Thursday, May 16, 2019

Seminggu Sebelum Kembali Bekerja

Ya Allah, rasanya baru kemarin mengajukan form cuti, sekarang tinggal seminggu aja.

Ada perasaan senang, sedih, deg-degan, khawatir, takut, ketika cuti berakhir. Senang karena akhirnya bisa keluar rumah berjam-jam setelah dua bulan tak pergi kemana-mana. Tapi kemudian kepikiran "Gimana nanti ya kalau Si Kecil ditinggal kerja?", apakah jadi gelisah dan tak bisa tidur nyenyak, apakah mau minum asi perah dengan lahap, apakah akan rewel dan nangis seharian, serta apakah lainnya yang menunjukkan kekhawatiranku.

Aku pasti akan mellow, sama seperti saat aku meninggalkan bayiku untuk kontrol pasca melahirkan waktu itu. Tapi aku percaya, waktu akan mempermudah segalanya.


Mungkin di awal-awal, aku dan dia sama-sama tidak nyaman. Nanti lama kelamaan juga akan terbiasa. Setidaknya aku sudah memastikan beberapa hal sehingga aku bisa tenang meninggalkannya bekerja.

1. Siapa yang menjaga bayi?
Awalnya aku dan suami sepakat untuk mencari ART (khusus jaga bayi), tapi orang tua tak setuju karena mereka kurang percaya dengan jasa tersebut; lebih baik penjagaan dan pengasuhan di tangan mereka. Baiklah, kami pasrahkan Si Bayi bersama Akung dan Utinya selama ditinggal kerja.

Tenang sih, karena bayi dijaga orang terpercaya, tapi ada rasa takut dosa karena memberi beban pada orang tua. Dulu sudah membesarkan kita, sekarang membesarkan anak kita. Duh!

2. Bagaimana pemberian asi pada bayi?
Alhamdulillah, freezer pada kulkas 2 pintu sudah penuh dengan asi perah. Beberapa waktu yang lalu malah sempat membuang beberapa stok lama karena keterbatasan ruang penyimpanan.


InsyaAllah stok sekarang cukup untuk 1 bulan ke depan. Bisa terkumpul sebanyak itu bukan karena asiku mengalir deras, tapi aku sudah mulai mengumpulkan sejak lahiran. Sehari dapat 1 kantong asi syukur alhamdulillah menambah stok. Sampai sekarang pun, asi juga tak melimpah ruah. Satu kali sesi pumping rata-rata hanya dapat 100ml. Tapi semoga saja Allah SWT cukupkan dan aku bisa terhindar dari rasa malas.

Untuk pemberian asip nya, aku pakai dot. Urusan dot ini cocok-cocokan, mahal atau murah bukan penentu bayi akan mudah menerimanya. Aku sudah menyediakan 2 merk dot. Ternyata 1 nya kurang nyaman di mulut bayi, sementara 1 nya sudah dicoba dan berhasil.

Sejujurnya aku tenang ketika bayi bisa minum dot dan mau minum asi perah. Setidaknya dia tak akan kelaparan ketika ku tinggal kerja. Tapi, ada bayang-bayang bingung puting yang menghantui. Takut. Tapi semoga saja hal itu tidak terjadi. Aku kerja dari jam 07.00 - 14.00 WIB, mungkin minum hanya 3 - 4 kali dengan pola tidur yang sekarang. Semoga resiko itu tak berlaku untukku dan bayiku. Bismillah.

Dua hal di atas membuatku yakin dan merasa tenang saat harus kembali kerja. Tinggal bagaimana nanti eksekusinya, apakah baik-baik saja atau harus ada drama. Nah, yang jadi pikiranku saat ini adalah bagaimana mengatur waktu dan tenaga.

Sekarang ini, pola tidur bayiku masih berubah-ubah, khususnya malam hari. Kalau dia bangun, menyusu, langsung tidur lagi, akan sangat nice sekali. Tidurku bisa sangat berkualitas. Tapi itu hanya kadang-kadang karena biasanya begitu bangun, menyusu, bayi akan berjaga hingga 2 jam ke depan. Selama itu ya dia BAK, BAB, nangis, dan mengoceh sebentar (tak ada satu menit, langsung kembali menangis). Begitu tertidur, hanya bertahan 15 - 20 menit untuk kemudian bangun lagi 😭 'Merem - melek' seperti ini membuat ngilu di kepala. Selepas subuh akhirnya tidur lagi dan bangun jam 7 lebih. Karena masih cuti ya nggak masalah mau bangun jam berapapun. Tapi nanti kalau sudah masuk kerja gimana? Huhuhu. Tapi itu sudah jadi konsekuensi sebagai working mom sih, urusan rumah dan kantor harus bisa terselesaikan dengan baik. Jangan sampai capek mengerjakan pekerjaan rumah, kerjaan kantor jadi terbengkalai, atau sebaliknya. Pinter - pinter atur waktu aja dan tentunya jaga kesehatan.

Salut untuk para ibu bekerja. Kalian luar biasa. Sebagai seorang "newbie" aku harus banyak belajar 💪

Monday, May 13, 2019

Kenapa Bayi Perempuan harus Ditindik/Beranting?


Pagi ini, aku sedang mencuci baju di belakang. Si bayi sedang bersama Utinya. Tiba-tiba terdengar tangisan kencang Si Bayi, disusul suara Utinya yang tak kalah kerasnya. Ku pikir "Oh, mungkin bayinya lagi rewel, Utinya lagi mencoba menenangkannya." Ku tunggu beberapa saat, kok masih 'heboh' di depan.

Aku menuju kamar, tempat Si Bayi bersama Utinya. Terlihat wajah Uti yang panik dan sedikit kesusahan menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dia mendekap erat tubuh si bayi agar tak banyak gerak. "Antingnya, antingnya!!!"

"Yang mana?" ku coba cek sisi sebelah kiri.
"Bukan itu, satunya."

Mencoba bersikap tenang, ku lihat sisi sebelah kanan. 'Apa yang salah?'

Ku raba, ternyata ada benang yang masuk ke anting bayi, dan menariknya saat Si Bayi bergerak. Aku ambil gunting untuk memotong benang yang tersangkut. Susah, karena Uti nya benar-benar menjaga bayi tak banyak gerak, takut si bayi kenapa-kenapa. Dengan kondisi bayi yang masih nangis kencang, akhirnya kami berhasil memutus benang. Seketika tangisan bayi mereda, kemudian diam.

Aku melepas anting yang bentuknya tak lagi lingkaran, dan juga anting di sisi satunya. Kami tak ingin kejadian ini terulang kembali.

Awal menggunakan anting ini kami sudah diwanti-wanti agar jangan sampai jarinya masuk ke lingkaran anting. Kami pun menjaganya dengan memakaikannya sarung tangan setiap saat. Ternyata, kalau emang mau kejadian, ya ada aja penyebabnya, termasuk benang perlak yang entah gimana caranya nyangkut di anting bayi. Huhu, kasihan anakku.

Padahal rasanya baru kemarin aku bilang ke suami, "Kenapa ya bayi perempuan harus pakai anting, kan nanti gedenya pakai jilbab."

"Tau kenapa?" Bukannya menjelaskan kenapa, dia juga ikut mempertanyakan.

"Apa hanya semacam identitas, oh bayinya perempuan (karena pakai anting)."

Aku bisa berpikir seperti ini, tetap saja memakaikan anting pada bayiku. Belum nemu faedah yang berarti, tapi sudah eksekusi. Padahal pakai anting (tindik) bukan sesuatu yang "harus" dilihat dari sisi medis, berbeda dengan imunisasi yang mana memang diharuskan bagi bayi. Hanya karena "pada umumnya" bayi perempuan dipakaikan anting, aku pun ikut-kutan.

Akan tetapi, aku kadang bertanya-tanya "Apakah dengan menindik telinga bayi, itu artinya kita memenuhi haknya sebagai anak perempuan? Sehingga kelak ketika dia besar nanti, dia tak akan bertanya 'ibu kenapa aku dulu tak ditindik seperti teman-temanku? Kalau ditindik sekarang kan rasanya sakit.'"

Ah entahlah, mau ditindik atau tidak, yang jelas, belum ada pembahasan medis mengenai manfaat tindik. Hukum agama pun tak ada anjuran khusus untuk tindik bayi. Jadi ya, keputusan ada di tangan kalian, wahai orang tua.

:)

Saturday, May 11, 2019

Kolostrum yang Terbuang

Alhamdulillah, dua minggu sebelum masuk kerja aku bisa memenuhi freezer dengan asip. Senang sudah pasti, tapi kemudian bingung, asi perah baru mau taruh dimana? Mau tak mau aku harus putar stok; asip lama digantikan dengan asip baru, dan pilihan untuk asip lama hanya dua:
1. Diberikan ke bayi
2. Dibuang

Awal ramadhan aku berniat puasa. Kalaupun aku lemas, tak kuat, aku masih punya asip yang bisa diberikan (sekaligus memutar stok di freezer).

Akan tetapi, pada akhirnya aku ambil rukhsah untuk tidak berpuasa. Keputusan ini membuatku lebih memilih untuk dfb dibanding memberikannya dot, dan tentu saja stok tak jadi berkurang.

Suatu hari, aku meniatkan diri untuk memberikan dot untuk si bayi, sekalian mengukur berapa ml sekali minum dalam kondisi lapar. Aku mengambil stok lama, asi yang warnanya masih kuning atau biasa disebut kolostrum, sekalian mengecek apakah bayi mau minum asip stok lama.


Berbekal niat yang setengah-setengah, hingga sore asip tadi belum diberikan. Tapi karena sudah dicairkan dan sayang untuk dibuang, akhirnya coba diberikan ke bayi. Baru beberapa kali kenyot, si bayi muntah. Tak tahu kenapa; mungkin
1. rasa asip yang aneh
2. kondisi masih kenyang

Setelah muntah, bayi langsung mengantuk dan tertidur.

Dari pengalaman itu, aku cenderung memilih untuk membuang stok asip lama dibanding memberikannya ke bayi. Di freezer masih ada beberapa kantong asip yang warnanya kuning, hasil perahan di minggu pertama setelah melahirkan. Meski sangat bermanfaat karena lebih banyak mengandung zat kekebalan (antibodi), tapi sepertinya sudah tak tepat guna. Kandungan asi menyesuaikan dengan usia dan kondisi bayi. Itu sebabnya aku memilih untuk membuangnya. Toh dulu bayiku sudah mendapatkan cukup kolostrum saat menyusu langsung. Toh sekarang stok asip yang dibuang, tergantikan dengan asip yang baru. Meski demikian, masih ada perasaan tak tega untuk membuangnya. Butuh perjuangan mengumpulkan tetes demi tetes, melawan rasa malas karena ngantuk, capek, dan berbagai alasan lainnya. Tapi apa mau dikata kalau freezer sudah penuh. Lagipula, kalau saja bisa, rasanya lebih puas dan lega jika memberikan asip baru yang masih fresh. Semoga Allah mudahkan segala proses menyusui ini hingga 2 tahun ke depan. Aamiin.

Wednesday, May 08, 2019

Hari Ketiga Puasa

Apa kabar hari ketiga Ramadhan? Masih sanggup berpuasa para busui?

Aku tidak. Pukul 10.50 WIB aku membatalkan puasaku. Bukan karena tak sempat sahur, tapi karena pesan yang dikirimkan suami.


Entah apa yang membuatnya kepikiran untuk mencari tahu hukum berpuasa bagi ibu menyusui, mungkin karena semalam dia diberitahu soal asi basi. Salutnya, dia tidak serta merta menyuruhku untuk tidak puasa. Dia cari tahu dulu dalil yang kuat, lantas membuat keputusan.

Sejujurnya aku bahagia karena sikap suami menunjukkan kepedulian padaku yang sedang menyusui. Dan tentu saja, apa yang dia sampaikan jauh lebih mudah ku terima daripada dikatai asiku basi. Pernyataan 'asi basi' justru menantangku bahwa aku dan asiku baik-baik saja meski berpuasa.

Akan tetapi, "Kalo Allah beri kemudahan ya kamu ambil aja", demikian kata suami. Baiklah, makin mantap ku untuk tidak berpuasa.

Perkara yang selanjutnya dipikirkan adalah membayar fidyah; kapan, berapa, ke siapa?

Lagi-lagi suami sudah mencari tahu. Dia mengirimkan link tentang tanya jawab seputar fidyah.

Kapan?
Membayar fidyah boleh dilakukan ketika masih dalam bulan Ramadhan, boleh juga di luar Ramadhan.

Bagaimana?
Fidyah boleh dibayarkan setiap hari selama bulan Ramadhan, boleh dicicil beberapa hari sekaligus, boleh dibayarkan sekaligus selama satu bulan. Syarat terpenting sudah terlalui/terlewatinya hari yang ia tidak berpuasa padanya. Artinya kalau ramadhan masih hari ke-3, jangan langsung bayar fidyah untuk 30 orang.

Berapa? Ke siapa?
Fidyah harus dalam bentuk makanan, tidak boleh digantikan dalam bentuk uang.

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah : 184)

Ada beberapa pendapat ulama mengenai hukum puasa bagi ibu menyusui ini. Sila lakukan sesuai dengan yang diyakini, tak perlu ada perdebatan.

***


Tuesday, May 07, 2019

Hari Kedua Puasa

Alhamdulillah, kemarin aku berhasil puasa penuh di hari pertama. Begitu juga di hari kedua ini.

Hari ini aku merasa lebih kuat. Aku menyusui tanpa bantuan asi perah. Akan tetapi, entah kenapa Si Bayi sedikit lebih rewel dari hari kemarin. Dia seperti kesulitan untuk buang air besar. Berulang kali mengejan, tapi hanya sedikit sekali yang keluar, dan itu membuatnya menangis.

Melihat kondisi bayi yang tak seperti biasa, Utinya langsung khawatir dan berkata "Mungkin karena puasa, asinya jadi dingin. Biasanya makan langsung jadi asi. Ini puasa, perut kosong."

Asi dingin? Ditaruh kulkas kali ah jadi dingin. Masak iya asi yang masih dalam tubuh ibu bisa dingin.

"Kasihan cucuku, minumnya asi basi."

Sayup-sayup ku dengar dari dalam kamar. Seketika hancur hatiku. Aku tak masalah dikatai seperti itu kalau misal bayi minum asi perah, lalu dia menolak sambil menangis. Mungkin memang basi karena salah penyimpanan atau penyajiannya. Lha ini asi masih mengalir dalam tubuh, dibilang basi. Huhuhu.

Saking khawatirnya Uti, begitu masuk waktu berbuka, aku langsung disuruh makan besar. Tapi aku tak menurut, karena makan takjil sudah cukup mengisi perutku. Makan besar nanti saja setelah sholat maghrib.

***

Aku tahu Islam memberi kemudahan bagi wanita menyusui untuk tidak berpuasa Ramadhan, bisa dengan mengqadha ataupun membayar fidyah. Tetapi, aku merasa kuat untuk berpuasa dan bayiku, aku merasa kondisinya masih wajar, belum mengkhawatirkan. Dia pernah di kondisi ini waktu umurnya 3 - 4 minggu. Saat itu dia jauh lebih rewel dari hari ini. Awalnya ku pikir dia kembung karena kena angin dan tidak sendawa setelah menyusu. Setelah menghindari kipas angin dan sering sendawa, ternyata masih kembung juga, susah BAB. Ibuku pun kepikiran, mungkin ada yang salah dengan apa yang ku makan. Sejak saat itu aku perbanyak makan sayuran hijau dan ternyata ada pengaruhnya pada bayi.

Nah, untuk kondisi sekarang, mungkin aku juga kurang makan sayur. Secara sahur ketemu sahur kemarin menunya hanya telur. (Apa anakku alergi telur?) Jadi yang perlu diperbaiki adalah menunya, bukan puasanya.

Ah, tapi yang namanya nenek/kakek, tak bisa melihat cucunya sedih/sakit/menangis. Pasti langsung ambil tindakan agar cucunya senang dan bahagia. Ini baru soal menyusui saat puasa, belum perkara pola asuh anak yang mana biasanya orang tua lebih tega dalam mendidik anak. Semoga Allah permudah segala urusan.

***

Update!
Pukul 19.45 WIB bayiku bangun. Ku susui, ajak bercanda, akhirnya tidur lagi jam 21.00 WIB. Aku ikut tidur.

Pukul 22.00 WIB, aku terbangun. Niat hati ingin pumping, tapi belum sempat beranjak dari kasur, si bayi ikut terbangun. Kali ini dia terlihat kesakitan saat mengejan ingin kentut dan BAB. Berulang kali dia mencoba, gagal, berakhir dengan tangisan. Wajahnya memerah.

Berbagai cara ku coba agar bayiku tenang. Aku tak ingin tangisannya membangunkan neneknya dan nanti ujungnya aku yang disalahkan. Ku pijit, gendong, tengkurapkan, susui, gendong lagi, susui lagi, semua itu hanya mempan beberapa saat. Dia mulai terlelap, tapi kemudian merasa sakit lagi dan menangis.

Aku mulai ikut menangis, tak tega melihatnya, dan mulai berpikir "Apa besok aku tak usah puasa?" Tentunya bukan karena aku membenarkan bahwa asiku basi. TIDAK ADA ASI BASI SELAMA MASIH DI PAYUDARA IBU. Tapi mungkin aku kurang bisa memenuhi nutrisi dalam asi hanya dengan makan saat malam hari. Lagipula mengapa aku begitu ambisius berpuasa padahal bayi baru berusia 1,5 bulan. Mengapa tak ambil rukhsah untuk tidak berpuasa? Tak perlulah menjadi sok kuat, tapi mengorbankan kesehatan si bayi.

Akan tetapi, masih timbul pertanyaan dalam diriku, apa iya bayiku kembung karena aku berpuasa? Bukankah kualitas asi tetap terjaga meski berpuasa?

Pukul 00.30 WIB akhirnya bayiku tertidur. Aku pun ikut tidur dan tak jadi pumping. Rasanya percuma memompa dengan suasana hati seperti ini.

Jadi, besok puasa nggak ya?

Monday, May 06, 2019

Hari Pertama Puasa

Sekitar pukul 03.00 WIB, Si Bayi bangun, pipis, lanjut menyusu, liyer-liyer tapi belum 100% tidur. Pukul 03.40 WIB paksakan untuk pumping. Bayi biar dijaga bapaknya.

Pukul 04.00 WIB bayi belum juga tidur, akhirnya sepakat sama suami untuk bergantian sahur. Aku lanjut pumping sambil jaga si kecil. Sepuluh menit kemudian suami kok belum kembali ke kamar, sementara si bayi mulai rewel karena popoknya basah. Aku menghentikan pumping yang hasilnya tak seberapa. Aku tak tega melihat anakku gelisah, dan juga, aku belum sahur oii, adzan subuh sebentar lagi.

Aku menghampiri suami yang tinggal sedikit lagi menghabiskan nasinya. Bayi ku tinggal di kamar sendirian. Ternyata dia menangis dan sudah dihampiri Utinya. Uh, syukurlah. Aku bisa sahur sekarang, yang mana tinggal 10 menit. Wadidaw. Langsung ngebut makan, minum. Niat hati ingin mengakhiri sahur dengan makan kurma 5 biji, hanya sempat 1 biji. Bismillah, semoga kuat.

Habis sahur, sholat, lanjut menyusui bayi sampai dia tertidur.

Pukul 08.00 WIB, bayi sudah keliling halaman, mandi, dan kembali menyusu untuk kemudian tidur.

Pukul 09.30 WIB, setelah mandi dan mencuci baju, aku pumping. Jam 10.00 WIB, belum sempat aku membereskan pompa dan hasil perahan, Si Kecil bangun dan minta susu.

Aku susui, berharap dia langsung tertidur kembali. 15 menit berlalu, ternyata matanya masih terbuka. Ku hentikan sesi menyusu agar aku bisa menyimpan asi perah. Niatnya akan ku lanjutkan setelah menaruh asip ke kulkas. Tapi Uti lebih dulu menghampirinya dan menimang di ayunan. Syukurlah, siapa tahu langsung tidur. Soalnya aku mulai kliyengan.

Aku menjemur baju. Di belakang, ku dengar bayiku menangis. "Apa mungkin tadi minumnya kurang ya?" Ku tunggu beberapa saat, ternyata masih menangis. Jadilah aku menghangatkan asip.

Aku memang sudah berniat memberikan asi perah hari ini.
Pertama, mengenalkan bayi pada dot agar tidak kagok saat nanti ditinggal kerja
Kedua, takut bayi kurang puas saat menyusu langsung
Ketiga, agar stok di freezer berputar. Daripada harus dibuang karena kapasitas freezer penuh, mending buat bantu supply ke bayi saat aku berpuasa.

Sahur tadi aku sudah menurunkan 2 kantong asi ke kulkas bawah. Ternyata masih beku saat hendak menghangatkannya. Langsung aku taruh dibawah air kran sembari menyiapkan botol dan air hangat.

Tak lama, asi perah dalam dot sebanyak 65ml siap dihidangkan. Aku berikan ke Akung yang saat itu sedang mengayunnya. Si bayi hampir terlelap dan Akung tak ingin memaksanya minum. Baiklah-- dalam hati dag dig dug, apakah asip 65ml akan berakhir di perut bayi atau di wastafel, mengingat daya tahannya hanya 2 jam.

Selesai menjemur, ku lihat bayi sedang minum dot. Wow. Ternyata dia mau. Aku tak ingin mengganggu karena teorinya 'Bayi akan menolak minum asi perah yang diberikan ibunya. Kalau ada ibunya, dia pilih minum langsung.' Entah teori dari mana, tapi aku pernah mendengarnya.

Glek. Glek. Glek. Satu botol asip dihabiskannya. Dan ternyata mulutnya masih komat kamit mencari. Wow. Bayiku minumnya banyak. Mungkin sekali minum bisa 100ml tanpa DBF (direct breast feeding /minum langsung). Besok kita uji coba lagi. Masih ada waktu untuk menghitung kebutuhan bayi sekali minum, sebelum nantinya ditinggal kerja.

Akan tetapi, aku langsung kepikiran stok asip. Sekarang ini, sekali perah rata-rata hanya 80ml/ 2 PD. Perlu kerja keras kalau bayi sekali minum 100ml. Saat ditinggal kerja kemungkinan minum 4kali. Itu artinya sehari harus bisa menghasilkan 400-500ml. Bisa nggak ya? Sekarang stok aman, tapi nanti pas kerja? Ya Allah, mudahkan urusan ini.

Pukul 13.47 WIB, bayiku masih tidur. Aku belum pumping lagi sejak tadi pagi. Galau. Pengen menyusui langsung sebelum dipompa, tapi bayi kok nggak bangun-bangun. Sebenarnya pumping duluan tak masalah, toh masih ada 1 kantong asi yang sudah diturunkan tapi belum dihangatkan, jaga-jaga kalau bayi kurang puas menyusu. Tapi aku pengennya bayi puas menyusu langsung.

Sejauh ini puasaku masih lancar. Aku masih kuat. Si bayi cukup tenang, tak rewel, ditambah Akung dan Uti yang membantu menjaga bayi, jadi ku bisa tidur siang, istirahat dengan tenang. Tapi puasa begini, satu yang ku takutkan, produksi asi berkurang. Siang jam pumping berkurang, malam masih belum bisa menambah jam pumping.

Hadeh, kehidupanku sekarang ini tak jauh-jauh dari pumping dan manajemen asip 😴🤕😍