Cerbung "PERGI" (sekuel Novel "PULANG") - Tere Liye

Tuesday, October 03, 2017
Bagi penggemar Tere Liye, tentu kita tahu bahwa beberapa bulan yang lalu, Tere Liye mengeluarkan pernyataan bahwa dia tidak akan mem-buku-kan tulisan-tulisannya dikarenakan permasalahan pajak. Meski demikian, dia tidak akan berhenti menulis dan tetap akan menyebarkan tulisannya, walau bukan dalam bentuk buku fisik.

Nah, dua bulan terakhir ternyata dia sudah menulis cerita bersambung (cerbung) yang berjudul "PERGI" dan membagikannya di facebook. Cerbung tersebut merupakan sekuel Novel "PULANG" yang terdiri dari 23 bab.

Ada yang ketinggalan cerbung ini? Sama, aku juga!!! 
Meski aku mengikuti fanspage Facebook Tere Liye, aku tak pernah menemukan postingan cerbung "PERGI" di timeline-ku. Hingga dua hari yang lalu, aku melihat postingan tersebut namun sudah di Bab 23 dan di akhir tulisan ada kata TAMAT. Lahh...

Tak ingin ketinggalan cerita, satu persatu ku buka halaman yang membawaku pada Bab 1. Kamu penasaran juga? Mari kita baca bersama-sama...


BAB 1. Hantu Masa Lalu
“Kemarin aku pergi ke rimba gelap
Bertemu hantu di sana
Badannya tinggi besar
Tangannya seperti batang pohon
Matanya merah menyala
Menyembur api dari mulutnya
Mama, aku tidak takut
Kucabut machete-ku
Aku lompat ke lehernya

Kemarin aku pergi ke rimba gelap
Tidak ada lagi hantu di sana
Mereka sudah pergi
Mama, aku menakuti mereka
Setiap kali aku mencabut machete-ku
Gunung-gunung berhenti meletus
Lautan badai menjadi tenang
Mereka terdiam seperti anak kecil
Pada putra-mu yang tak kenal takut”

Salonga menerjemahkan lagu itu untukku di tengah keheningan gelap—setelah beberapa menit lalu rentetan tembakan memekakkan kuping terdengar di salah-satu gudang kontainer, stasiun kereta api perbatasan Meksiko—Amerika Serikat.
Aku menatap Salonga sejenak. Kami sedang berlindung di balik salah-satu kontainer yang berisi kol dan sayur-mayur.
“Itu sungguh artinya?”
“Yeah, demikian.” Salonga memperbaiki topi cowboy-nya yang miring sesenti. Pistol dengan warna keemasan tergenggam erat di tangan kanan. Wajahnya santai, dia mengenakan kaos oblong abu-abu dan celana pendek, Salonga lebih mirip seperti bapak-bapak pemilik sekaligus penjaga toko sembako dibanding penembak pistol terbaik se Asia Pasifik.
“Lagu itu, apakah dia ingin bilang jika dia tidak takut?” Aku bergumam.
“Entahlah. Boleh jadi demikian,” Salonga menjawab selintas lalu, “Atau dia terbiasa bernyanyi sambil bertarung hidup mati.”
“Itu ganjil sekali. Siapa yang akan bernyanyi lagu seaneh itu dalam situasi seperti ini.” White, yang berdiri di belakangku bergumam. White membawa AK-47, wajahnya selalu serius. Dia mengenakan celana loreng dan kaos marinirnya, lengkap dengan sepatu bot tempur.
“Itu tidak aneh, Tuan Marinir. Bujang lebih aneh lagi saat menjelaskan dia tidak punya rasa takut.” Kiko nyeletuk, “Apa Kakek Bushi bilang, ah iya, Bujang pernah menaklukkan raja babi hutan di rimba belantara sendirian. Rasa takut diambil dari dadanya sejak kejadian itu. Nah, sejak kapan babi punya raja? Super pig, begitu? Kakek Bushi terlalu mudah percaya, Bujang hanya pintar mendongeng—”
Aku mengangkat tangan, menyuruh Kiko diam, juga saudara kembarnya Yuki yang bersiap tertawa menyambar gurauan. Si Kembar ini selalu santai. Penampilan dan kelakuan mereka berdua lebih parah dibanding Salonga, menganggap ini hanya sedang plesir di salah-satu pantai negara Meksiko, sambil menghabiskan segelas jus dingin nan segar. Lihatlah, si kembar ini mengenakan pakaian dengan warna cerah, pink, merah, celana panjang dilapis rok lebar, baju kemeja berlapis, dan bando hello kitty di kepala. Sepintas lalu, mereka hanya disangka gadis usia dua puluhan yang masih labil lupa umur, tidak akan tahu jika Yuki dan Kiko adalah ninja mematikan—dan tampilan itu adalah samaran terbaiknya.
Petikan gitar klasik khas Amerika Selatan masih terdengar, seseorang di seberang sana, laki-laki usia tiga puluh tahunan, di balik kontainer terdengar bernyanyi lagi. Mengulangi lagunya.

“Kemarin aku pergi ke rimba gelap
Bertemu hantu di sana
Badannya tinggi besar
Tangannya seperti batang pohon
Matanya merah menyala
Menyembur api dari mulutnya
Mama, aku tidak takut
Kucabut machete-ku
Aku lompat ke lehernya”

Lagu itu seperti lagu di film-film klasik Amerika Latin, petikan gitar khas dengan irama cepat, berdenting, meliuk dan semangat. Suara serak yang menyanyikannya menambah kesan Amerika Selatan-nya.
“Siapa orang itu, Bujang?” White bertanya.
Aku menggeleng, tidak tahu.
“Apakah dia orang suruhan El Pacho?”
“Tentu saja bukan, Tuan Marinir.” Yuki yang menjawab kali ini, “Dia justeru membantu kita menembaki puluhan sicario El Pacho tadi. Kamu terlalu lama menggoreng cumi, udang, hal sesepele itu saja tidak bisa menyimpulkan sendiri.”
White melotot galak ke Yuki—tersinggung.
Si kembar itu tertawa lebar—sengaja memang mengganggu White. Dalam setiap misi yang kulakukan, jika mengajak White dan Si Kembar, mereka akan bertengkar tanpa alasan.
“Apakah kita masih jauh dari kontainer target, White?” Aku memotong, fokus.
“Kontainer itu persis berada di depan orang itu, Bujang.” White menunjukkan layar gadget-nya, kedip-kedip merah terlihat, pertanda lokasi, “Benda yang kita cari positif ada di dalam kontainer.”
Aku mengangguk sambil menyeka peluh di dahi. Ini jadi sedikit rumit dari perkiraan. Kami tertahan lima menit.
“Kita serang saja dia, Bujang. Apa susahnya.” Yuki mengusulkan, mengeluarkan bintang ninja dari balik baju pink-nya, “Aku bisa melumpuhkannya dengan shuriken.”
Kiko saudara kembarnya mengangguk, meloloskan kusarigama (sabit dengan rantai) dari pinggangnya.
Aku berpikir cepat, mencari keputusan terbaik.
Baru dua jam lalu aku bersama Salonga, White dan Si Kembar mendarat di bandara kota Tijuana, Meksiko, setelah transit tiga kali melintasi Samudera Pasifik. Tiga puluh enam jam sebelumnya, Parwez membawa kabar buruk itu. Saat aku justeru sedang memikirkan bagaimana menghadapi Master Dragon yang membuat kebohongan yang baru aku ketahui (Novel PULANG), Parwez mendadak meneleponku, bilang salah-satu riset teknologi yang didanai oleh Keluarga Tong telah dicuri oleh kelompok lain. Teknologi itu penting sekali, untuk mendeteksi serangan siber. Keluarga Tong memiliki puluhan perusahaan keuangan di dunia, memiliki teknologi itu mendesak. Aku memutuskan membiayai riset tentang itu di salah-satu kampus ternama Meksiko, ada seorang profesor jenius di sana. Enam tahun Keluarga Tong membenamkan investasi, prototype benda itu siap diuji-coba, tidak bisa seenaknya kelompok mafia lain mencurinya. Aku terpaksa menunda urusan kebohongan Master Dragon, segera melakukan kontak ke jaringan di Amerika Selatan.
Intelijen Keluarga Tong mendapatkan informasi jika teknologi itu dicuri oleh El Pacho, sindikat penyeludup narkoba terbesar di Amerika Selatan, benda itu akan segera dibawa ke Los Angeles, Amerika Serikat, pusat kerajaan narkoba mereka. El pacho juga membutuhkan teknologi itu untuk melindungi rekening uang haram mereka. Aku memutuskan melakukan tindakan serius, ini penting dan mendesak, memanggil White, dan Si Kembar. Pesawat jet segera terbang, mampir sejenak di Manila, menjemput Salonga—dia bukan hanya ahli pistol terbaik se Asia Pasifik, juga menguasai bahasa Spanyol, itu akan berguna.
Kami tiba di bandara Tijuana, langsung menaiki mobil jeep besar menuju gudang kontainer kereta api. Keluarga Tong memang tidak memiliki bisnis di Amerika Selatan, tapi aku mempunyai jaringan yang luas—meski mahal harganya. Informasi terpercaya mengabarkan, benda itu berada di gudang, diam-diam akan dibawa dengan gerbong kontainer kereta api, melintasi perbatasan Meksiko-Amerika Serikat. Itu strategi yang baik menghindari perhatian imigrasi, benda itu tidak bisa dibawa sembarangan, apalagi lewat bandara resmi. Ada banyak kelompok berkuasa yang mengincar benda itu—termasuk pemerintahan negara-negara tertentu.
Pukul satu malam, tiba di salah-satu gudang, kami langsung menyerbu masuk. Ada puluhan tukang pukul bayaran alias sicario El Pacho berjaga di pintu gudang. White menabrakkan mobil jeep, menerjang pintu, mereka menyambut kami dengan tembakan senjata otomatis. Kami lebih dari siap, Salonga segera beraksi, dia lompat turun, melumpuhkan empat sicario sekaligus dengan tembakan akurat menembus jantung. Aku juga mengeluarkan pistolku, ikut menembak kesana-kemari, kami berlarian dari satu kontainer ke kontainer lain menuju target. White berseru galak, menumpahkan peluruh AK-47 melindungi aku dan Salonga yang berdiri di depan, sementara itu Si Kembar—mereka berdua asyik berlarian hanya menonton, sambil membuka gadget, meng-update Instagram.
“Apa yang kalian lakukan?” White berseru marah.
“Tidak ada. Kecuali Tuan Marinir kerepotan, kami baru membantu.” Kiko mengangkat bahu.
“Habisi musuh, Kiko!” White menunjuk ke depan.
“Hei, Tuan Marinir, kami tidak suka membawa senapan. Itu bukan gaya kami, Lagi pula, kami tidak cocok membawa senapan, kami terlalu cantik.” Kiko tertawa lebar, menggeleng.
“Aku sudah bilang, Bujang!” White terlihat kesal, “Jangan pernah ajak si kembar ini. Mereka hanya merepotkan saja.”
Kiko melambaikan tangannya. Tidak menanggapi.
Tapi sejauh itu kami berhasil mengatasi tukang pukul tersebut. Jumlah mereka banyak, tapi itu tidak berguna, mereka hanya tukang pukul kelas rendah, menembak sepuluh kali, sepuluh-sepuluhnya meleset, dengan cepat mereka terdesak ke dinding-dinding gudang.
Setengah jalan kami menghabisi sicario El Pacho, sudah dekat dengan kontainer tujuan, sepertinya misi akan berakhir mudah, entah bagaimana caranya, mendadak atap gudang jebol. Lantas laksana seekor kelelawar, melompat masuk seseorang, hinggap di atas salah-satu kontainer, lincah dia menembaki sisa sicario. Kakinya bergerak cepat seperti menari, kakinya menghentak kesana-kemari, tukang pukul El Pacho bertumbangan seperti daun gugur. Belum habis tubuh sicario terjerambab di lantai gudang, orang misterius itu menembaki seluruh lampu yang ada di gudang, membuat gulita sekitar, menyisakan cahaya bulan yang melewati lubang di atap.
Orang itu kemudian berdiri di balik sebuah kontainer, menghadang kami maju. Apapun gerakan yang kami lakukan dia akan melepas tembakan akurat, membuat kami tetap berlindung di balik kontainer. Dia jelas bukan tukang pukul kacangan, cara dia datang, cara dia menembak (dalam gelap malam), menunjukkan level-nya. Dan entah apa yang ada di kepala orang misterius ini, dia kemudian asyik memetik gitar klasik, menyanyikan lagu itu dengan suara serak. Membuat kami mendengarkannya.
“Bagaimana dia menemukan gitar di gudang ini?” White bergumam.
“Dia tidak menemukannya, dia membawa gitar itu, White.” Salonga menjawab.
White menoleh ke arah Salonga.
“Aku melihatnya saat dia lompat turun dari atap, mata tua milikku masih tajam. Gitar itu ada di punggungnya. Dia juga mengenakan topeng penutup mata dan topi lebar.”
“Astaga?” White menepuk dahi, terperangah, “Apakah orang itu Zorro, Salonga? Eh, kita sedang ada di Meksiko, bukan?”
Yuki dan Kiko langsung tertawa terpingkal.
“Tuan Marinir, tidak ada Zorro dalam kehidupan nyata. Itu hanya legenda di Meksiko. Sepertinya terlalu lama menjadi koki membuat insting marinirmu menjadi tumpul.”
Jika aku tidak menahan tangan White, dia betulan akan menjitak kepala Yuki karena marah.
“Tapi orang itu hebat. Tentu saja.” Salonga menengahi keributan, “Kita tidak akan mudah keluar dari balik kontainer ini tanpa rencana yang baik.”
Aku mengangguk, Salonga benar soal itu. Orang di depan sana bisa tahu bahkan saat aku mencoba mengulurkan telapak tangan dari balik kontainer, dia menembak jitu posisi tanganku—yang membuatku buru-buru menariknya. Gerakan sekecil apapun.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bujang?” White bertanya.

Kemarin aku pergi ke rimba gelap
Tidak ada lagi hantu di sana
Mereka sudah pergi
Mama, aku menakuti mereka
Setiap kali aku mencabut machete
Gunung-gunung berhenti meletus
Lautan badai menjadi tenang
Mereka terdiam seperti anak kecil
Pada putra-mu yang tak kenal takut”

Nyanyian itu terdengar lantang. Aku menyeka peluh.
White masih menunggu instruksi dariku. Salonga berdiri menyandar, santai. Sementara Yuki dan Kiko mereka memperbaiki posisi bando. Baiklah, kami tidak bisa berlama-lama menunggu, jika posisi orang tersebut berada persis di depan kontainer yang memuat teknologi deteksi serangan siber, siapapun dia, jelas dia juga memiliki keinginan menguasai benda itu. Orang ini pastilah tukang pukul terbaik yang disewa kelompok atau keluarga lain. Semakin lama kami tertahan di balik kontainer lainnya, orang itu boleh jadi diam-diam memiliki rekan yang memindahkan benda tersebut, atau menunggu rekan-rekannya datang.
Aku mengangguk ke arah Salonga, White, Yuki dan Kiko, memberi kode dengan tangan, saatnya kami menyerang serempak dari berbagai sisi, Yuki dan Kiko dari atas, aku dan Salonga dari samping kiri, White dari sebelah kanan. Orang itu hanya sendirian, dia tidak akan bisa menangani lima serangan sekaligus secepat apapun tangannya menembak.
“Lemparkan pengalih perhatian, Yuki.” Aku mendesis.
Yuki mengangguk, dia menyiapkan kapsul yang jika dihantamkan ke lantai akan membentuk asap tebal mengepul. Teknik ninja.
“Kalian siap?” Aku mendesis.
“Aye-aye, Bujang.” White mengangguk.
Juga Salonga dan Si Kembar.
Dalam hitungan satu, dua, ti—
“Selamat malam, Bujang!”
Orang di depan sana lebih dulu berseru, menyapa dalam bahasa yang kupahami.
Kalimat itu menahan gerakan kami.
Apa orang itu bilang barusan?
“Eh, dia mengenalmu, Bujang?” Dahi Kiko terlipat, menurunkan kusarigama.
“Tidak hanya itu, dia bisa bicara bahasamu.” Yuki juga mengangguk.
Aku mendongak, ini sesuatu yang menarik. Aku tidak tahu jika ada tukang pukul di Meksiko yang mengenaliku sekaligus bisa bicara dengan bahasaku.
“Como estas, apa kabarmu, Bujang?” Orang di depan sana kembali berseru. Suara seraknya memenuhi langit-langit gudang yang gelap.
Aku tetap diam. Mematut-matut reaksi terbaik. Orang ini mengenaliku. Siapa dia? Mencoba mengingat-ingat.
“Encantada de conocerte, senang bertemu denganmu Bujang…. Yeah, Bujang a.k.a., also known as, Si Babi Hutan, a.k.a. Agam.”
Kali ini aku benar-benar terdiam. Ekspresi mukaku sempurna berubah.
Bahkan Salonga menoleh kepadaku. Wajah santainya hilang sudah, Salonga menatapku serius.
“Ada apa?” White berbisik bertanya.
Yuki dan Kiko juga mengangguk, ingin tahu, kenapa wajahku berubah.
“Orang itu, dia tahu nama asli Bujang.” Salonga mendesis pelan, menjelaskan.
“Nama asli Bujang? Bukankah Bujang adalah nama asli Si Babi Hutan?” Si Kembar menelan ludah. Wajah main-main mereka ikut menguap.
Salonga menggeleng.
“Estas sorprendido, Agam? Kejutan?” Orang di depan kami tertawa pelan, “Aku tidak. Aku sudah menantikan pertemuan ini sejak bertahun-tahun lalu…. Mama, akhirnya aku bertemu hantu besar kita. Dia tidak takut.”
Apa maksud kalimat itu? Sedikit sekali orang yang tahu nama asliku. Hanya tujuh orang. Lima di antaranya telah meninggal, Bapak, Mamak, Kopong, Guru Bushi dan Tauke Besar. Menyisakan Tuanku Imam dan Salonga. Bahkan White, serta Si Kembar tidak tahu nama asliku, Agam.
Siapa orang ini? Aku meremas jemari. Bagaimana dia tahu nama asliku?
Suasana menegangkan di dalam gudang kontainer kereta api berubah menjadi semakin pengap. Dan misterius.


*bersambung


Gimana? Gimana? Penasaran dengan cerita selanjutnya?

Silahkan langsung ke fanspage Tere Liye saja ya : ((( KLIK DISINI )))
Jangan lupa share sebanyak-banyaknya agar banyak yang membaca :)

No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.