Tuesday, July 30, 2019

Cerita Gigi Bungsu (6) : Operasi Odontektomi

Sabtu, 27 Juli, aku kembali ke Poli Gigi dan Bedah Mulut sesuai surat kontrol yang diberikan dokter. Disana, aku menunggu cukup lama karena hari itu banyak tindakan operasi yang dilakukan di Poli. Penasaran, aku pun bertanya, "Kok operasi bisa dilakukan di Poli, tanpa harus rawat inap dan bius total?" Kata dokter, gigi yang sudah erupsi (muncul di permukaan, baik keseluruhan maupun sebagian) bisa dilakukan pencabutan tanpa perlu bius total. Tapi kalau gigi yang embedded (tertanam dalam tulang dan tidak memungkinkan untuk tumbuh keluar) dokter tak berani melakukan tindakan rawat jalan. Aku juga bertanya "Kenapa sih ada orang yang nggak punya masalah sama sekali dengan gigi bungsu? Bahkan sudah usia >30 tahun, tapi tak ada tanda-tanda gigi itu muncul?" "Karena bisa saja memang tidak ada benihnya." Begitu kata dokter.

Dengan setia aku menunggu, akhirnya Surat Pengantar Rawat Inap ku selesai dibuat. Dag dig dug sekali rasanya.

Setelah mendapatkan surat itu, aku pun pulang.

Minggu, 28 Juli, seperti biasa bangun siang malas-malasan. Kebetulan si bayi juga suportif sekali, nggak ngajak bangun pagi. Hari itu dia juga kebanyakan tidur, tau aja ibunya sibuk mempersiapkan ini dan itu, termasuk ASI perah untuknya selama ku tinggal 3 hari.  Hiks.

Pukul 16.30 WIB, aku diantar suami ke rumah sakit. Niat hati ingin langsung naik kelas ke kelas I, ternyata penuh. Seharusnya begitu mendapat surat pengantar rawat inap, aku pesan kamar saja. Tapi tak apa, aku masuk sesuai kelasku, kelas II.

Sesampainya di ruangan, aku tanda tangan berkas dan juga diambil darah untuk diperiksa di laboratorium. Selanjutnya aku diantar ke bangsal. Ada dua bed disana dan dua-duanya masih kosong. Heu. Begitu bed disiapkan, aku udah nggak diapa-apain, ditinggalkan perawat semalaman.

Malam itu aku masih dapat jatah makan malam. Rada hambar sih, tapi lumayan untuk mengisi perut. Takut masih kelaparan (karena karbohidratnya berupa bubur) aku minta suami beli roti di kantin.

Pukul 21.00 WIB, suami pamit pulang. Dia lebih memilih tidur bersama anakku daripada menemaniku, tapi ya nggak apa-apa sih, kasihan juga Akung Uti yang jagain si bayik.

Pukul 00.15 WIB, perawat datang ke ruanganku. Dia sedikit kaget melihatku seorang diri, tanpa ada yang menunggu. Kedatangannya membawakan sabun untukku mandi besok pagi. Tak lupa aku diingatkan untuk mulai berpuasa. Begitu perawat keluar, aku minum, takut nggak kuat puasanya, hahaha. Aku lanjut tidur.

Pukul 05.00 WIB, dini hari di 29 Juli, aku kirim pesan WA ke suami, gimana kabar si kecil, bisa tidur nyenyak atau tidak. Sedikit rewel katanya. Belum sempat cerita banyak, suami mengabari kalau mesin antrian pendaftaran error, dan dia minta aku memperbaikinya, nanti dipandu olehnya. He? Kan ceritanya aku lagi jadi pasien, masak disuruh benerin error sih? Eh tapi kalau suami harus datang sepagi ini, kasihan juga. Biasanya sih emang gitu, tapi kan ini ada aku, palingan juga cuma restart komputer.

Tak lama kemudian, pintu terbuka, perawat semalam.
"Udah mandi Mbak?"
"Yaudah tensi dulu ya?"
"Njenengan tidur sendirian semalam?" basa basi si perawat.
"Iya, kenapa?"
"Berani banget."
"Mas, saya nanti ke Pendaftaran depan ya, sebentar aja, mau restart komputer, mesin antriannya error."

Si perawat bingung, kemungkinan dia tidak tahu kalau aku karyawan disini. "Tapi jangan lama-lama ya Mbak. Habis itu mandi, terus diinfus. Ini tensinya 100/70"

Aku bergegas menuju Pendaftaran. Set set set, selesai. Aku kembali ke ruangan dan langsung mandi. Pukul 05.45 WIB, aku sudah siap. Perawat baru datang jam 06.10 WIB untuk memasang infus.

"Duh, tangannya kecil sekali sih Mbak. Padahal jarum infus untuk operasi besar lho. Takutnya kalau ada perdarahan kan. Yaudah coba yang kiri aja ya."
"Eh, Bu. Jangan coba-coba dong Bu, harus yakin."
"Saya pengennya juga gitu Mbak, sekali pasang." jawab si ibu perawat.

Alhamdulillah lancar sekali tusuk.

Pukul 08.00 kurang, masuklah dokter anestesi (sepertinya masih residen). Aku ditanya-tanya; ada riwayat alergi obat tidak, punya penyakit asma atau penyakit kronis lainnya, pernah asam lambung, dan sebagainya.

Di kesempatan itu, aku tanyakan status ku sebagai ibu menyusui. Apakah obat bius akan berpengaruh pada ASI ku? Harus jarak berapa lama aku bisa menyusui kembali? Dokter hanya menjawab, "nanti akan diedukasi lagi di ruang anestesi". Oke, baiklah.

Sekitar pukul 09.45 WIB, perawat datang ke ruangan, mengabarkan bahwa namaku sudah dipanggil di Instalasi Bedah Sentral (IBS). Bersama satu orang perawat dan suami, aku diantar ke IBS. Ternyata gitu ya rasanya naik bed yang didorong. Pengen rasanya duduk aja biar kayak Jasmine lagi terbang di atas karpet. Hahaha.

Sesampainya di IBS, aku ganti baju operasi. Semua pakaian dilepas, kecuali pakaian dalam. Di ruang ganti itu, ada satu pasien lagi perempuan yang juga akan operasi, tapi dari poli THT. Tapi ya nggak bisa ngobrol, karena aku langsung disuruh baring di bed yang ada di lorong.

Aku ditemui dokter anestesi yang tadi pagi ke ruangan. Dia menjelaskan ruang IBS ini untuk operasi bedah minor, seperti mata, gigi, THT, dan paru. Sementara ruang operasi sebelah, untuk operasi besar seperti obgin (bersalin) dan bedah. Sebagai karyawan sini, aku baru tahu lho. Dan ini pertama kalinya juga aku masuk ruang IBS ini.

Selain dokter tadi, aku juga ditanyai oleh perawat, "Gigi yang dicabut berapa Mbak?"
"Lima Pak."
"Nggak nambah satu lagi, biar gratis."
"Enggak, Pak. Haha."

Rupanya si bapak perawat sedang memecah ketegangan.

Tak ada 30 menit menunggu, aku disuruh masuk ruang operasi. WOW, kayak di tipi-tipi, ada lampu lingkaran yang besar itu. Menurutku ruangannya nggak begitu dingin, tak seperti cerita orang yang melahirkan secara sesar. Mungkin emang beda kali ya, kan kalau SC nggak bius total.

Perawat masuk memasang alat yang dijepitkan di ujung telunjuk. Aku diukur tensi. Dan juga, melepaskan kalung yang ku pakai. Ku lihat dokter anestesi masuk ruangan, mengkonfirmasi ulang bahwa aku sedang menyusui. Beliau berpesan agar aku jangan menyusui dulu sampai sore ini, takut bayinya ikut tidur (karena efek obat). Ku lihat dokter bedah mulut sudah masuk ruangan, sementara itu perawat mulai menyuntikkan obat anestesi melalui infus. Tidak ada perkenalan para dokter dan petugas, tak ada doa bersama, karena aku langsung PET, nggak sadar apa-apa.

Aku baru berasa ketika tubuhku dipindah ke bed dan kemudian didorong. Aku mendengar suara suamiku dan juga perawat yang tadi pagi mengantarku ke IBS. Dalam hatiku, "Oh, udah selesai ya? Kok cepet? Kok nggak ada rasanya?"

Begitu sampai ruangan, aku mulai membuka mata, berusaha sadar sepenuhnya. Ada suami di samping ku. Aku mencoba ngobrol meski dengan suara tak jelas. Aku belum merasakan sakit karena masih ada efek obat bius. Perawat memberikan selembar instruksi pasca operasi dan menganjurkan untuk tidak minum dulu karena dikhawatirkan bisa muntah kerena efek obat.

Rasanya hauuuss banget. Akhirnya minta suami belikan air dingin di kantin. Sementara itu, suami makan jatah makan siangku. Bentuknya nasi padat, euy. Emang diperuntukkan untuk penunggu pasien sih.

Minum air dingin, rasanya NYES! Meski rasanya masih kesusahan untuk menyedot minuman. Pipi kanan dan kiri masih kebas. Lihat suami makan, rasanya pengen makan juga. Lapeeeerr banget. Tapi gimana..

Begitu efek bius habis, RASANYA EHMM.. Kepala cenat cenut, gigi rasanya nyeri, dan mulai bengkak. Sementara itu tenggorokan ku terasa gatal macam ada dahaknya. Ku coba bawa tidur, tapi susah. Ku cuma bisa ha he ha he, nggrayemi sebelum tidur. Sesekali terbatuk karena gatal banget tenggorokannya. Bagian yang bengkak, ku kompres pakai air dingin, lumayan membantu sih, tapi nggak lama. Aku mencoba tidur kembali.

Sekitar pukul 16.00 perawat datang obat. Setelah disuntikkan lewat infus, rasa sakitnya berangsur-angsur membaik. Es teh yang dibeli suamiku terasa nikmat, menyegarkan. Alhamdulillah.

Tak lama, perawat datang lagi ke ruanganku, ingin memindahkanku ke ruang kelas I. Aku jadi naik kelas karena malam ini aku ditemani ibu dan adikku. Kasihan kalau mereka tidur di bangku. Pukul 17.00 sekian, mereka sudah datang.

Malam ini aku dapat jatah makan malam, tak lagi untuk penunggu pasien. Menunya bubur sumsum, tapi masih saja ditambahi lauk tahu, bola daging, dan sayur soup.  Ada juga jeruk dan air mineral. Rasanya enak sekali, mungkin karena aku kelaparan kali ya, jadi napsu makan meningkat. Bubur aku sruput-sruput. Sayur aku kunyah pakai gigi seri. Jeruk aku hisap-hisap. Aku belum berani membuka mulut lebar-lebar. Pipi masih bengkak dan sisa jahitan terlihat sangat menyeramkan.

Abis isya suami pulang. Malam itu ada yang nggak beres dengan tubuhku. Sekitar pukul 20.30 WIB kaki dan tanganku terasa kesemutan, gremet gremet menuju kebas. Padahal suhu ruangan nggak dingin.  Sekitar pukul 22.00 akhirnya panggil perawat katanya nggak apa-apa, cukup diminyakin aja, sambil diobservasi. Berhubung nggak bawa minyak, akhirnya nggak diapa-apain, untungnya masih bisa lanjut tidur.

Pukul 00.15 WIB, 30 Juli, perawat menyuntikkan antibiotik. Aku lanjut tidur dan bangun waktu subuh. Pukul 06.00 aku kembali disuntikkan obat dan ganti infus. Belum boleh dilepas karena nanti jam 08.00 disuntik antibiotik lagi.

Pukul 09.30 WIB, dokter visite. Singkat sekali rasanya. Aku mau bertanya juga bingung, hanya bisa mengeluh bengkak. Kata dokter, itu tandanya udah mau sembuh. Minggu depan kontrol ke poli untuk lepas jahitan. Selebihnya ikuti petunjuk paska operasi sekitar satu mingguan dan obat dilanjutkan dengan oral. Selesai. Dokter pamit.

Pukul 13.00 WIB, aku sudah gerah, pengen lepas infus. Akhirnya diperbolehkan, bahkan sekalian dibekali obat untuk pulang dan juga resume medis untuk kontrol minggu depan. Lega rasanya sudah tak pakai infus. Aku langsung mandi dan bersiap-siap pulang. Pukul 14.00 sekian, aku meninggalkan rumah sakit dan siap menemui anakku yang terpisah selama 46 jam.

Friday, July 19, 2019

Cerita Gigi Bungsu (5) : Hasil Rontgen Gigi dan Jadwal Operasi

Hari ini, 18 Juli 2019 aku kembali ke Poli Gigi dan Bedah Mulut sesuai dengan surat kontrol yang ku terima seminggu yang lalu.


Aku membawa hasil rontgen yang ku ambil hari Rabu, 17 Juli, dengan hasil sebagai berikut.

Klinis : multiple bukoversi gigi 18,28, multipl eembedded gigi 38,48 
Foto panoramic, kondisi cukup. Hasil : 
- Pada gigi 18 dan 28 tampak impaksi (terpendam), bukoversi (Posisi gigi yang tumbuhnya mengarah ke bukal (pipi))
- Pada gigi 38 dan 48 tampak embedded (tertanam)
- Tampak sisa radix (akar) gigi 35

Bertemu dengan dokter, aku langsung konsultasi mengenai hasil rontgen gigi.


Jadi, awalnya, yang ku keluhkan gigi nomor 2, yang mana berlubang dan lubangnya sudah besar. Setelah dicek, ternyata gigi nomor 3 'mengintip'. Lalu dicek juga rahang sebelah kanan yang ternyata gigi bungsunya juga tumbuh tidak sempurna. Begitu di rontgen, kelihatanlah bagaimana posisi mereka masing-masing.

Gigi 1,2,3,5 sudah pasti dicabut.  Gigi no 4 adalah gigi yang berlubang sampai habis, namun masih meninggalkan akar, maka akan ikut dicabut juga. Ku pikir gigi radix ku sudah bersih tak bersisa, ternyata masih ada akarnya. Jadi total ada 5 gigi yang akan dicabut. 


Setelah dilihat lebih lanjut, ternyata gigi nomor 5 menyenggol (bahkan menusuk) gigi di sebelahnya. Dokter memberi pilihan apakah gigi tersebut akan ikut dicabut juga atau tidak? Kalau merasa terlalu banyak gigi yang dicabut, yaudah, nggak dicabut nggak apa-apa. Tapi pasti ada risikonya; 50% gigi tersebut akan berlubang dan kalau perawatannya tidak benar, pasti akan menimbulkan rasa sakit. Gigi itu ada di belakang, sisa makanan akan berkumpul disana, dan biasanya akan susah dibersihkan. Kalau nantinya memang berlubang, bisa atau tidaknya ditambal, tergantung dokter giginya, yang jelas gigi tersebut bisa ditindak tanpa harus ada prosedur bedah. Keputusanku? Aku masih ingin mempertahankannya, berharap dia akan baik-baik saja dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Aamiin.

Selesai konsultasi, dokter menjadwalkan operasi. Aku diberi pilihan antara tanggal 29 Juli atau 7 Agustus. Berpikir singkat, aku memilih tanggal 29 Juli, dengan rencana:
- Sabtu, 27 Juli aku kembali ke poli Gigi dan Bedah Mulut untuk mendapatkan pengantar rawat inap
- Minggu, 28 Juli sore aku datang dan mulai rawat inap untuk dilakukan observasi dan juga puasa sebelum operasi
- Senin, 29 Juli tindakan operasi
- Selasa, 30 Juli diperbolehkan pulang

Oke, deal. Minggu pagi aku mau puas-puasin main bersama anakku, sebelum 2 hari 2 malam kami akan terpisah.

Meski takut, pada akhirnya aku tetap lanjut untuk diambil tindakan operasi. 


1. Aku sadar betul bahwa operasi ini memang jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah. Daripada menunggu sakit yang takbisa diajak kompromi apalagi timbul masalah baru, ya lebih baik sekarang saja. Lagipula aku pakai BPJS dan rujukanku sudah sampai disini, yakin mau minta rujukan dari awal lagi? Enggak, kan?


 2. Dokter yang menanganiku sungguh sangat komunikatif dan menenangkan. Beliau menjelaskan dengan sangat detail dan ramah. Sebanyak apapun pasiennya dan bagaimana kondisi pasiennya, beliau akan tetap fokus menangani pasien di hadapannya dan berusaha maksimal memberikan pelayanan. Selain itu, aku juga melihat histori pasien yang sudah pernah melakukan operasi odontektomi. Banyak juga ternyata! Dan itu membuatku yakin bahwa aku akan baik-baik saja.

3. Awalnya aku takut sakit, la la la. Tapi setelah ku pikir-pikir, aku sudah pernah melahirkan, merasakan bagaimana nyerinya jahitan, dan ternyata aku bisa melewatinya (meski harus meringis dan menahan sakit). Aku yakin kali ini aku juga pasti bisa!


4. Takut ASI mampet dan mengering? Sekarang ini aku pompa cuma 2 kali. Kelihatan banget kalau aku masih belum bisa maintain produksi ASI dengan baik. Kalau nantinya kering, itu artinya aku harus ada usaha lebih untuk menaikkan produksi ASI. Lagipula si bayi masih 4 bulan, masih memungkinkan untuk dikejar produksinya.

5. Takut bingung puting? Aku percaya bahwa apa yang terjadi adalah ketetapan Allah, semua sudah sesuai dengan skenario Allah. Misal nih amit-amit ternyata si bayi memang bingung puting, ya itu memang sudah rencana Allah. Kalau bukan dengan operasi odontektomi, mungkin nantinya akan ada kejadian lain yang menyebabkan bingung puting. Gitu sih aku mikirnya. Yang bisa ku lakukan sekarang cukup percaya pada Allah dan juga percaya pada bayiku. ALL IS WELL.
 
Itu sih beberapa poin yang akhirnya aku berani maju untuk mengambil langkah besar ini. Semoga operasi ini menjadi titik balik kehidupan gigiku. Satu per satu, masalah gigi ini harus beres. SEMANGAD!

Thursday, July 18, 2019

Quote of The Day : Ucapan

Kita tak pernah benar-benar tahu selama belum merasakannya sendiri.
Baru saja lihat media sosial, ada seorang teman, wanita, yang usianya (mungkin) lebih tua dariku, dan belum menikah. Aku dalam hati, "Nikmatilah waktumu sekarang. Puaskan diri sebelum berkeluarga. Tak apa nikah nanti-nanti."

Aku umur 25 tahun, ketika diceramahi seperti itu, ada rasa kesal, "Ya kamu nggak ada di posisiku. Kamu nggak tahu rasanya berada di lingkungan yang semuanya sudah menikah. Kamu nggak tahu gimana saat orang tua mulai bertanya 'mana calonnya'."

Sekarang setelah menikah, baru deh bisa ngomong "Nikahnya nanti-nanti nggak apa-apa." Tapi kalau aku katakan hal ini ke teman yang belum menikah, bisa saja responnya seperti aku saat umur 25 tahun. Karena yang tahu benar tentang diri kita ya hanya kita sendiri. Kita yang merasakan, orang lain hanya bisa melihat dan berasumsi.

Aku juga jadi ingat waktu itu, saat aku menyemangati Bulikku yang akan operasi mastektomi. "Semangat Lik, harus berani. Percaya pada Allah, semua akan baik-baik saja." 

Satu tahun berlalu dan ...
.
.
.
ternyata aku dihadapkan pada kondisi untuk operasi karena masalah gigi bungsu (operasi odontektomi). Seketika kalimat semangat yang pernah ku ucapkan itu mendadak luntur berubah menjadi ketakutan. Mungkin seperti inilah yang dirasakan Bulikku waktu itu. Apapun yang orang lain katakan, orang lain nggak akan bisa benar-benar ikut merasakan. 

Akan tetapi, setelah ku pikir-pikir, ya nggak ada salahnya orang lain memberikan pendapat/saran/motivasi karena siapa tahu orang yang mendengarkan bisa mendapat insight atau sedikit pencerahan. Tapi penting banget untuk melihat kondisi, jangan sampai membuat si pendengar merasa tidak nyaman dan yang paling penting, jangan memaksakan apa yang disampaikan. Apa yang kita anggap benar, belum tentu benar di mata orang lain. ^^


Friday, July 12, 2019

Cerita Gigi Bungsu (4) : Takut Operasi

Sore hari setelah siangnya periksa di poli Gigi dan Bedah Mulut, akhirnya pecah juga tangisku di depan suami. Aku takut. Takut Operasi.

Harusnya aku perlu tak kaget lagi saat dokter bilang 'harus operasi' untuk mencabut gigi bungsu karena sebelumnya aku sudah mencari tahu tentang operasi odontektomi.

Odontektomi merupakan operasi yang dilakukan untuk mengangkat (ekstraksi) sebagian atau keseluruhan gigi yang mengalami impaksi (tertanam) di dalam tulang. Sumber : www.alodokter.com

Baca : Cerita Gigi Bungsu (2) : Rujukan

Yang tak ku ketahui dari operasi tersebut adalah prosedurnya yang mana harus rawat inap dan bius total. Seketika nyaliku menciut ketika dokter menyampaikan hal tersebut. Padahal sebenarnya enak ya karena tak perlu mendengar bunyi bor yang mendesing-desing.

Baca : Cerita Gigi Bungsu (3) : Dokter Bedah Mulut


Gimana ya? Apa operasi ini memang harus dilakukan?

Kondisiku sekarang ini, aku merasakan sakit, tapi masih bisa ditolerir. Hanya saja, sangat mengganggu saat proses makan. Aku tak bisa merasakan makan enak dan banyak. Dan ini berdampak pada berat badanku yang sekarang hanya 45kg. Subhanallah. Badan terasa kering dan ringkih. Tulang menonjol dimana-mana. Hiks, sedih. Selain itu, aku sering kali migrain di sebelah kiri, sepertinya memang efek samping dari gigiku yang sakit. Namun, lagi-lagi, semua rasa sakit itu masih bisa ditolerir.

Akan tetapi, baca tentang gigi bungsu yang tidak tumbuh sempurna, apabila dibiarkan saja, maka sakitnya akan awet sepanjang masa. Bahkan bisa merusak gigi yang ada di sebelahnya. Selain itu, letak gigi bungsu bisa dijadikan sarang bakteri, kuman, yang pada akhirnya bisa jadi kista, tumor, dan semacamnya. Ngeri ya?!

Untungnya, dokter yang menanganiku cukup informatif, ramah, dan menyenangkan. Jadwalnya pun masih penuh sampai akhir Juli. Aku masih punya cukup waktu untuk menyiapkan mental menghadapi operasi ini.

Selain takut dengan prosedur bedah, ada beberapa hal yang ku pikirkan terkait operasi ini. Katakanlah aku dirawat selama 3 hari, selama itu pula aku akan meninggalkan anakku. Huhuhu T.T

Anakku mungkin bisa minum ASI perah pakai dot. Insyaallah aku mampu menyediakannya. Tapi bagaimana pasca operasi? Aku takut, terlalu lama anakku tidak DBF, dia akan bingung puting dan menolak menyusu langsung padaku. Aku takut,  lama tak dikeluarkan dari badan, ASI akan mampet dan mengering. Wajar nggak sih aku mengkhawatirkan hal ini? Atau mungkin aku terlalu berlebihan memikirkan kemungkinan ini. 

Thursday, July 11, 2019

Cerita Gigi Bungsu (3) : Dokter Bedah Mulut

Mendapat rujukan dan tak langsung ditindak artinya harus kembali mengumpulkan keberanian lagi.  Tapi kali ini, aku harus berani. Sudah sampai sejauh ini, kalau tidak lanjut, nanti-nanti harus minta rujukan lagi. Lagipula sekarang rujukan rumah sakitnya di tempatku bekerja. Aku bisa berobat sambil bekerja.

Kamis, 11 Juli, aku mendaftar. Aku menuju poli Gigi & Bedah Mulut sekitar pukul 10.30 WIB. Saat giliranku tiba, aku masuk ke ruang praktek, sementara dokter menyelesaikan konsultasi dengan pasien sebelumnya.

Pukul 11.15 WIB aku bertemu dengan dokter, ku sampaikan keluhanku. Dokter melihat gigiku yang berlubang, selanjutnya memeriksa pangkal rahangku, kiri dan kanan, menekannya, hendak memastikan sesuatu.

"Ini harus operasi ya dan harus rawat inap."

tuh kan tuh kan tuh kan tuh kan. WANNA CRY.

"Kalau rawat inap berapa hari, Dok?"
"Sehari sebelum operasi dan sehari setelah operasi."

LEMES.

"Atas bawah kiri kanan, nanti diambil semua."
"Tapi yang sakit sebelah kiri aja, Dok. Yang kanan bahkan gigi bungsunya belum keluar sama sekali."
"Belum. Nanti lama-lama akan sakit, karena posisinya melintang, tidak tegak."

"Sebenarnya gigi (bungsu) saya yang atas sudah keluar semua ya Dok."
"Iya, tapi berlubang dan posisinya miring ke arah pipi. Sementara yang bawah, hanya ngintip. Sedangkan yang kanan, belum keluar, tapi posisinya melintang. Nanti di rontgen ya biar ketahuan posisi giginya. Untuk sekarang saya resepkan obat, minggu depan kontrol sambil bawa hasil rontgennya."
"Tapi saya lagi menyusui Dok, aman nggak?"
"Aman. Nanti dipilihkan obat yang aman untuk ibu menyusui."

Selesai diperiksa, aku berjalan menuju meja konsultasi.

"Kenapa sih Dok, rawat inap nya harus sehari sebelum operasi? "
"Nanti kan bius total, jadi harus puasa dulu, cek darah apakah ada alergi, ada resiko pembekuan darah nggak, dan sebagainya"

((BIUS TOTAL))

"Minggu depan kontrol sambil dibawa hasil rontgennya ya. Setelah itu baru kita jadwalkan operasinya."

Dokter melihat kalender yang penuh agenda. Bulan Juli sudah penuh, kemungkinan bulan Agustus baru kosong.

Aku diberikan surat perintah kontrol untuk periksa minggu depan, surat pengantar radiologi, dan resep obat. Aku pun pamit undur diri, tak lupa mengucapkan terima kasih pada dokter.

Keluar ruangan, aku menuju ke Depo Farmasi. Aku diresepi obat :
CEFADROKSIL TAB 500 MG @100
AS.MEFENAMAT TAB 500 MG 
RANITIDIN TAB 150 MG

Semuanya aman untuk ibu menyusui, bahkan ibu hamil juga.


Selanjutnya aku pergi ke Radiologi. Tanpa menunggu lama, aku menuju ruangan untuk rontgen. Aku disuruh berdiri di depan alat, nanti alatnya muter di kepala. Langsung deh keluar hasilnya di layar.  Gigi bungsu bawah kanan kiri dua-duanya dalam posisi tidur. Yakin sudah gigi itu tak bisa tumbuh sempurna, tinggal menunggu sakitnya 😭

Hasil rontgen tak langsung ku ambil karena harus di-expertise dokter dan aku perlu dijelaskan hasilnya.

Dengan lunglai, aku kembali ke ruang kerja.

Apakah aku punya keberanian untuk operasi?

Wednesday, July 10, 2019

Cerita Gigi Bungsu (2) : Rujukan

Setelah maju mundur untuk pergi ke dokter gigi, ternyata aku masih punya keberanian untuk maju.

Sabtu, 06 Juli, aku kembali ke dokter gigi di faskes I. Kali ini aku datang lebih awal, jam 10.30 WIB. Masuk ke ruangan, dokter memeriksa rekam medisku.

"Kemarin udah jadi periksa ke rumah sakit?"
"Belum, Dok."
"Terus ini mau minta rujukan lagi?"
"Kalau ditindak disini bisa nggak Dok?"
"Nggak bisa. Soalnya itu geraham paling dalam."

Baiklah, akhirnya aku dirujuk ulang, masih dengan diagnosis yang sama, pulpitis



Kali ini aku memilih rumah sakit yang sama saat aku periksa kehamilan dulu. Disana, meski jadwal dokter sore, tapi bisa daftar lewat Whatsapp.

 
Selasa, 09 Juli, aku pergi ke rumah sakit. Jadwal dokter jam 14.00 WIB dan aku dapat urutan ke-3. Ditunggu hingga jam 15.00 WIB dokternya belum juga datang. Tak tahulah nanti selesai jam berapa. Kasihan anakku, huhu.

Dokter baru datang sekitar jam 15.30 WIB. Aku menunggu giliranku tiba. Sekitar pukul 15.45 WIB namaku dipanggil. Dokter melihat riwayat rekam medisku, penuh dengan catatan dokter kandungan.

Setelah memastikan aku tidak sedang hamil dan sudah melahirkan, dokter melakukan anamnesis dan memeriksa gigiku yang sakit.

"Yang sakit yang mana?"
"Geraham kiri atas paling belakang."
"Iya, berlubang. Ini yang bawah juga berpotensi sakit ya. Soalnya tumbuh tidak sempurna. Saya rujuk ke dokter bedah mulut ya?"
"Nanti dicabut atau bisa ditambal Dok?"
"Dicabut ya, itu gigi geraham paling belakang. Dengan dua geraham saja sebenarnya cukup untuk mengunyah. Lagipula, alatnya nggak nyampe buat nambal geraham itu."

Btw, gigi geraham yang berlubang ternyata gigi bungsu yang sudah keluar di bagian kiri atas.

"Kemarin geraham yang bawah (gigi bungsu kiri bawah) juga sudah sempat sakit sih dok."
"Iya, soalnya yang keluar cuma sedikit. Nantinya bisa bengkak, infeksi, sebaiknya dicabut juga."
"Serem, Dok."
"Nggak apa-apa. Saya dulu juga pernah kok."

Akhirnya aku pasrah menerima rujukan dengan diagnosis K07.3. Anomalies of tooth position. Dalam hati berkata, "Apakah berakhir dengan operasi odontektomi?" Huhu.


Sunday, July 07, 2019

Tengkurap Pertama Si Bayi

Begini ya rasanya punya bayi, selalu dibuat amazed sama tingkah lakunya. Baru seminggu yang lalu merasa gagal jadi ibu gara-gara sepanjang malam rewel, nangis nggak ngerti maksudnya. Nggak gagal banget deng, karena masih bisa kalem, nggak emosi menghadapinya. Di minggu ini dibuat terharu karena si bayi akhirnya bisa tengkurap sendiri. Yeay, sebuah pencapaian di usia 3m14d.

Tadinya sempat khawatir karena siang, sore, malam tanggal 06 Juni, kok tidur terus. Aku pulang kerja masih tidur. Bangun, ku susui tidur lagi. Setelah mandi, tidur lagi. Dia bangun saat jam makannya tiba. Ku pikir bakal begadang nih. Tapi nggak seburuk yang ku bayangkan.

Entah jam berapa saja, dia terbangun. Yang jelas, pukul 03.00 WIB aku benar-benar terjaga melihat aksinya. Setelah 2 malam dia miring-miring tapi belum berhasil, kali ini dia sukses besar. Suami yang biasanya tetap tidur saat si bayi bangun,  kali ini ia ikut terjaga memperhatikan anak kami. Kami berdua saling senyum menatap anak kami yang sedang berjuang penuh semangat.


Meski harus mengeluarkan tenaga dalam, akhirnya dia berhasil tengkurap sendiri. Selamat anakku, kamu berhasil. 

Pagi hari sekitar jam 08.00 WIB, si bayi tidur di kamar. Aku menjemur baju dan membuatkan kopi untuk suami yang masih tidur di kamar bersama si bayi. Begitu aku buka pintu, taraaaaa... Si bayi dalam posisi tengkurap. Wih, makin jago ternyata. Bahagia sekali rasanya.


Setelah ini, PR nya membalikkan badan dari tengkurap ke posisi awal. Semangat terus anakku 😊

Saturday, July 06, 2019

Cerita Gigi Bungsu (1) : Pulpitis

Satu hal yang menakutkan bagiku adalah pergi ke dokter gigi. Ada trauma masa kecil yang terus menghantui hingga sekarang.


Sayangnya, meski takut dan nggak suka, ada saja permasalahan gigi yang memaksa ku untuk segera berkunjung ke dokter gigi, apalagi sejak menyusui bayi, rasa-rasanya semua masalah menumpuk jadi satu;
1. Gigi geraham paling belakang berlubang
2. Gigi geraham bungsu yang sudah ditunggu setahun lebih tapi mahkotanya hanya muncul sedikit
3. Nyeri pada gigi yang sakit saat hamil
4. Karang gigi yang menumpuk
5. Gigi rasanya rontok saat makan makanan panas dan dingin

Banyak sekali! Entah bagaimana mengatasinya. Inginku abaikan rasa sakit yang datang, tapi ku pikir-pikir aku masih muda, masa depanku masih panjang (insyaallah), masa iya aku menyerah dengan keadaan, masa iya umur belum kepala tiga tapi sudah sakit-sakitan. Akhirnya aku beranikan diri pergi ke dokter gigi.

Sabtu, 22 Juni, pulang kerja jam 13.00 WIB, aku pergi ke Faskes I. Niatnya mau minta rujukan karena setahuku dokter gigi disana praktiknya sore. Ternyata ada dokter gigi yang jaga pagi hingga siang. Meski mepet jam pulang, aku tetap diperiksa. Ku sampaikan keluhanku. Dari sekian banyak, hanya boleh pilih satu yang urgen. Aku pilih geraham yang berlubang karena lubangnya nggak kira-kira, sebutir nasi utuh bisa tersangkut di lubangnya, dan itu cukup mengganggu.

Dokter menyuruhku membuka mulut. Dia membenarkan ada lubang di gerahamku dan tentu saja dia gagal fokus pada 'gigi lebih' yang ku punya dan merekomendasikannya untuk dicabut.

Selesai diperiksa, aku diberi surat rujukan ke rumah sakit dengan diagnosa pulpitis. Ku pikir 'Oh, mungkin mepet jam pulang, makanya dirujuk ke rumah sakit'.

Pulpitis adalah peradangan yang terjadi di pulpa, bagian gigi yang berisi saraf-saraf dan pembuluh darah. Pulpitis bisa terjadi ketika lapisan pelindung yaitu email dan dentin mengalami kerusakan dan terinfeksi oleh bakteri sehingga muncul pembengkakan. Rusaknya lapisan tersebut disebabkan oleh berbagai kondisi seperti gigi berlubang yang berlangsung lama, cedera gigi atau bruxism (aktivitas menggemeratakan gigi saat tidur). Sumber : www.doktersehat.com

Aku pilih rumah sakit dekat rumah, biar kalau antrinya kelamaan bisa nunggu di rumah.

Senin, 24 Juni, pulang kerja jam 14.00 WIB aku pergi ke rumah sakit. Sesampainya disana, aku cukup kecewa karena pendaftaran sudah ditutup. Meski dokter praktek siang, mulai jam 13.00 WIB, tapi pendaftaran dimulai dari jam 07.00 - 12.00 WIB. Wah ya repot nih. Apa iya harus cuti?

Bingung cari waktu yang tepat, akhirnya seminggu terlewati. Hangus sudah rujukan tersebut dan harus minta lagi ke Faskes I.

Selasa, 02 Juli, saat makan siang, tiba-tiba "nyuuuttt", gerahamku yang berlubang sakit sekali. Sejak hari itu sakitnya nggak hilang-hilang.

Sementara itu, aku masih maju mundur untuk bertemu lagi dokter gigi di Faskes I. Selama itu, ku tahan sakit yang ada, apalagi saat jam makan tiba. Rasanya lapar, tapi gigi sakit untuk mengunyah. Huhu.

Apakah aku masih punya keberanian untuk pergi ke dokter gigi?

Friday, July 05, 2019

Kapan Bayi Siap Pakai Popok Sekali Pakai (Pospak)?

Awal jadi ibu baru, aku suka bertanya-tanya; umur berapa ya bayi pakai pospak di kesehariannya?

Sebenarnya bisa-bisa saja dipakaikan sejak bayi lahir. Toh ada ukuran newborn yang modelnya perekat sehingga mudah dipakai dan diganti. Akan tetapi, ada beberapa pertimbangan yang membuat ku tidak memakaikan pospak sejak bayi lahir;

1. Kurang nyaman dan Khawatir Ruam Popok
Kulit bayi masih sangat sensitif. Penggunaan pospak dikhawatirkan akan menyebabkan ruam popok pada bayi. Si ibu merasa tenang melihat bayi tidak gelisah saat BAK dan BAB hingga kadang terlena, lupa mengganti pospak secara berkala. Padahal terpapar urine dan poop terlalu lama tidak baik, apalagi bagi newborn yang mana antibodinya belum terlalu kuat untuk melawan kuman yang ada pada pospak yang sudah penuh. Lagipula, rasanya bayi juga merasa kurang nyaman saat dipakaikan pospak karena terlalu rapat dan lembab.

2. Boros
Bayi newborn itu dalam sehari bisa BAB lebih dari 5 kali. Kalaupun tidak BAB, pasti akan keluar ampas setelah BAK. Jika setiap keluar ampas poop, pospak harus diganti, bayangkan saja berapa pospak dalam sehari. Banyak, euy. 

Poin nomor 2 merupakan alasan terkuat mengapa aku tak memakaikan pospak sejak anakku lahir. Nggak sanggup belinya. Mending repot ganti popok dan cucian jadi lebih banyak. Butuh effort juga untuk membersihkan poop di popok kain. Tapi tak mengapa, dibandingkan sehari pakai pospak minimal 5kali, kan nggak sayang lingkungan.

Hingga umur dua bulan, aku masih setia pakai popok kain untuk bayiku, meningkat jadi celana pop deng. Popok bayi sudah mulai kekecilan. Saat aku harus kembali bekerja, aku rela bangun lebih pagi untuk membersihkan kotoran di celana anakku. Hingga hari itu tiba.
.
.
Tanggal 12 Juni  pagi aku mencuci baju anakku(2m20d). Aku merasa ada yang aneh. Kok tumben celana yang terkena poop hanya sedikit. Biasanya hampir di setiap celana, ada kuning-kuningnya. Ini enggak. Pekerjaanku soal cuci-mencuci ini jadi lebih ringan dari biasanya.

Dan ternyata, setelah hari ini, bayiku tidak BAB selama berhari-hari. Awalnya masih kalem, toh bayi hanya minum ASI. Jadi wajar kalau dalam sehari tidak BAB. Dua hari, tiga hari, terus meyakinkan diri bahwa tidak apa-apa bayi tidak BAB. Dia tidak rewel, tidak terlihat kesakitan. Seminggu belum BAB, bayi mulai sering kentut dan baunya sangat menyengat. Mulai panik dong, tapi mencoba tetap kalem karena belum genap 14 hari bayi tidak BAB. Meski demikian, aku mulai mengagendakan kapan harus dibawa ke dokter untuk diperiksa.

Nah, saat itulah, saat dimana bayi tidak BAB selama berhari-hari, aku mulai pakaikan pospak untuk kesehariannya. Ku rasa itulah jawaban dari pertanyaanku "Kapan Bayi Siap Pakai Pospak?"

Pada akhirnya, di hari ke-10, tanggal 21 Juni, bayiku BAB. Alhamdulillah, nggak jadi periksa ke dokter. Tekstur poop nya berbeda dari saat dia bayi. Kalau dulu encer ada ampasnya, sekarang mirip bubur. Sejak saat itu, aku mulai memperhatikan kapan bayi BAB;

21 Juni
25 Juni
28 Juni
2 - 3 Juli

Rata-rata 3-4 hari sekali ya. Aman lah kalau sekarang pakai pospak, nggak terlalu boros. Lagipula, di usia sekarang ini, bayi lebih aktif. Dia sedang suka posisi tengkurap dan duduk. Daripada saat asyik beraktifitas harus diintervensi dengan acara ganti celana, dan juga najis dimana-mana, mending pakai pospak saja. Asal ingat untuk rutin menggantinya saat sudah penuh.

Akan tetapi, perlu juga lho menyiapkan pospak bagi newborn. Nantinya dipakai saat pulang dari rumah sakit atau dipakai saat pergi imunisasi.

Bayi Minum Pakai Dot Jadi Cepat Tidur, Benarkah?

"Dia ini kalau minum pakai dot, cepat banget tidurnya. Kalau malam lagi rewel, nggak mau tidur, kasih dot aja."
Heu, jiwa idealis ku mulai berontak. Siang dot, malam dot, kapan aku menyusui langsung? Sore aja? Lama-lama bisa kering lah ini. Lagipula menyusui bukan hanya sebatas memberi ASI, tapi ada manfaat non nutrisi yang didapat, yakni bonding (ikatan) dengan anak makin kuat. Eaa, pikiran ku berkecamuk.

Ada apa sebenarnya?

Sudah hampir seminggu ini (mulai tanggal 29 Juni 2019), bayiku rewel setiap malam. Tak biasanya dia bersikap seperti itu. Ku pikir karena pilek. Tapi pileknya nggak yang parah-parah banget sampai dia kesusahan nafas, enggak. Dan makin kesini, pileknya makin mereda, dia masih aja suka rewel di malam hari. Asumsi lain, mungkin dia lagi growth spurt. Tapi dia nggak dalam mode lapar minta susu mulu sih. Jadi mungkin memang bukan growth spurt.

Kemarin, 4 Juli 2019, aku tanya ke Tante yang ikut menjaga bayi saat ku tinggal kerja, "Dia kalau siang belajar miring-miring gitu nggak sih?"

"Nggak. Orang kerjaan dia tidur. Habis ngedot tidur, mungkin rahangnya capek kali ya, jadi gampang tidur."

Nah, aku tahu sekarang akar permasalahannya. Bukan karena minum pakai dot, dia jadi mudah tidur. Tapi karena jam tidurnya sudah terbalik. Siang tidur terus karena malam tidurnya kurang. 

Awalnya mungkin memang karena pilek. Soalnya malam maupun siang, tidurnya sebentar-sebentar, dan lebih rewel. Semakin kesini, pola tidurnya mulai berubah.

Dua malam terakhir, bayiku menunjukkan kemampuan terbaru. Setelah sebelumnya dia menolak untuk dibaringkan karena memilih untuk ditengkurapkan dan diposisikan duduk, sekarang dia di fase miring-miring.


Semalam jam 00.00 WIB dia terbangun. Aku susui dia sampai aku ketiduran, sementara dia tidak. Dia main sendiri, menggerak-gerakkan kaki dan tangannya. Sesekali memekik membuatku membuka mata. Ku lihat dia sedang memandangku dengan wajah yang menggemaskan. Aku tersenyum, dia pun ikut tersenyum. Momen yang sungguh sangat spesial, sayangnya hanya di detik itu saja karena di detik selanjutnya, mataku terpejam, berat, masih ingin tidur. Si bayi pun jengkel, akhirnya merengek minta ditemani.

Aku mengumpulkan nyawa terlebih dahulu, bangun dan diam sebentar. Setelah cukup stabil, baru ku temui anakku. Ku ajak ngobrol, dia girang sekali. Tapi tak lama. Dia kemudian memiring-miringkan badannya (belajar tengkurap). Karena belum bisa mengangkat kepalanya, dia merasa jengkel. Akhirnya ku bantu. Baru saja tengkurap, dia menggerakkan badannya, berguling ke posisi semula. Dia agak sedikit kaget, tapi tidak menangis. Dia ulang lagi miring-miring, aku bantu. Kali ini cukup lama dia tengkurap, sampai bosan, hingga merengek minta tolong. Aku bantu dong, kembalikan dia ke posisi rebahan. Eh dia nangis kejer. Kayak nggak terima (padahal udah capek -___-") Udahlah gitu aja terus sampai jam 02.00 WIB. Dia menangis seakan bilang "aku masih ingin melakukannya, tapi aku capek". Kalau sudah seperti itu, aku susui, usap-usap sampai tertidur.

Kalau bisa langsung tidur pulas, aku senang sekali. Tapi kalau harus cranky, nangis kenceng, digendong berontak, disusui ditolak, sampai kehabisan cara untuk menenangkannya, aku pun cuma bisa mengeluarkan stok sabar sebanyak-banyak, tahan emosi, sampai ketiduran -,-" saking nggak tahunya mesti ngapain, sering kali aku tiduran hingga tak sadar kalau sudah tidur beneran. Tapi ya nggak lama, karena mana tega sih dengar tangisan bayi. Semua orang di rumah juga sudah berusaha menenangkannya, tapi gagal. Akhirnya ya udah, tunggu dia capek, baru bisa tidur. Itulah yang terjadi pada malam sebelum tadi malam.

Momen begadang ini, di satu sisi aku merasa senang karena 'wih, anakku sedang semangat belajar dan dia ingin aku yang menemaninya.' Jadinya aku nggak akan kehilangan momen perkembangannya meski aku bekerja. Tapi disisi lain, ngantuk banget euy. Lagipula, rasanya kurang bagus kalau pola tidurnya berantakan seperti ini. Kasihan juga kalau dia bangun, ternyata orang yang menemaninya nggak 100% ON. Bahkan beberapa kali ditinggal tidur. Huhu. Semoga seiring dengan usia dan perkembangannya, semua akan berjalan normal semestinya.
.
.
Dan pada intinya, bayi minum pakai dot bisa jadi cepat tidur belum tentu terbukti kebenarannya. Kalau emang belum jamnya tidur, yakinlah dot itu akan dilepeh-lepeh.

Thursday, July 04, 2019

Kebutuhan Kain Bedong untuk Newborn Baby

Beberes perlengkapan bayi yang sudah tak terpakai, aku menemukan setumpuk kain bedong ini.


Enam kain bedong tersebut dipakai pertama kali tanpa dicuci dan disetrika, serta masih bau pabrik. Kok tega? Apalagi kalau bukan karena terpaksa.

Sebagai cucu kesekian (bukan cucu pertama), nenek dari kedua belah pihak udah wanti-wanti "nggak usah beli banyak-banyak, pakai yang sudah ada saja". Termasuk kain bedong ini. Di rumah sudah ada 4 buah. Aku beli lagi 3 buah. Total ada 7 buah. Hasil baca-baca pengalaman orang lain, untuk kain bedong cukuplah punya setengah lusin saja. Merasa cukup dong ya hanya beli 3 biji aja.

Akan tetapi, siapa sangka bayiku terlahir dengan diagnosis BBLR yang mengharuskan rawat inap 3 hari di rumah sakit. Kebetulan selama dua hari berturut-turut hujan terus. Tiap kali melihat stok baju bersih, selalu bertanya-tanya kain bedong yang dicuci sudah kering belum ya. Hingga saat itu tiba, ketika aku mengunjungi bayiku di ruang perina, bayiku kok bau pesing, ternyata kain bedong yang sudah terkena pipis dipakai lagi gara-gara tak ada lagi kain bedong yang bersih. Huhu. Akhirnya minta suami beli, yang untungnya tersedia di koperasi rumah sakit, seharga Rp 14.000,-/buah. Beli sebanyak 3 buah. Tak memungkinkan untuk dicuci dulu (karena nggak tahu kapan keringnya) akhirnya langsung dipakai meski masih bau pabrik.


Selang beberapa waktu, kembali di titik 'kehabisan kain bedong', akhirnya baru kepikiran untuk beli pospak (popok sekali pakai). Pospak dibeli, tapi tetap beli kain bedong lagi sebanyak 3 buah. Meski sudah pakai pospak, bayi kan tetap harus dibedong untuk menjaga suhu tubuh agar tetap hangat. Dan lagi-lagi, kain bedong yang dibeli, langsung dipakai tanpa dicuci. Kasihan sih sebenarnya, tapi ya gimana lagi.

Kenapa tak dari awal pakai pospak? Karena nggak tahu akan seboros itu pakainya. Ku pikir bisa cuci kering pakai, tapi kok ndilalah hujan terus.

Jadi total bedong yang dimiliki = 4+3+3+3 = 13 buah. Begitu sampai rumah, semuanya tetap berguna dan terpakai (tidak merasa kebanyakan) karena frekuensi pipis bayi > 6 kali dan tidak pakai pospak. Basah ganti, basah ganti. Cukup untuk sehari semalam.

Lantas, sampai kapan sih bayi dibedong? Sampai bayi menolak dan selama kain bedong masih muat di badan bayi. Kira-kira umur 1 bulan, bayi sudah merasa tak nyaman dibedong dan kalau kain bedongnya tidak terlalu lebar (seperti foto di atas), semakin bayi tumbuh besar, kainnya tak lagi bisa membungkus badan. Bisa sih, tapi gampang lepas.

Meski demikian, saat bayiku umur 2 bulan, aku tetap membedongnya di waktu-waktu tertentu yakni saat bayi terlihat lelah dan mengantuk. Biasanya dia agak rewel saat ngantuk. Begitu dibedong, dia jadi tenang dan langsung tidur. Seharian tangannya bergerak aktif, ada kalanya perlu diistirahatkan dengan cara dibedong.

Eh, udah tahu kan cara membedong yang benar. Tak perlu lah terlalu kencang hingga kaki 'ndlujur' lurus. Sekarang ini, biasanya nenek-nenek nih yang suka membedong dengan cara lama, ibarat baju, terlalu ketat.

"... baik dibedong atau pun tidak, secara normal seluruh bayi lahir dengan lutut bengkok. Jadi, bedong tidak bermanfaat untuk meluruskan lutut. Bedong pada bayi yang terlalu kencang dan kuat justru dapat menyebabkan panggul bergeser. Jika anda sudah terbiasa membedong bayi anda dengan alasan supaya bayi lebih hangat boleh saja asalkan saat dibedong panggul bayi tetap dapat bergerak bebas. (www.idai.or.id)"

Semoga kelak saat aku jadi nenek-nenek, aku tak begitu pada cucuku. Tapi ya tergantung ilmu yang berkembang saat itu juga deng. Sekarang perbanyak ilmu, belajar jadi ibu. Besok saat jadi nenek, ya harus belajar lagi. Setidaknya belajar menghargai cara anak dalam membesarkan anaknya ^^