Berbicara mengenai dokter, aku tak punya kenangan tertentu
untuk diceritakan. Mengapa? Karena dengan penuh rasa syukur saya ucapkan terima
kasih kepada Alloh SWT yang telah memberikan kesehatan kepada saya. Aku jarang
periksa ke dokter karena sakit yang ku derita mungkin hanya demam, batuk,
pilek, dan teman-temannya. Namun, kata bapak ibuk, aku pernah menderita
penyakit mata ikan yang mengharuskanku tuk menginap di rumah sakit. Kata bapak
ibuk lagi, aku adalah anak yang menghiasi malam di rumah sakit dengan suara
tangisan yang riang. Tapi itu dulu, saat aku masih balita. Mana aku ingat kalau
saat itu aku menggemparkan rumah sakit dengan suaraku yang nyaring. Mana ingat
pula aku siapa dokter yang menyembuhkanku.
Satu-satunya dokter yang paling ‘ngena’ sepanjang hidupku
adalah dokter gigi. Mengapa demikian? Karena di tangannya lah gigi-gigiku sewaktu
aku kecil dicabut dengan paksa. Tak hanya sekali dua kali. Namun, lebih dari
tiga kali. Aku ada sedikit kelainan dengan pertumbuhan gigi-gigiku sewaktu
kecil. Jika kebanyakan anak kecil, giginya tanggal menyisakan ompong
berkepanjangan, menanti gigi barunya yang mungil, lain halnya dengan ku. Gigiku
masih kuat. Namun, sesuatu berwarna putih muncul di balik gusiku. Gigi baru?
Ya. Mau tak mau gigi kuatku harus dicabut. Menyakitkan sangat. Ketika jarum
suntik harus masuk mulutmu menusuk gusimu yang rapuh. Apakah aku menangis?
Tidak, hanya diam menahan air mata yang sedikit lagi akan tumpah.