Wednesday, March 27, 2019

#CeritaMelahirkan | Part 6 : Terima Kasih BBLR

Tanggal 26 Maret 2019, bayiku diperbolehkan pulang setelah 3 hari 3 malam dirawat di ruang perina. Itu adalah waktu minimum bagi bayi dengan diagnosa BBLR (bukan karena prematur). Sedih sih, harusnya lahiran hari ini, besoknya udah bisa pulang, ini harus nunggu berhari-hari, rawat pisah lagi. Kadang mikir kenapa sih nggak rawat gabung aja, biar menyusuinya lebih efektif, berat badannya bisa dikejar.

Akan tetapi "Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru sehingga dapat mengakibatkan pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan,bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya (Prawirohardjo, 2006)."

Tuesday, March 26, 2019

#CeritaMelahirkan | Part 5 : Perjuangan ASI Selama di Rumah Sakit

Bayiku berada di Ruang Perinatologi dari tanggal 23 - 26 Maret 2019. Aku lupa detail kejadian per tanggal. Tapi akan ku coba menceritakan apa saja yang terjadi selama itu.

Tanggal 23 Maret, setelah gagal IMD (Inisiasi Menyusui Dini), bayiku dibawa ke ruang perina. Aku belum diperbolehkan menemui bayiku, mengingat kondisiku yang butuh perawatan (istirahat) pasca persalinan.

Tanggal 24 Maret, entah di kunjungan ke berapa, kalau tak salah sore setelah mandi, ku lihat bayiku sedang diganti bedongnya oleh perawat. Dia terlihat tenang tanpa tangisan. Ku lihat di bagian atas box bayi, ada segelas susu berwarna putih.
"Tadi dikasih susu formula, Bu?" tanyaku pada perawat yang mengurusnya.
"Iya, soalnya tadi nangis."
"Banyak nggak?"
"Ya segitu." Pandangannya mengarah ke gelas kaca yang masih terisi lebih dari setengah.

Aku tak tahu itu gelas ke berapa. Kalau itu gelas pertama, maka kemungkinan bayiku hanya minum beberapa sendok. Kalau itu gelas kedua, berarti banyak sudah susu formula (sufor) yang masuk ke perutnya.

Ku gendong bayiku, sambil ku bisikkan kata maaf padanya. "Maaf, Ibu datang terlambat Nak. Kalau saja Ibu datang lebih cepat, Ibu pasti bisa memberikanmu ASI." Mataku berkaca-kaca. Inginku menangis, tapi ku tahan.

Melihat raut wajah kecewaku, perawat tadi berkata, "Kalau nggak mau dikasih sufor, Ibu perah ASI nya, nanti kami berikan ASI perahnya ke Si Kecil." Aku langsung kirim pesan WhatsApp ke suami (yang kebetulan lagi di rumah) untuk membawakan pompa asi yang kemarin belum sempat dicuci steril.

Meski sadar betul bahwa sufor bukanlah racun dan membahayakan, tapi sejujurnya aku cukup kecewa dengan pemberian susu formula ke bayiku.
1. Bayi bisa bertahan hingga 72 jam atau 3 hari tanpa makan/minum.
2. Pemberian sufor tanpa konfirmasi/persetujuan keluarga bayi.

Baca-baca pengalaman orang lain, mereka harus menandatangani form persetujuan sebelum memberikan sufor, maka ku pikir hal yang sama berlaku juga di rumah sakit ini. Ternyata tidak 😣 Mungkin karena bayiku di ruang perinatologi yang mana semua pasiennya adalah bayi, maka ketika ada satu bayi nangis, sebisa mungkin mereka segera menenangkannya (termasuk pemberian sufor saat bayi lapar) agar bayi lain tak ikut menangis juga. Bisa bayangkan kalau 20 bayi menangis dalam satu waktu. Iya kalau para ibu sedang stand by menunggu bayinya, kalau enggak? Kasihan perawat yang jaga. Meski demikian, saat pengisian form pengaduan/saran aku tetap menuliskan tentang pemberian sufor ini. Berharap bisa jadi bahan pertimbangan agar tak ada ibu-ibu lain yang juga merasa kecewa.

Malam hari suami membawakan pompa asi yang sudah ku beli jauh-jauh hari. Dia sudah cuci steril pompa tersebut mengikuti buku panduan yang ada. Luv 💓

Awalnya aku coba marmet (memerah asi pakai tangan), tetes demi tetes ku kumpulkan. Pegel bin lelah, akhirnya ku lanjut pakai pompa. Hasilnya? Jangan ditanya. Baru lahiran, berharap dapat berapa ml sih? Yang penting cukup membuat bayi tenang selama menunggu jam menyusui berikutnya tiba. Jam 8an malam ku tinggalkan asi perahku.

hasil marmet pertama kali
hasil pompa pertama kali

















Tanggal 25 Maret, sekitar pukul 00.00 WIB, aku dibangunkan perawat. Bayiku menangis dan aku diminta ke ruang perinatologi. Perawat menyarankan agar aku ditemani suami. Tetapi aku tak tega membangunkannya. Seharian dia bolak balik kesana kemari mengurus banyak hal. Akhirnya aku menuju ruang perina sendirian. Jam 12 malam lewati lorong panjang, sempat kebayang ada suster ngesot 😅 tapi segera ku tepis banyangan itu.

Buru-buru aku menemui bayiku yang menangis. Ku gendong dia dan segera ku susui. Begitu kenyang, aku kebingungan, sampai besok pagi kalau dia nangis gimana? Aku tak punya stok asi perah. Pompa asi ku tinggal di ruangan.

Aku kembali ke ruang perawatan. Ku coba untuk memompa asi, tapi sungguh sangatlah seret. Aku merasa lelah luar biasa hingga akhirnya aku menangis, sesenggukan di sebelah suami yang masih tidur. Dia terbangun dan kaget melihat ku menangis. Ku katakan padanya kalau aku capek, harus bolak balik saat jam menyusu, harus pompa asi agar bayiku tak lagi diberikan sufor, dan semua itu membuatku lelah. Suami hanya bisa berkata agar aku jangan memaksakan diri.

Nggak! Bukan kalimat itu yang ingin ku dengar. Aku butuh support darinya. Aku menangis bukan untuk menyerah tapi agar bisa semangat kembali. Drama berakhir, kami lanjut tidur.

Sekitar pukul 04.30 WIB, aku kembali ke ruang perina. (Seingatku) kali ini aku bawa asi perah yang baru ku pompa. Begitu sampai di ruang perina, aku tak diperbolehkan masuk. Kata perawat jaga, datang nanti saja setelah bayi dimandikan sekitar pukul 06.30 WIB. Aku pun menitipkan asi perah yang ku bawa dan kemudian kembali ke ruangan.

Pukul 06.30 WIB aku sudah ada di ruang perina lagi, bersamaan dengan satu ibu yang juga ingin mengunjungi bayinya. Ternyata pintu masih ditutup. Kami sedikit sabar menunggu. Tak lama kemudian kami diperbolehkan masuk. Hwaa ketemu bayi mungilku lagi.

Ku lihat asip tadi pagi masih utuh. Artinya si bayi belum minum dari pagi tadi. Aku segera menyusuinya. Setelah itu, aku kembali memompa asi. Aku tak tahu jika saat aku meninggalkan ruangan itu, ternyata bayiku nangis. Setidaknya dengan meninggalkan asi perah, aku lebih tenang.

Dari sekian banyak ibu-ibu yang ada di ruangan itu, mungkin aku yang paling aneh dan keras kepala. Ibu-ibu lain memerah asi di ruangan mereka masing-masing. Sementara aku, sambil menunggu bayi bangun, di ruang perina aku selalu menyempatkan diri untuk pompa, padahal nggak ada isinya. Benar-benar ngumpulin tetes demi tetes dan rasanya puegeeel banget. Tapi ya bodo amat lah, setidaknya aku pernah berjuang memberi anakku asi, makanan terbaik untuknya. Selesai pompa, aku kembali ke ruangan untuk sarapan.

Siang, saat visit dokter, si bayi baru boleh pulang besok. Sementara aku sudah diperbolehkan pulang hari ini. Sebenarnya boleh saja aku nambah hari, ikut bayi, tapi setelah diskusi dengan keluarga, aku pulang saja hari ini. Aku mikirnya malam kemarin aku hanya bisa sekali ke ruang perina. Itu artinya aku cukup menyiapkan asi perah untuk 1 - 2 kali minum. Esok harinya berangkat pagi, jam 06.30 WIB sudah harus disini. Ok, deal! Dengan rencana seperti itu, aku meminta keringanan agar diperbolehkan keluar ruangan jam 20.00 WIB. Boleh!

Sore hari, aku sudah menitipkan 2 kantong asi yang bisa diberikan nanti malam saat aku sudah pulang.

Sehabis maghrib aku ke ruang perina. Ku lihat 1 kantong asi sudah dihidangkan, meski belum habis diminum. Melihat kedatanganku, perawat sedikit kaget.
"Kirain dah pulang, Bu. Asi nya sudah saya buka satu, tapi Adek susah minum pake sendok."
"Saya nanti kesini sekali lagi sebelum pulang."

Aku susui bayiku, setelahnya aku keluar ruangan, menunggu sesi terakhir sebelum aku harus meninggalkan bayiku semalaman.

Sebelum pukul 20.00 WIB, aku kembali ke ruang perina. Aku lupa bayiku masih tidur atau mau menyusu, yang jelas aku kembali memompa asi. Stok di kulkas tinggal 1 kantong, aku harus menambahkannya. Bermenit-menit mompa, aku berhasil mendapat 1 kantong tambahan.

Aku pamit dengan perawat jaga sambil menyerahkan 1 kantong asi tambahan.
"Total jadi ada 2 kantong ya, Bu. Tapi kayaknya masih kurang deh, Bu. Apalagi Adek nyusunya kuat ya. Rumahnya dimana? Kalau bisa nanti di rumah mompa, terus suaminya antar kesini."
"Jauh, Bu. Kalau nanti asi nya kurang, sambung sufor nggak apa-apa deh Bu." kataku pasrah.

Aku sengaja pulang lebih larut agar bisa menyiapkan asi perah disini. Aku tak tega menyuruh suami bolak balik rumah-rumah sakit hanya untuk mengantar asi yang takseberapa. Dari kemarin dia udah bolak-balik memenuhi kebutuhanku dan si bayi.

Aku kembali ke ruang perawatan, berkemas dan pulang. Rupanya aku masih dapat jatah makan malam, alhamdulillah. Selesai makan, packing, aku bersama suami menuju perawat jaga untuk melepas gelang pasien.

"Mau lanjut di Ruang Tunggu atau di PDE (kantor/ruang kerja kami)?" tanya perawat.
"Nggak, kami pulang." Suami yang menjawab.

Mendengar pertanyaan perawat tadi, aku mulai goyah dan baru kepikiran "oiya ya, kenapa nggak nunggu di kantor aja." Aku jadi merasa jahat kenapa meninggalkan bayiku sendirian di rumah sakit. Tapi apa boleh buat, bapak mertua sudah menjemputku. Aku pulang, meninggalkan rumah sakit. Aku berdoa agar Alloh senantiasa menjaganya.

Sesampainya di rumah, hal pertama yang ku lakukan cuci steril pompa. Malam itu aku berhasil 2 kali pompa dengan hasil yang lumayan.

Tanggal 26 Maret, aku yang biasanya jam 06.00 belum beranjak dari kasur, kini sudah mandi dan rapi. Bangunkan suami untuk segera siap-siap juga. Meski sudah diupayakan berangkat gasik, tetap saja 06.30 baru berangkat dari rumah, pakai motor. Apa kabar jahitan di bawah sana? Urus nanti saja.

Begitu sampai rumah sakit, aku langsung menuju ruang perina. Ku lihat bayiku sedang tidur. Di box nya ada asi yang terhidang, belum habis. 'Loh? asi semalam masih ada.'

Hari itu aku banyak menghabiskan waktu di ruang perina, menemani si bayi. Aku tak lagi ngoyo mompa karena kapan bayi ingin minum, aku siap. Aku tinggal menunggu dokter visit untuk mendapat persetujuan pulang dan keluar dari rumah sakit.

Sunday, March 24, 2019

#CeritaMelahirkan | Part 4 : Ruang Perinatologi


Minggu, 24 Maret 2019, untuk pertama kalinya aku berada di ruang perinatologi (perina) / peristi. Ruangan ini khusus untuk perawatan bayi baru lahir (sebelum rawat gabung dengan si ibu) dan bayi dengan diagnosa tertentu. Yang diperbolehkan masuk ke ruangan ini hanyalah orang tua bayi.

Aku masuk ke ruangan, menemui bayiku. Ku lihat dia tidur dengan tenang di box, tempat tidurnya. Ada rasa haru disana, yang selama 9 bulan ini ada di perut dibawa kemana-mana, sekarang ada di hadapan mata.

Ku lihat identitas yang tertera di box;
Berat : 2420gr
Diagnosa : BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

#CeritaMelahirkan | Part 3 : Susah Buang Air Kecil (BAK) Pasca Melahirkan

Di ruang perawatan kondisiku membaik. Aku merasakan lapar dan meminta suami membelikan roti dan juga teh hangat.

Malam itu suami yang menemaniku. Ibu mertua pulang. Ibuku baru bisa datang besok pagi. Sebelum tidur aku kebelet BAK. Aku meminta suami menemani karena infusku masih terpasang dan juga kondisi tubuh yang belum stabil. Begitu sampai kamar mandi, duh kok susah banget buat pipis. Berbagai posisi yang nyaman sudah ku coba, tapi gagal. Hanya beberapa tetes yang keluar, itu pun bersamaan dengan darah nifas yang masih sangat banyak. Menyerah, aku pun kembali ke kasur.

Tengah malam, hasrat untuk BAK kembali datang. Aku membangunkan suami untuk menemani. Dan lagi-lagi, susaaaahh sekali mengeluarkan urine dalam tubuh ini, padahal sudah di ujung sekali dan ginjal rasanya sangat penuh. Aku kembali menyerah. Rasanya ingin panggil perawat, tapi ku tahan.

Saturday, March 23, 2019

#CeritaMelahirkan | Part 2 : Perjuangan di Kamar Bersalin


Aku dibawa ke kamar bersalin. Di satu ruangan besar ada 4 bilik untuk bersalin. Aku menempati bilik no. 2, sebelah kananku kosong dan sebelah kiriku adalah pasien yang bersebelahan bilik saat di IGD. Di bilik no 4 aku tak tahu apakah ada pasiennya atau tidak. Kami ditanya apakah sudah sarapan atau belum, kalau belum kami diminta untuk sarapan terlebih dahulu.

Dari yang ku pelajari selama hamil, proses persalinan itu membutuhkan tenaga. Jadi sebisa mungkin makan, agar punya tenaga khususnya saat mengejan. Aku pun meminta suami untuk membelikan sarapan, padahal di rumah tadi sudah makan bubur kacang ijo, haha, saking takutnya kurang tenaga. 


Saat sarapan aku ditemani dua rekan kerja yang menjengukku. Ruang kerja kami dengan ruang bersalin ini persis bersebelahan. Mereka hanya menyebrang taman untuk menemuiku, memberi semangat untukku menghadapi persalinan, sembari curhat dan bercanda. Ya, aku masih bisa ketawa-ketawa sambil menikmati sarapan yang tak habis karena kekenyangan. Mereka pun pamit undur diri, melanjutkan pekerjaan. Tak lama, ibuku datang, membawa perlengkapan yang ku minta; kain jarik, baju berkancing, pembalut, celana dalam. Rencananya minggu ini aku dan suami pulang ke rumah orang tuaku mengambil itu semua. Tak tahunya aku di kondisi sekarang ini dan terpaksa ibuku yang harus mengemasinya untukku.


Melihat kondisiku, ibuku bertanya "kok kelihatannya tenang - tenang aja?" Lha harusnya gimana 😅 Kontraksi masih belum teratur, tiap pindah posisi selalu keluar cairan dari jalan lahir.

Ibuku menemaniku, suami juga. Kadang bersamaan, kadang ganti-gantian. Aku terus dipantau oleh bidan dan perawat yang berjaga, dicek tekanan darah dan juga detak jantung janin (djj). Ada alat khusus yang mengukur djj dan mencetak pergerakannya. Alat itu bekerja selama kurang lebih 20 menit. Alhamdulillah, janinku masih aman, belum melemah.

Entah jam berapa, kembali dilakukan VT oleh bidan. Inginku menolak, tapi kata bidan itu prosedur yang harus dilakukan, observasi setelah 8 jam KPD. Pemeriksaan dalam yang dilakukan di IGD kurang efektif karena belum ada 8 jam dari KPD. Begitu dicek, ternyata bukaanku tak bertambah, bahkan cenderung jauh dan bisa dikatakan belum ada pembukaan. Kontraksi yang sedari tadi ku rasakan belum cukup kuat untuk mengantarkan bayiku ke jalan lahir. 


Entah jam berapa (lagi -- aku sengaja tak memperhatikan jam), mertuaku datang, membawakan tas perlengkapan baju bayi dan juga bajuku. Ngobrol dengan ibuku, tahu-tahu adzan dzuhur berkumandang. Selepas dzuhur ibuku menghampiriku, pamit pulang, biar suami dan ibu mertua (Bumer) saja yang menemaniku. Toh hanya satu orang yang diperbolehkan menunggui di kamar bersalin. Baiklah, tak masalah. Lagian kasihan kalau harus menunggu tak jelas di luar ruangan.

Makan siangku datang. Kali ini sudah dapat jatah dari rumah sakit. Bumer menyuapiku. Tangan kanan yang diinfus membuatku tak leluasa untuk makan. Ku nikmati makanan sambil sesekali meringis saat gelombang cinta datang. Ku hentikan makanku saat aku merasa mual.

Waktu terus berlalu. Rasa sakit mulai datang secara teratur dan lebih kuat. Sering kali suami dan bumer mengingatkanku untuk terus istighfar, berdoa minta kemudahan. Tapi karena tak bisa atur nafas, semua buyar. Aku kesakitan, meski tanpa teriak-teriak, hanya menggeliat seperti cacing kepanasan. Tetiba aku ingin muntah. Dengan sigap Bumer memanggil perawat jaga yang kemudian memberikanku plastik.

Hoek. Aku muntah. Makan siangku keluar semua. Aku meminta suami membelikan teh hangat. Setelah meminumnya, aku memuntahkannya kembali. Total aku muntah tiga kali. Kondisi ini persis saat aku menstruasi. Ketika perut sakit dan lambung berisi makanan, maka aku akan muntah sejadi-jadinya, bahkan cairan kuning dalam lambung juga akan keluar. Bedanya, saat menstruasi rasa sakit akan mereda jika ku bawa tidur. Kalau sekarang, sakitnya nggak akan hilang sebelum bayi lahir. Jadi mau tak mau aku harus menikmatinya.

Mungkin sekitar pukul 14.00 WIB, suami menyuruhku sholat. Dia mengambil segayung air dan membantuku wudhu di tempat tidur. Dia mengusap wajah, tangan, dan kakiku. Selanjutnya dengan celana dan rok yang basah kena air ketuban, rambut yang mungkin sedikit keluar dari jilbab, serta keterbatasan daya dan kekuatan (aku tak bisa duduk, bahkan berbaring pun tak bisa diam karena menahan sakit), aku sholat sebisaku. Sah atau tidak, diterima atau tidak, Allahu a'lam.

Saat jam visite tiba, dokter hanya memberi pesan "induksi pelan-pelan ya." Menolak? Buat apa. Bukaan masih jauh dari angka 10, sementara air ketuban terus keluar setiap saat. Sekitar pukul 15.30 WIB (menurut suami) aku memulai induksi; akan diberikan obat pacu tiap 4 jam sekali selama 4 kali.

Aku minum obat yang pertama, lewat mulut. Apa rasanya? Kontraksi menjadi lebih kuat dan lebih sakit. Kata orang, sakitnya melebihi kontraksi alami. Memang benar, tapi menurutku, menjadi lebih sakit ya karena bayi semakin turun ke jalan lahir.

Beberapa saat setelah minum obat, aku kesakitan, dicek ternyata masih bukaan 4. Harus cukup sabar lagi untuk mencapai bukaan 10. Di tengah sisa-sisa kesadaranku melawan rasa sakit, aku minta maaf ke Bumer dan suami. Voila, setelah minta maaf aku merasa bayiku makin turun.
Turun.
Turun.
Serasa ingin buang air besar, tapi ku tahan untuk mengejan karena jika bukaan belum lengkap, justru akan membuat bengkak jalan lahir.

Ku tunggu beberapa saat, aku sudah tak kuat lagi, rasanya ingin mengejan. Suami pun segera memanggil dokter. Begitu dipanggil, dokter bidan memakai apron dan bersiap membantu.
"Wah sudah crowning ini." kata dokter.

Rambut si bayi sudah kelihatan di jalan lahir. Tanpa ada panduan khusus cara mengejan yang benar, aku langsung diposisikan. Kaki diangkat, tangan memegang paha. Aku mengejan beberapa kali tapi bayi belum juga keluar. Aku gagal atur nafas. Episiotomi tak dapat dihindarkan. Rasanya nggak sakit karena dorongan bayi lebih kuat dibanding rasa sakit saat perinium digunting.
"Ayo Bu, nekat Bu. Kalau enggak, ntar bayinya nggak bisa nangis pas lahir." kata Dokter.

Ku coba atur nafas lagi dan dengan dibantu bidan yang mendorong perutku, akhirnya terdengarlah tangisan pertama anakku. Aku dan suami saling tatap penuh haru.

"Dadanya dibuka Bu, persiapan IMD." teriak bidan sambil mengurus bayiku.
Aku sudah mempersiapkan diri. Dada terbuka lebar siap menyambut bayiku. Namun, terdengar teriakan lagi dari luar bilik, "Nggak jadi Bu. Berat dedeknya 2400gram. Kurang dari 2,5kg nggak bisa IMD."

Yah, sedih hati mamak 😭

Suami melihat si buah hati, sementara aku ditinggal bersama dokter yang bersiap menjahit jalan lahirku.

Pertama, dibersihkan dulu perutku, apakah ada jaringan yang tertinggal atau tidak. Selanjutnya urine yang berada di ginjal dikeluarkan. Rasanya plong banget! Perut kempes tak ada beban. Setelah semua bersih, proses menyakitkan itu dimulai.

Aku diberi obat bius agar proses menjahit tidak berasa. Dan benar saja, saat jarum menusuk kulit, tidak berasa. Menit demi menit berlalu, proses ini tak kunjung usai. Dokter mulai kelelahan, aku mulai menggigil kedinginan.

Rasanya lelah sekali. Entah kenapa dokter selalu saja menemukan bagian yang robek. Hingga efek bius habis, proses ini belum juga selesai. Aku harus menahan rasa sakit saat jarum menusuk kulit, belum lagi rasa pegel karena harus ngangkang dalam waktu cukup lama. Satu jam lebih akhirnya selesai juga. Yang ku rasakan setelahnya adalah LAPAR. Beruntungnya makan malam datang di waktu yang tepat. Aku kembali disuapi ibu mertua. Tapi, meski lapar aku kehilangan selera karena rasa yang masih nano-nano. Aku memilih berbaring sambil menunggu dipindahkan ke ruang perawatan.

Sebelum dipindah ruang, aku diminta untuk ganti pembalut. Dibantu suami, aku dituntun menuju kamar mandi. Aku cukup kliyengan saat berjalan dan nyaris ambruk. Eh ternyata kamar mandinya sedang dipakai. Kembali ke bilik, duduk sebentar mengumpulkan nyawa sembari menunggu kamar mandi kosong.

Aku kembali ke kamar mandi, lagi-lagi dibantu suami. Begitu sampai, aku merasa lemas, gelap, dan bruuukkkkk, aku tak sadarkan diri. Sedikit sadar aku mendengar suami teriak panik "Dokter, tolooongg!" Perawat atau bidan datang menghampiri dengan membawa kursi. Aku yang diam duduk di pojokan kemudian dibantu duduk di kursi. Kesadaranku mulai pulih, badanku tak selemas tadi. Selesai ganti, aku kembali ke bilik. Tak lama kemudian aku diantar menuju ruang perawatan dengan kursi roda. Aku baru bisa menemui bayiku besok pagi, di ruang perinatologi, ruang  perawatan khusus bayi.

#CeritaMelahirkan | Part 1 : Ketuban Pecah Dini (KPD)

23 Maret 2019, pukul 01.25 WIB, aku merasa sesuatu keluar dari jalan lahir. Aku yakin itu bukan keputihan karena tak biasanya keluar di saat aku terlelap, apalagi jumlahnya lumayan banyak. Aku yakin pula itu bukan urine karena sejauh ini aku masih bisa mengendalikan ginjalku, kapan harus BAK. Kalaupun ngompol, nggak akan sebanyak itu. "Jangan-jangan ketuban pecah dini (KPD). DEG!

Aku mencoba tetap tenang, mengingat apa saja yang sudah ku pelajari mengenai KPD. Satu yang pasti, jangan panik. Dua, perbanyak minum agar tidak kehabisan air ketuban. Tiga, batasi ruang gerak.

Aku Melahirkan

Kita tak pernah tahu apa yang terjadi di hari esok, apalagi untuk urusan hidup, mati, jodoh, dan rejeki. Sebaik apapun rencana/keinginannya, sekeras apapun usahanya, adalah hak Allah SWT untuk menentukan nasib hambaNya.

Rasanya baru kemaren aku memulai cuti melahirkan, yang awalnya melenceng dari rencana, makin kesini justru makin melenceng lebih jauh lagi. Jadi makin percaya kuasa-Mu ya Allah.


Seminggu pertama cuti, di usia kandungan 37w, aku memulai induksi alami. Pagi hari jalan kaki meski hanya 30 menit, makan kurma, nanas, dan juga buah naga untuk meningkatkan hemoglobin.

Pulang dari jalan kaki, meski cuaca mendung, aku nyicil mencuci baju bayi. Hari Jumat, aku sudah menyelesaikan cucianku, menyetrikanya, tinggal mengemasnya saja. Iseng ku ajak bicara bayi dalam perut "Baju Adek udah dicuci semua lho, kapan kita ketemuan?"

Makan nanas baru 1 buah, buah naga baru 1 buah (2 buah yang baru dibeli belum sempat dimakan), belum pulang ke rumah orang tua untuk memaksimalkan pemberdayaan diri, ternyata bayi sudah mengirim sinyal untuk segera dilahirkan. Bukan gelombang cinta, bukan flek darah, tapi ketuban pecah duluan. Di usia kandungan yang sudah masuk bulan (untuk dilahirkan), mau tak mau bayi ini harus segera lahir, hari ini, seminggu lebih awal dari tanggal yang ku inginkan atau dua minggu lebih cepat dari HPL. Tapi, ku pikir bayiku ini cukup cerdas memilih tanggal cantik sebagai tanggal lahirnya yaitu 2 hari setelah tanggal lahir bapaknya dan 2 minggu sebelum tanggal lahir ibunya.

Aku akan menuliskan cerita persalinanku agar pengalaman ini tidak hanya tersimpan di memori, tapi juga bisa diingat kembali lewat tulisan.

Part 1 : Ketuban Pecah Dini (KPD)

Part 2 : Perjuangan di Kamar Bersalin

Part 3 : Susah Buang Air Kecil (BAK) Pasca Melahirkan

Part 4 : Ruang Perinatologi

Part 5 : Perjuangan ASI Selama di Rumah Sakit 

Wednesday, March 20, 2019

Week 37 : Jatah USG dari BPJS Habis

Rabu, 20 Maret 2019, aku pergi ke rumah sakit untuk kontrol pemeriksaan kehamilan. Rujukan sudah ku peroleh sejak tanggal 9 Maret tanpa kendala, tanpa ada penolakan karena sudah melebihi jatah USG yang ditetapkan BPJS. Rencana periksa tanggal 13 Maret akhirnya harus diundur karena seminggu ke depan dokternya off dan tak ada dokter pengganti. Jadilah aku periksa hari ini yang mana kondisinya aku sudah mengambil cuti.

Aku berdiskusi dengan suami. Rencananya aku akan pergi ke kantor suami naik angkot, nanti dari kantor sama-sama menuju ke rumah sakit sesuai rujukan. Sebelumnya aku sudah melakukan pendaftaran via WhatsApp dan diminta untuk datang jam 12.30 WIB.

Pukul 11.20 WIB aku berangkat dari rumah, diantar papa mertua menuju jalan raya. Semuanya aman terkendali. Aku sampai kantor jam 12 kurang, langsung menuju meja kerja yang baru ku tinggal 3 hari. Sementara suami sibuk kerja; melakukan pengaturan printer.

Selepas sholat dhuhur aku meminta suami untuk siap-siap. Akhirnya kami berangkat sekitar pukul 12.45 WIB. Sesampainya di rumah sakit langsung menuju pendaftaran dan ternyata dapat antrian no.11. Merasa dapat antrian paling ujung, aku meminta suami untuk kembali ke kantor saja. Daripada dia bete nunggu, mending dia selesaikan kerjaannya. Jadwal dokter jam 13.00, palingan aku baru dipanggil jam 14.00 WIB. Pokoknya aku akan hubungi suami begitu antrianku sudah dekat.

Jam 1, jam 2, ternyata dokternya belum kelihatan. Dokter baru datang jam 14.30 WIB. Pasien dipanggil satu persatu, hingga diurutan ke-5, aku mengabari suami, berharap dia segera datang. Toh jam kerja sudah lewat. Tapi dia justru membalas pesanku dengan masalah baru pada printer yang dia kerjakan. Aku pun meminta untuk mengerjakannya besok. Akan tetapi pesan itu tak dia baca.

Namaku dipanggil perawat dan suami masih belum juga kelihatan. Aku masuk ke ruangan dan langsung ditanya "Udah USG berapa kali?"

Aku yang awalnya diarahkan ke bed pemeriksaan terpaksa berhenti dan duduk di depan dokter. "Jatah dari BPJS cuma 4kali USG lho."

Perawat menghitung jumlah USG dari catatan di buku pink. "Ini yang kelima sih dok."
"Ya monggo terserah kebijakan rumah sakit mau gimana." kata dokter.
Aku dalam hati, "Monggo bu diputuskan, kalau pun gak dicover bpjs, saya tetap mau periksa. Nanti biayanya saya yang tanggung."
"Yaudah bu nggak apa-apa, yang penting ada rujukan dari faskes 1."
"Oke, kalau begitu ini form rujuk balik saya isi dengan catatan usg sudah 5 kali." kata dokter.

Aku pun diperiksa USG.
Air ketubannya masih cukup.
Plasentanya bagus.
Jenis kelaminnya kemaren dah ketahuan.
Kepalanya udah dibawah.

"Udah masuk panggul belum bu?" tanyaku.
"Belum. Ini usianya berapa to? 37 minggu kan? Biasanya turun panggul nanti di 38 minggu."

Selesai. Pemeriksaan kali ini begitu singkat. Dokter hanya memberi pesan untuk terus memantau pergerakan janin, dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam, minimal ada 10kali gerakan. Aku pun tak diminta datang kembali untuk kontrol, tinggal tunggu mulesnya aja.

Keluar ruangan dokter dan memasukkan resep ke kotak antrian obat, ku lihat suami yang memasuki pintu utama. Aku menceritakan apa yang terjadi di ruangan dokter tadi, termasuk berat badan janin yang berada di angka 2,6kg.

Pukul 16.15 WIB, namaku masih belum dipanggil di bagian Farmasi. Akhirnya aku dan suami gantian sholat ashar. Suami selesai sholat, namaku belum dipanggil. Aku selesai sholat, belum juga dipanggil. Tapi tak selang berapa lama, akhirnya namaku dipanggil. Pukul 16.40 WIB kami pulang dan sangat yakin kalau hari ini lagi-lagi kami harus membatalkan agenda pulang ke rumah orang tuaku.


Kami sampai rumah pukul 17.00 WIB. Tanpa ganti baju, aku langsung menuju meja makan. Makan siang yang tertunda. Siang tadi aku tak makan nasi, hanya makan wafer yang ku bawa dari rumah, sebagai pengganjal perut. 

Separuh porsi sudah ku habiskan dan suami menghampiri di meja makan. "Kita pulangnya Jumat aja yuk."
"Emang besok mau kemana?"
"Futsal."

Huhuhu. Kenapa rencanaku semakin jauh dari realita. Aku nggak habis pikir kenapa ada aja alasan untuk menunda pulang ke rumah orang tua.
Minggu : hujan seharian hingga banjir dimana-mana
Senin : jalanan sebagian masih banjir
Selasa : hape suami rusak
Rabu : periksa sampai sore
Kamis : ...

Hiks!

Melihat aku yang kecewa, suami melupakan keinginannya untuk ikut futsal di Kamis malam. Namun, setelah berpikir sejenak, ku rasa aku perlu mengatur ulang agenda yang ku buat. Biarlah seminggu ini full di rumah mertua dan minggu depan baru ke rumah orang tua. Lagipula aku mulai terbiasa di rumah mertua saat suami kerja. Mati gaya? Enggaklah, itu hanya ketakutan yang tercipta ketika membayangkan sesuatu yang belum terlaksana. Ketika dijalani ternyata biasa saja, tak seburuk yang ku bayangkan.

Fix, seminggu ini aku di rumah mertua, cuci setrika baju si bayi dengan penuh cinta.

Monday, March 18, 2019

Cuti Melahirkan : Rencana VS Realita

"Rencana tinggallah sebuah rencana"

Di usia kandungan 37w2d ini (3 minggu sebelum HPL) aku memulai cuti melahirkan, sesuai apa yang sudah aku agendakan di awal bulan. Meski demikian semua tak berjalan sesuai rencana.
Agenda

Monday, March 11, 2019

[Resensi] Komet Minor - Tere Liye

cover via www.goodreads.com
Judul : Komet Minor
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku :
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2019
Harga : Rp. 105.000,-
Sinopsis Buku:  

Pertarungan melawan Si Tanpa Mahkota akan berakhir di sini. Siapapun yang menang, semua berakhir di sini, di klan Komet Minor, tempat aliansi Para Pemburu pernah dibentuk, dan pusaka hebat pernah diciptakan.

Dalam saga terakhir melawan Si Tanpa Mahkota, aku, Seli dan Ali menemukan teman seperjalanan yang hebat, yang bersama-sama melewati berbagai rintangan. Memahami banyak hal, berlatih teknik baru, dan bertarung bersama-sama. Inilah kisah kami. Tentang persahabatan sejati. Tentang pengorbanan. Tentang ambisi. Tentang memaafkan.

Namaku Raib, dan aku bisa menghilang.


***