Jalan Kaki 15 menit dan Sepeda Motor

Monday, November 11, 2013
"Pagi Pak." sapaku pada Pak Satpam di tikungan.
"Jalan Bu? Mau kemana emang?" tanya Pak Satpam.
"Iya Pak. Mau ke Spare Part."
"Kenapa nggak cari tebengan dari depan. Kalau jalan jauh."
"Hehe. Belum kenal orang Pak."
"Owh, masih baru ya?"
"Iya Pak. Mari Pak." aku berlalu.

Itu secuil percakapanku dengan Pak Satpam yang berjaga di salah satu tikungan di kawasan tempatku bekerja. Percakapan itu terjadi di bulan pertama aku masuk. Melihatku yang berjalan seorang diri dengan jarak yang lumayan jauh, Pak Satpam iba melihatku. Bahkan di bulan kedua aku kerja, Pak Satpam pun masih menunjukkan rasa ibanya.

"Mbak, nggak beli motor aja Mbak?" teriak Pak Satpam Jumat lalu.
"Nggak Pak. Hehe..." jawabku.
"Nggak dianter Mbak? Jauh lho Mbak kalau jalan."
"Nggak apa-apa Pak, sekalian olahraga." Aku berlalu sambil tersenyum. Bersiap menghadapi pertanyaan senada dari Pak Satpam berikutnya.

***

Setiap pagi aku berangkat ke kantor ± pukul 06.40 WIB. Dari tempat yang aku tinggali saat ini, aku cukup keluar gang dan naik angkot. Tak perlu lama-lama naik angkot, karena hanya butuh 5 menit (keadaan normal tanpa macet), aku sudah sampai di salah satu pintu gerbang kantorku. Dari pintu gerbang tersebut aku perlu berjalan untuk menuju gedung tempatku bekerja. Perjalanan ini membutuhkan waktu 15 menit dan perjalanan ini lah yang membuat sebagian orang merasa iba.

Di awal-awal aku masuk kerja aku pun sering mengeluh, pada ibu, pada teman-temanku. "Capek, tiap hari harus jalan kaki 15 menit.", "Iya sih dari tempat tinggalku sekarang jaraknya nggak jauh, cuma 5 menit naik angkot, tapi ke habis itu harus jalan."

Jalan kaki 15 menit bukanlah hal sulit yang harus ku lalui. Toh, semasa kuliah aku juga pernah merasakan jalan kaki sebelum akhirnya aku punya teman kos yang punya motor (Intan). Jaraknya pun cukup sama, kurang lebih butuh waktu 15 menit untuk berjalan.

Akan tetapi, kini perjalanan 15 menit itu terasa berbeda. Bukan karena aku sudah terbiasa nebeng motor Intan, lantas aku menjadi pemalas untuk berjalan, bukan. Aku sering mengeluh juga bukan karena capek yang ku rasakan, bukan. Namun, 'terlihat begitu mengenaskan di mata orang lain' itulah yang sedikit mengganggu. Bagaimana tidak? Di kawasan industri seperti keadaan kantorku saat ini, jumlah orang yang jalan kaki bisa dihitung dengan jari. Tak banyak orang berlalu lalang dengan berjalan kaki. Mereka biasanya naik motor pribadi, mobil pribadi, diantar, atau nebeng teman. 

Ketika orang lain/rekan kerja bertanya dimana aku tinggal dan tahu bahwa tiap pagi aku berjalan selama 15 menit, mereka selalu berkata, "Wah jauh banget itu. Kenapa nggak beli motor? Kenapa nggak nebeng aja? Kenapa nggak pindah kosan?" dan pertanyaan/pernyataan serupa lainnya.

*beli motor
Sewaktu mengeluh pada ibu, saat aku bilang 'capek' maka ibu langsung bisa menangkap sinyal-sinyal dariku. "Ibu dari kemarin udah kepikiran; kamu udah lulus kuliah, udah kerja, pasti butuh motor buat wira-wiri. Bulan depan nanti ibu bilang budhe, nanti biar budhe yang ngurus. Kan lebih enak kalau diurus disini (Jakarta/Bekasi) kan?" kata ibuk di awal bulan Oktober. Dengan penuh berharap aku pun mengiyakan ucapan ibuk.

Beberapa waktu selanjutnya, aku terlibat dalam obrolan singkat dengan Mas Eka, rekan kerjaku.
"Kamu nggak beli motor?" tanya Mas Eka.
"Belum dibeliin, Mas."
"Beli sendiri dong. Kan sekarang udah kerja."
"Hehehe... belum ada sebulan kerja Mas." jawabku ngeles.

Aku pun kepikiran untuk kredit motor. Tiap bulan menyisihkan uang gaji untuk bayar tagihan motor. Tapi kalau dipikir-pikir ribet yah? Apalagi aku jarang ngurus hal-hal kayak itu. Namun akhirnya aku lebih memilih menunggu kabar dari ibuk.

*nebeng
"Tunggu aja orang spare part yang lewat pintu depan. Nanti pinjam helm di pos satpam." kata Bu Endang menjelaskan. Memasuki area kantor, baik yang bawa motor maupun yang bonceng, harus mengenakan helm.
"Nebeng aja Mbak. Orang spare part banyak kok yang dari pintu depan." kata Mbak-Mbak bagian gudang yang belum ku ketahui namanya.


Aku pun hanya tersenyum jika ada orang yang mengatakan hal serupa. Memasuki bulan kedua, aku pun masih belum tahu siapa saja orang spare part yang melewati pintu gerbang utama (pintu yang aku lewati setiap pagi). Beberapa kali, saat aku berjalan, orang-orang spare part bagian gudang menawari aku tumpangan. Selagi tak ada satpam, aku pun menerima tawaran tersebut. Padahal sama sekali aku belum mengenal orang tersebut (sering lihat tapi tak tahu nama). Aku pun hanya bisa berucap "Terima Kasih" sesampainya aku di gedung Spare Part.

Meski pernah mendapat tumpangan, aku tak serta merta mengandalkan tumpangan. Bukan karena aku belum mengenal orang tersebut. Aku bisa saja berkenalan dengan orang yang memberikanku tumpangan tersebut (toh, kami kerjanya di tempat yang sama -> gedung Spare Part) kemudian janjian dengan orang tersebut agar setiap hari aku bisa berangkat bersamanya dengan nebeng motornya. Tapi, masa iya aku akan melakukan hal tersebut? Pastilah ada perasaan nggak enak. Oleh karena itu aku lebih memilih jalan kaki.

Sementara itu, untuk orang-orang yang sudah aku kenal rupanya tak ada (belum ku temukan) yang searah denganku. Kalaupun ada yang searah, aku pun juga tak serta merta langsung minta tebengan, apalagi mengandalkannya.
Menurutku menerima = memberi dan memberi = menerima. Saat kita menerima bantuan dari orang lain, maka kita wajib memberi bantuan. Dan saat kita bisa memberi bantuan ke orang lain, maka kita berhak menerima bantuan orang lain.
Dan sebagai orang baru, rasanya aku belum bisa maksimal dalam memberi. Oleh karena itu, aku meminimalkan keadaan dimana aku menerima dan lebih memaksimalkan keadaan dimana aku bisa memberi.

Di samping itu, aku bukanlah orang yang menggantungkan nasib pada orang lain, selama aku masih berusaha dengan kemampuanku sendiri.

Daripada mengejar-ngejar tebengan, mending jalan kaki bukan? Kalau ada yang menawarkan tebengan, berarti itu rejeki ^^

*pindah kosan
Di bulan pertama, aku sudah mulai tanya sana sini tentang kosan yang dekat dengan gedung Spare Part (tempatku kerja). Beberapa mengabarkan kalau ada yang kosong, enak pula tempatnya.

Akan tetapi, karena di akhir bulan Oktober aku masih riweuh untuk urusan wisuda, maka aku menunda tuk survey kosan baru. Dan di bulan kedua ini, bukan karena aku sudah nyaman dengan tempat tinggal ku sekarang, namun, ku pikir-pikir ulang; aku pindah atau tidak, tidak akan memberikan efek yang terlalu besar. Kebanyakan jalanan disini adalah jalanan dua arah, yang artinya mau tak mau aku tetap akan masuk ke fase 'jalan kaki'.

***

Bulan Oktober telah berlalu. Apakah aku sudah terbiasa tuk berjalan 15 menit? Apakah aku sudah terbiasa dengan komentar orang-orang disekitarku? Apakah aku jadi pindah kosan? Apakah ada kabar dari ibuk?

Akhir bulan Oktober 2013 menjadi hari menyenangkan karena aku dikunjungi kedua orang tuaku dan kedua saudaraku. Mereka menyempatkan waktu sehari untuk menghadiri acara wisuda.

Pada kesempatan itulah, tak lupa aku membahas 'keadaan'-ku saat ini. Mulai dari suasana tempat tinggal ku sekarang hingga tempatku kerja. Ibu pun tak lupa akan 'janji motor'nya.

"Yaudah, ibu ikut arisan motor aja. Bulan depan (November) insyaalloh bisa diambil motornya." kata ibuk setelah ku tolak tawarannya untuk membelikanku sebuah sepeda.

Dan aku pun berniat, jika ibu jadi ikut arisan motor, maka biaya lelang ibu yang bayar, dan aku akan bayar biaya bulanannya dengan mentransfer ke ibuk.

Sayangnya, bulan ini aku belum berjodoh. Beberapa hari yang lalu ibuk mengirim SMS;
Mtre rung entuk, kalah lelang. min 4jt, ak ngisi 4,**0. Jebul ono sing wani 5jt. Sabar sik yo

Ahh... kalimat terakhir ibuk benar-benar menyentuhku.

***

Memasuki bulan kedua. Rasanya aku mulai nyaman dengan keadaanku saat ini. Keinginan untuk memiliki motor perlahan mulai menguap, meski aku pun masih terus mengharapkannya.

Hari demi hari berlalu. Aku mulai menikmati perjalananku tiap pagi. 15 menit yang indah. Menyebrang jalan raya. Memasuki pintu gerbang. Mencium aroma truk. Melihat pasukan berbaju biru. Menyapa para satpam. Menyusuri jalanan penuh pohon akasia dan pohon tanjung. Melewati ladang truk. Rasanya begitu menyenangkan.
Semuanya terasa indah bila kita bisa mensyukuri setiap keadaan yang ada dihadapan kita.

2 comments:

  1. ada banyak cerita yang bisa ditulis ketika kita menyempatkan waktu berjalan kaki, kemanapun melangkah. ada banyak wacana, ada banyak cerita, ada banyak hikmah dan pelajaran. nikmatnya!!

    ReplyDelete
  2. dahulu kala..jarak jauh bukanlah masalah bila ditempuh dengan jalan kaki, namun sekarang manusia sudah bergantung kepada kendaraan... hingga jarak lima puluh meterpun harus naik motor...namun saat semua bisa disyukuri...keadaan bagaimanapun kan menjadi indah rasanya...semoga motornya cepat terbeli....salam :-)

    ReplyDelete

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.