding yang bekas, meski nggak masalah juga sih kalau pakai yang bekas.


Seperti itulah kiranya rasa yang ku rasakan. Mungkin kelihatan berlebihan, tapi nggak apa-apa, semua perasaan ini valid. Berhubung semua barang sudah diterima, mari kita ambil manfaatnya saja. Tak lupa bersyukur, oke? Budgeting untuk baju kita alihkan saja ke dana pendidikan. Eh, tapi kalau budgeting untuk mainan, tetep dong, meski mainan lungsuran juga banyak banget!

Tuesday, December 08, 2020

Tantrum

Hari ini anakku tantrum, untuk kesekian kalinya. Bermula saat dia mengantuk dan minta nenen, tapi tak langsung ku kasih karena aku ingin ia membereskan mainannya terlebih dahulu. Kalau kondisi normal, ia tak akan protes, justru dengan senang hati bilang "beresin dulu", bahkan pernah suatu hari, tanpa ku minta ia sudah inisiatif merapikan mainannya. Tapi tidak untuk malam ini. Mungkin karena saking ngantuknya, ia jadi males, dan menangis. Tantrum pun dimulai. Permasalahan lain muncul, ia mengambil HP dan meminta nonton "sesuatu" , sayangnya aku nggak bisa menangkap "sesuatu" itu apa, makin marahlah ia. 


Ku coba berbagai cara untuk menenangkannya. Mulai dari berhitung, tarik napas - meniup, memeluk, tak ada yang berhasil. Akhirnya setelah kurang lebih 30 menit menangis sambil teriak, tangisan nya berhenti. 


Fiyuh!


Suami masuk kamar dan mengabarkan kalau Si Kakek pergi meninggalkan rumah karena tak tega mendengar tangisan cucunya. 


Maaf dan terima kasih ya Kakek (dan juga Nenek) 


Perasaanku mengatakan bahwa 'mungkin di mata mereka aku anak yang ndableg, kok tega membiarkan anak menangis lama, kok nggak bisa menenangkan anak, kok nggak diserahkan ke Kakek-Nenek aja biar tangisan nya cepat reda'. 


Sudah dua kali anakku berhasil diterangkan kakek nya saat tantrum. Bukannya senang, aku justru merasa kesal dan kecewa pada diriku sendiri. Pada akhirnya ku putuskan kalau anak ini tantrum, akan ku biarkan dia menangis di kamar saja. Kalau di luar kamar, takut diintervensi lagi oleh orang tua. Biarlah bodo amat mereka akan beranggapan apa. 


Di usianya sekarang ini, anakku memang rawan mengalami tantrum. Sedikit saja tidak pas dengan keinginannya, dia akan menangis dan mengamuk. Pernah, hanya karena dia gagal menyusun mainannya, dia kesal dan menangis. Semakin dia menangis, semakin gagal mainannya tersusun. Gitu aja terus. Susah ya jadi anak (menuju) dua tahun. Tapi nggak apa-apa, semuanya normal karena usianya memang sedang memasuki tahap perkembangan emosi. 


Emotions are what makes us human.


Aku tak mau proses ini diintervensi. Mungkin aku terkesan tega, tapi ini caraku mengajarkan anak tentang emosi nya. Selain itu, aku merasakan ada manfaatnya mendampingi ia saat tantrum. 


1. Menegakkan aturan 

Seperti yang ku contohkan di awal, aku ingin anakku belajar sebuah aturan. 

"Oh, kalau aku nggak membereskan mainan, ibuk nggak mau kasih nenen." 

"Oh, kalau aku nggak bicara baik-baik, ibuk nggak memberikan apa yang ku inginkan." 


Kalau sering diintervensi, gimana coba? "Ah Ibuk nggak mau ngasih, aku minta ke kakek aja ah. Kakek kan baik." 


2. Meningkatkan kelekatan

Ini nih yang penting. Ketika kita jadi tempat berlabuh saat tantrum nya mereda, kelekatan pada anak akan tercipta. Anak merasa perasaannya diterima dengan baik, dan setelahnya ia akan merasakan pelukan hangat yang bisa menenangkan.


Itulah kenapa aku ingin mendampingi anakku saat tantrum, meskipun ia terlihat menolak saat ku sentuh karena pada akhirnya pelukan akan tetap ia terima di akhir sesi. 


Ketika pelukan itu jatuh ke orang lain, runtuh lah mental ku sebagai ibu, langsung merasa gagal dan bersalah, serta kehilangan kelekatan. "Kok anakku lebih memilih dia daripada aku?" 


😭😭😭



Perjalanan ini masih panjang. Semoga kita bisa melewati bersama ya Nak. Semoga engkau bisa mengelola emosimu dengan baik.